E R S Y A
Tak pernah diam, sedari tadi Kiandra terus berputar arah. Kakinya seakan tak mau berdiri pada satu tempat, ia akan terus berpindah posisi sambil mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk.
Raut wajahnya memang terlihat datar, bahkan nyaris tak berekspresi. Tapi satu nama membuat ruang otaknya berperang keras dengan berbagai persepsi baik positif maupun negatif. Ersya, satu nama yang sekarang membuatnya uring-uringan karena memikirkannya. Adiknya yang baru saja berhasil dipeluknya, kini entah bagaimana kondisinya.
Seharusnya ia tahu ini tidak akan semudah yang dikatakan adiknya. Ia tahu, sekarang Ersya pasti tidak baik-baik saja, dan Kiandra tidak akan tinggal diam. Kiandra memejamkan kedua matanya sekejap, setelah itu diambilnya kunci mobil di atas meja makan.
Ia tidak mungkin terus menunggu kabar tak pasti dari adiknya, ia harus memastikan dan membuktikan dengan mata kepalanya sendiri. Ia tidak ingin kecolongan apalagi sampai kehilangan untuk kedua kalinya. Tidak akan ia biarkan.
Kiandra tak peduli ia melaju dengan kecepatan berapa, yang ia pikirkan sekarang adalah adiknya. Ersya, satu-satunya keluarga yang masih ia punya. Cukup kedua orang tuanya yang pergi, tidak untuk Ersya.
Beberapa menit kemudian Kiandra sampai di rumah yang menjadi hunian Ersya selama ini. Kiandra mengernyit kala mendapati rumah ini dalam kondisi sepi, bahkan sangat sepi.
Kiandra turun dari mobilnya, ia mendekati gerbang. Perasaannya tambah kacau kala mendapati gerbangnya dikunci lengkap dengan gembok. Tak mau lagi pikiran negatif hinggap lebih banyak, ia mengedarkan pandangnya, menyapu halaman rumah dan bagunan di depannya. Nihil, ia tak mendapati tanda-tamda kehidupan.
"Mas? Cari siapa?"
Kiandra menoleh ke belakang, "Anu, Bu. Saya cari Ersya, dia tinggal di sini, 'kan?"
"Oh, mas Ersya. Dia udah pindah, sama keluarganya."
"P-pindah?"
Ibu itu mengangguk,"Iya, kemarin pindahnya."
"Pindah ke mana?"
"Wah, kalau itu saya nggak tahu, mas. Saya permisi, ya."
Kiandra lemas, ia tidak menyangka ternyata prasangka buruknya benar-benar kejadian nyata. Untuk kedua kalinya ia kecolongan seperti ini. Sekarang ke mana ia harus mencari adiknya?
Sekali lagi Kiandra menatap bangunan di depannya, entah perasaannya saja atau bagaimana ia merasa aneh dengan jendela di depan halaman rumah itu. Seperti ada yang menggerakan gorden dari dalam jendela beberapa kali, tapi saat Kiandra menunggu lagi siapa tahu ia salah lihat, tidak ada yang terjadi.
Kiandra menggeleng pelan, sepertinya ia mulai berhalusinasi gara-gara terlalu memikirkan Ersya. Sekarang yang harus dipikirkannya adalah menemukan keberadaan Ersya saat ini.
Dengan langkah lunglai, Kiandra kembali memasuki mobilnya. Ia melajukanya menuju rumah Amilo, mungkin saja sepupunya itu punya petunjuk.
E R S Y A
Di ruangan yang hanya memiliki satu lilin sebagai cahaya, Ersya terbaring di atas ranjang dengan keadaan kedua tangan terikat di sisi ranjang. Air matanya tak berpikir dua kali lagi untuk merebas, bahkan kini kedua pipinya telah basah dan banyak meninggalkan bekas air mata yang telah mengering.
"B-bunda...hiks..."
Hanya itu yang bisa ia gumamkan sejak membuka kedua matanya. Sepi, sunyi, dan minim cahaya adalah suasan yang Ersya sangat benci. Ia tidak tahu harus bagaimana, dalam hati ia merutuki keputusannya untuk kembali menemui bundanya.
Seharusnya ia mendengarkan Kiandra dan kedua sahabatnya, atau seharusnya ia ke sini dengan di temani salah satu di antara mereka. Ia bodoh, ia terlalu percaya bundanya akan melepaskannya begitu saja dengan baik-baik. Ia tidak tahu jika kejiwaan bundanya sudah separah ini. Ersya sekarang tau, trauma itu membuat bundanya egois untuk tetap membuatnya berada di sisinya.
Yang sekarang dirasakan Ersya adalah sebuah penyesalan. Takut bercampur dengan khawatir menghantuinya. Bagaimana jika bundanya berbuat lebih dari ini? Bagaimana jika nanti ia tidak bisa kembali bersama Kiandra?
Ersya kembali terisak saat pikiran-pikiran negatif itu bermunculan mengisi ruang otaknya. Tak lama setelah itu pintu ruangan yang ditempatinya terbuka secara perlahan. Ersya menatap siluet seseorang itu dengan mata sembabnya, ia tidak bisa melihat dengan jelas rupa sosok itu karena tidak ada cahaya yang meneranginya.
"Anak bunda sudah bangun, sayang?"
Deg
Itu suara bundanya, tubuh Ersya kembali bergetar dengan rasa takut saat bayangan sikap kasar bundanya kembali datang. Ersya menggeleng ribut kala bundanya terus mendekat, sampai pada akhirnya Ersya bisa melihat jelas wajah bundanya di dekat lilin yang menyala di samping ranjang.
Ersya memundurkan kepalanya saat bundanya mulai duduk di tepi ranjang. Tangan Gladis terjulur untuk menyentuh wajah Ersya, tapi sayangnya Ersya berpaling untuk menghidari itu semua.
"Sya, maafin bunda. Bunda, bunda nggak mau kehilangan kamu, bunda nggak mau Kiandra mengambil kamu dari bunda, bunda nggak mau kamu pergi dari hidup bunda. Bunda sayang sama kamu, dan kamu juga harus sayang sama bunda, kamu jangan tinggalin bunda hiks...j-jangan tinggalin bunda..." Gladis memeluk tubuh Ersya, rasa takut kehilangan kembali datang, menghantuinya seakan hal itu akan segera terjadi.
"B-bunda seharusnya nggak perlu seperti ini, Sya takut sama bunda yang sekarang."
"Bunda minta maaf, Sya. Bunda takut kamu akan pergi setelah baca buku diary bunda, bunda yakin kamu sudah tahu semuanya."
Ersya menatap bundanya di tengah redupnya cahaya, walaupun samar, ia bisa melihat ada binar sedih dan ketakutan di balik manik berkaca bundanya."Jadi benar? Sya bukan anak bunda? Dan Sya adik Kiandra?" tanya Sya memastikan, ia ingin tahu dari suara bundanya langsung.
Gladis mengangguk, ia merasa sudah tidak bisa menyembunyikan ini semua. Semuanya sudah terlanjur tercium bahkan telah terbongkar, rahasia besar hidup yang telah lama ia sembunyikan. "Iya, kamu memang bukan anak bunda. Waktu kecelakaan mobil kedua orang tua kamu, bunda ada di sana, bunda baru saja satu hari melarikan diri dari rumah sakit jiwa yang menangani bunda. Bunda lihat kamu di pelukan Kiandra, bunda ingat anak bunda yang sudah meninggal, bunda langsung jatuh hati sama kamu. Bunda bahkan tidak mempedulikan keluarga kamu yang mungkin akan kehilangan, yang ada dipikiran bunda waktu itu adalah kamu anak bunda."
"Maafin bunda hiks...bunda lakuin semua ini karena bunda nggak mau kehilangan kamu."
"Sya tahu bunda, tapi bunda nggak boleh egois. Sya masih punya keluarga kandung, kakak Sya, Kiandra. Dan Sya berhak sama keluarga kandung Sya, bukan?"
"Kamu mau ninggalin, bunda?" tanya Gladis dengan nada suara yang sudah berbeda, terkesan dingin dan raut wajahnya tak berespresi.
Firasat Ersya sudah tidak baik sekarang, ia merasa perubahan bundanya kembali datang. Kembali lagi rasa takut dalam dirinya hadir, ia takut bundanya bertindak di luar alam sadarnya.
Heyyo....
Sebenarnya aku dari kemarin itu nggak yakin hari ini bisa up lagi apa nggak. Tapi ternyata aku bisa up lagi ges,aku kepikiran sama kalian yang pasti nungguin Sya, 'kan? Apa aku yg kegeeran:v
Terimakasih semuanya, gak bosen aku ucapin makasih mulu hehe, semangat kaian itu jadi vitamin buat aku.
Aku ga yakin banget si sebenarnya sama part ini, tapi aku udah berusaha semampu aku:)
Btw, maafin kalo ada typo:')
Pay pay
KAMU SEDANG MEMBACA
E R S Y A✅ (SEGERA TERBIT)
Fiksi RemajaBebas. Satu kata yang selalu didambakan Ersya dari dulu. Tinggal satu atap dengan empat perempuan yang ia sayangi tidaklah membuatnya merasakan apa itu kebebasan. Tidak boleh itu, dilarang ini, jangan begitu. Semua sudah ada aturan dan hukumannya, s...