E R S Y A
"Eugh...bunda?" lirih Ersya sembari berusaha untuk melepas pelukan bundanya.
Ersya menggigit bibir bawahnya, ia menatap khawatir bundanya yang masih memejamkan mata. Perlahan namun pasti, Ersya melepas tangan bundanya yang melingkar di tubuhnya. Memang dari kemarin bundanya tidak mau melepaskan dirinya, ada saja alasan yang dijadikan bundanya untuknya menjadi tahanan.
Ersya turun dari ranjang dengan gerakan hati-hati. Takut pergerakan kecil sekalipun membangunkan bundanya.
Ia menatap sekeliling kamar bundanya, dalam hati Ersya meyakini bahwa ada hal yang bisa menjadi bukti besar tentang fakta hidupnya. Bundanya pasti memiliki sesuatu atas semua hal yang terjadi sampai sejauh ini.
Hal yang menarik perhatiannya adalah lemari aksesoris bundanya, ia yakin bisa menemukan sesuatu di sana. Gerakan tangan Ersya yang membuka lemari itu slow motion, pelan namun pasti.
Ada banyak aksesoris yang bahkan Ersya tidak tahu. Lemari ini tembus pandang karena terbuat dari kaca, tapi yang menjadi tanyanya adalah, ada sebuah tempat dalam lemari itu yang tertutup tumpukan kotak jam. Tempat itu seperti di desain khusus untuk menyimpan barang berharga. Tempatnya memiliki memiliki kunci, tapi menggunakan sandi untuk membuka. Semacam brankas tapi bukan juga.
Ersya berusaha menebak sandi apa yang sekiranya akan berhasil membuka tempat itu. Sandi yang pertama terpikir adalah ulangan tahu bundanya,mungkin saja tanggal lahir bundanya itu dijadikan kata sandi.
Tapi hasilnya nihil, sandi itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Ersya kembali berpikir, ada banyak angka yang diperkirakannya. Tapi entah kenapa ia memikirkan tanggal lahirnya, mungkinkah?
Tidak ada salahnya untuk mencoba, Ersya menekan beberapa digit angka yang terinspirasi dari tanggal lahirnya. Hasilnya sungguh diluar dugaan, ternyata bundanya menggunakan tanggal lahirnya sebagai sandi.
Ersya membuka tempat itu, bukan seperti daun pintu, tapi seperti laci yang ditarik. Dahi Ersya mengernyit saat tak mendapati apapun kecuali sebuah buku bersampul jingga.
Diperhatikannya buku itu dengan teliti, seperti buku catatan tapi memiliki kunci. Ah, buku diary!
Beruntungnya kunci untuk membuka buku itu tergantung di samping buku. Dengan cepat Ersya membuka buku itu,rasa penasaran begitu besar dalam hatinya.
Klik
Buku itu resmi bisa dibuka, Ersya membuka lembar pertama. Tidak terlalu menarik, hanya ada tulisan 'kisahku'
Halaman kedua, mampu membuat Ersya terdiam, ada banyak kata dan kalimat di dalam sana. Tapi yang membuatnya terdiam adalah 'aku kehilangan anak dan suamiku...untuk selamanya'
Lembar demi lembar terus Ersya telusuri, ia tidak membaca semuanya. Hanya menggulirnya, dan yang paling menarik akan ia seriusi. Tiba-tiba dipertengahan halaman Ersya berhenti, menatap kalimat yang berhasil membuat jantungnya berdegup kencang.
'Anaku, Ersya Aurelio Kirena. Cahaya yang aku dapatkan kembali meski dengan cara yang tidak baik. Aku tahu, aku mengambil hak orang lain, tapi saat menatap mata Ersya, aku teringat anaku yang meninggal. Aku teringat suamiku yang ingin sekali mempunyai anak. Bahkan saat melihatnya untuk pertama kali, kewarasanku sembuh seketika, aku sadar, dan aku tidaklah gila seperti sebelumnya. Ersyaku, putraku, cahayaku yang membawaku keluar dari kegelapan. Ersya segalanya, dan akan selamanya dalam pelukanku. Ersya kesayangan bunda...'
"Tanggal ini?" lirih Ersya pelan sembari mengusap tinta kering yang menulisan kapan hal itu ditulis. Tanggalnya adalah dua hari setelah kejadian kecelakan yang diceritakan Kiandra, benarkah?
Hak orang lain? Tiga kata itu mempu membuat Ersya berpikir sangat jauh, akan kebenaran-kebenaran yang selama ini disembunyikan bundanya.
Meski ia tahu kebenaran sesungguhnya dari Kiandra, dan Ersya telah mempercayai itu. Tapi setitik dalam hati kecilnya ingin lebih tahu dari itu, tepatnya dimana ia dibesarkan, ia harus mempunyai bukti dari sini.
"Sudah tahu yang sebenarnya?"
Deg
Puk
Buku diary yang berada di tangan Ersya sebelumnya jatuh begitu saja setelah rungunya mendengar satu suara tepat di samping telinganya. Jantung Ersya berdegup sangat cepat, bulir keringat menetes dari pelipisnya hingga mengalir ke samping rahang. Kedua maniknya bergulir tak pasti, seakan khawatir beraduk dengan takut menguasai dirinya.
"Sudah tahu semuanya? Tentang siapa Ersya yang sebenarnya? Tentang bunda? Dan tentang kamu dengan Kiandra? Sudahkah?"
Suara bundanya terdengar sangat lembut,tapi entah kenapa sarat akan peringatan dalam pengungkapannya. Ersya tak berani menoleh, atau sekedar mengintip lewat ekor matanya pun Ersya merasa kalah. Tubuhnya kaku, seakan sulit untuk digerakan barang seinci pun.
"Kamu tahu? Bunda sangat menyayangimu, bunda tidak mau kehilangan cahaya bunda untuk kedua kalinya. Ersya?" Gladis tidak peduli bagaimana kondisi Ersya sekarang, ia hanya ingin cahayanya tidak pergi.
"Heum? Kenapa diam? Jawab saja jika itu benar, atau kamu mau bunda menjelaskannya? Ah tidak, pasti Kiandra itu sudah menjelaskan secara rinci, bukan?"
"B-unda?" setelah sekian kama terdiam, Ersya bersuara meski terbata.
"Kenapa? Kiandra bilang apa saja sama kamu? Kamu tahu? Bunda sudah bertemu dengannya sebelum kamu bertemu dengannya. Itu menjadi salah satu alasan kenapa bunda sangat benci ketika kamu bertemu dengannya, bundanya ben.ci!"
"B-bunda?" manik Erdya mulai berkaca, entah kenapa ia takut dengan sosok bundanya yang sekarang. Ersya merasa ia telah melihat sisi lain dari bunda Gladis yang selalu lembut dengannya.
"Kenapa, sayang? Bilang sama bunda, kamu kenapa?" Gladis mengusap sisi kanan wajah Ersya, membuat empunya semakin ketakutan saat tiba-tiba tubuhnya ditarik.
"Bunda, Akh.." ringis Ersya setelah tubuhnya terhempas di atas ranjang bundanya dengan pelipisnya yang terhantuk kepala ranjang.
"B-bunda mau apa?" tanya Ersya sarat akan ketakutan saat melihat bundanya mengambil tali tambang dari dalam laci nakas.
Tubuh Ersya semakin gemetaran saat bundanya meraih lengan kanannya. Memposisikan simpul yang akan dibuat dipergelangan tanganya. Ersya semakin ketakutan saat tak sengaja bersitatap dengan manik bundanya yang menyorotkan kemarahan tak terkendali.
"Bunda akh," Ersya memegang pergelangan tangan kanannya yang terasa sakit katena simpul dari tali tambang itu terlalu kencang.
"Sakit, sakit bunda..." air mata Ersya tak bisa dibendung lagi saat lengan kanannya berhasil terikat di sisi ranjang.
Ersya memberontok saat bundanya hendak melakukan hal yang sama pada lengan kirinya. Sebisa mungkin Ersya menghindari bundanya yang terus mendekat berusaha mematikan pergerakannya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Feris dengan tergesa berjalan mendekati mereka. Tanpa aba-aba, Feris membantu Gladis mengikat lengan kiri Ersya di sini ranjang.
"M-a, ma t-tolong Sya hiks s-sakit..."
Feria tak mengindahkan Ersya, ia malah mengambil sapu tangan yang sudah disiapkan lantas menempelkannya pada hidung Ersya. Sapu tangan yang sudah diolesi dengan obat bius itu membuat Ersya kehilangan kesadarannya.
Gelap merenggut cahaya kesadaran Ersya, kelopak mata itu terpejam dengan bercak air mata yang mengalir di sisi wajahnya.
Jadi gini, bunda Gladis itu kan pernah gila waktu kehilangan suami sama anaknya dulu, dia itu trauma sama kehilangan orang tersayangnya. Sya itu bagi bunda Gladis bagai cahaya, ia akan takut kehilangan Ersya jika ada sesuatu yang mengancam. Seperti kedatangan kiandra itu bagi bunda Gladia ancaman kalo ia akan kehilangan anaknya. Trauma kehilangan orang tersayang itu akan kambuh dan dia akan bertindak egois meski menyakiti orang tersyangnya.
Ini aku jelasin siapa tau paragraf aku yg di atas sana nggak kesampean ke relung hati kalian🤣
Semuanya...aku makasih banhet sama kalian yang semanhatin aku:) kasih kesempatan buat Sya sampe ending dan nungguin Sya makasih uwu😗
Pay pay
Doain biar part selanjutnya cepet wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
E R S Y A✅ (SEGERA TERBIT)
Fiksi RemajaBebas. Satu kata yang selalu didambakan Ersya dari dulu. Tinggal satu atap dengan empat perempuan yang ia sayangi tidaklah membuatnya merasakan apa itu kebebasan. Tidak boleh itu, dilarang ini, jangan begitu. Semua sudah ada aturan dan hukumannya, s...