9. (Maaf)

291 24 0
                                    


Selamat membaca 💙

^_^

Disaat terik-teriknya Fahrian memilih menyendiri duduk di kursi taman yang terletak di belakang kelas. Padahal ia tak pernah sekalipun datang ke tempat ini, tapi entah kenapa untuk hari ini Fahrian ingin sendiri di sini. Menikmati terik dan semilir angin yang menerpa wajahnya. Merenung tentang permasalahan yang tengah ia hadapi saat ini. Masalah yang sangat memberatkan hatinya.

Mendadak ingatan masa tiga tahun silam kembali terputar di kepala Fahrian, selayaknya kaset yang diputar ulang. Ia benci mengingat semuanya, terutama sekarang masa-masa dimana  keadaannya tambah dipersulit. Yah, sang papa dan keluarga barunya selalu mampir ke rumah mamanya. Hal itu membuat Fahrian semakin benci, ia sedih melihat mamanya yang berpura-pura tegar di depan papanya dan keluarga barunya.

Banyak pertanyaan yang bercokol di kepala Fahrian, ingin sekali ia terus terang mengatakan di depan wajah papanya dan keluarga barunya untuk tidak datang ke rumah mamanya lagi. Tapi, semua pertanyaan itu terpaksa ia telan bulat-bulat karena mamanya. Ia tahu sang mama tidak akan pernah mengizinkannya untuk berbicara  seperti itu.

"Fahrian."

Fahrian menyenderkan tubuhnya ke kursi, lalu mendongak menatap langit yang terlihat cerah, sedikit membuat matanya silau. Seterusnya ia memejamkan mata dengan helaan napas kecil. "Apa?"

"Ibu kamu nitip bekal ini." Lia berjalan menghampiri Fahrian yang kini sudah membuka matanya. Namun, masih dalam posisi mendongak menatap langit.

Lia menyimpan bekal tersebut di samping Fahrian. "Makasih," kata Fahrian kemudian mengubah posisinya jadi menatap lurus ke depan.

Meski samar Fahrian bisa menangkap wajah terkejut Lia saat ia mengatakan terima kasih tadi. Namun, tak lama Lia menetralkan kembali ekspresinya lalu menjawab, "Sama-sama."

Belum dua langkah Lia berjalan, ia kembali berbalik. "Kamu ada masalah dengan papamu?"

"Apa urusan lo? Gak ada 'kan," sarkas Fahrian.

Dari ekor mata, Fahrian dapat  melihat Lia kembali berjalan menghampirinya. Dia berdiri di dekat kursi taman ujung kiri, jaraknya cukup jauh dengan Fahrian yang juga duduk di ujung kanan. "Segitu bencinya?"

Angin berhembus membuat kerudung panjang Lia sedikit berkibar. "Kamu tahu, gak seharusnya ngebenci orang tuamu. Walau bagaimana pun, dia tetap papamu," nasehat Lia pelan dan lembut agar tak menyinggung hati Fahrian.

Namun, agaknya semua kata-kata Lia sia-sia. Fahrian justru tersulut emosi. "Gue gak butuh nasihat lo, gak usah sok peduli juga," sentak Fahrian dengan nada ketus.

Fahrian beranjak dari tempat duduknya seraya membawa bekal tadi. Melengos pergi dari sana tanpa kata.

---

Hujan deras secara tiba-tiba mengguyur kota Jakarta. Fahrian menatap rintik hujan makin lama makin deras. Helaan napas berkali-kali terdengar dari beberapa murid yang baru saja keluar kelas. Termasuk Fahrian.

Tak berlangsung lama, sekitar dua puluh menitan hujan berangsur-angsur mereda. Hanya tinggal rintik kecil hujan yang turun. Fahrian bergegas berjalan kearah parkiran mumpung hujan agak reda.

Fahrian menancap gas dengan kecepatan lumayan cepat. Di jalan menuju gerbang depan ada lubang besar berisi air kotor bekas hujan tadi. Dan ia tak sengaja melewati lubang besar itu.

'Prat'

Genangan air itu membasahi seragam seorang cewek berhijab. Tanpa rasa bersalah Fahrian langsung menancap gas dengan kecepatan tinggi.

Begitu sampai di depan gerbang rumah, Fahrian melihat sebuah ojek berhenti di depan rumah Lia. Dan cewek itu lumayan kacau dengan seragamnya yang kotor. Seketika ia berpikir jangan-jangan yang kena cipratan air itu Lia.

Fahrian turun dari motor. "Lia, gue minta maaf!" teriak  Fahrian.

Cewek yang satu tahun lebih tua dari Fahrian itu berbalik bergitu sampai di depan pintu rumahnya. Tak ada ucapan apapun hanya sekedar anggukan dengan ekspresi hambar.

Fahrian langsung naik ke motor, dan memasukan motor ke garasi rumah. Entahlah, ucapan maaf tadi reflek ia  ucapkan. Hatinya seolah memaksa untuk  minta maaf, walau egonya tinggi.

-----

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab semuanya serempak.

Pikiran Fahrian mulai kacau begitu melihat papanya, Bu Alya, dan Anggi ada diruang tamu. Ia berjalan kearah sang mama, lantas mencium punggung tangannya begitupun seterusnya ia melakukan hal yang sama ke papanya dan Bu Alya. Walau sejujurnya Fahrian berlaku hal tersebut pada papa dan Bu Alya. Namun, lagi-lagi Fahrian ingat pesan mamanya.

"Yan, Anggi bakalan nginep di sini."

Fahrian berhenti di anak tangga kelima. Berbalik menatap semuanya satu persatu. "Terserah Mama," jawab Fahrian tak acuh.

Fahrian tidak bisa menolak kehendak sang mama. Bagaimana pun ia tidak mau menambah beban pikiran mamanya.

"Woy, Yan. Btw lo suka nonton gak?" tanya Anggi tau-tau sudah duduk di tepi kasur.

Fahrian yang sedang rebahan malas menanggapi bocah songong semacam Anggi. Ia memilih memejamkan matanya. Namun, hal tersebut justru memancing emosi Anggi naik.

BUGH!

Tak disangka Anggi sudah ada di samping Fahrian masih memegangi bantal. Fahrian menatap Anggi tajam. "Keluar lo!" usir Fahrian.

"Gak mau."

Kesal, Anggi menghajar Fahrian dengan bantal habis-habisan. Sampai Fahrian  menyerah."U-dah gu-e ca-pe,"

"Oke, sekarang jawab pertanyaan gue. Gimana caranya buat cowok tertarik sama cewek?" tanya Anggi serius sembari menumpukan kedua sikunya di bantal yang kini ada di pangkuannya, menunggu jawaban Fahrian.

"Tergantung selera cowok, sih. Gue pribadi gak suka cewek ribet, manja dan songong kayak lo!"

BRAK!

Sayang bantal yang Anggi lemparkan tak kena pada Fahrian, cowok itu sudah lebih dulu lari ke luar kamar lalu menutup pintu cepat.

^_^

Minggu, 11 Oktober 2020
Revisi : 22/04/2022
See you next part 😎

Sorry and Thanks [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang