22. (Sorry and Thanks)

208 20 4
                                    


Selamat membaca 💙

^_^


Lia menatap jadwal kegiatan hariannya di buku khusus yang sengaja ia buat untuk menjadwalkan kegiatan. Dan lagi-lagi ia pusing melihat betapa padatnya jadwalnya sendiri. Maklumlah sudah kelas XII jadi sudah mulai diadakan belajar tambahan sepulang sekolah. Pikiran Lia rasanya tumpang tindih dengan kecemasannya mengenai Fahrian.

Memang kejadiannya terjadi berbulan-bulan lalu, tapi Lia masih merasa sedih karena gagal memberikan pencerahan pada Fahrian. Dan hasilnya hubungan Fahrian dan ayahnya semakin renggang saja atau bahkan jauh.

Lia tersentak kaget begitu Dea menepuk bahunya. "Lo kenapa?" tanyanya.

Enggan memberikan jawaban yang sebenarnya, Lia memilih menggelengkan kepala saja.

"Jangan ngelamun, Bu Berta lagi jelasin. Nanti kena marah lho."

"Iya."

Selepas kelas belajar tambahan selesai, Lia dan Dea berjalan beriringan menuju gerbang depan. Tapi, di tengah koridor tak disangka Fahrian mencegat mereka berdua.

"Boleh pinjem Kak Lia-nya dulu?" tanya Fahrian sopan.

Dea menatap Fahrian dengan tatapan mengintimidasi. Tapi pada akhirnya Dea mengangguk juga. Lantas pergi setelah mengucapkan salam.

Tumben sekali Fahrian berbicara lembut dan sopan. Sepertinya Fahrian masih segan karena pernah menuduh Dea mengambil proposal kegiatan waktu itu.

"Gue mau balikin ini." Fahrian mengangsurkan sebuah buku yang sangat Lia kenal.

Lia hendak buka suara memprotesnya. Namun urung. "Jangan paksa apa yang gak gue suka!" tegas Fahrian.

Meski berat Lia akhirnya menerima buku itu. Menatap sebentar Fahrian, kemudian mengangguk. "Maaf," ucap Lia akhirnya karena merasa bersalah sudah memaksanya.

Tanpa kata, Fahrian melengos pergi.

Gagal! Sudah gagal rencananya kali ini. Apa yang harus Lia lakukan? Apa ia berhenti saja mencampuri masalah pribadi Fahrian? Sepertinya memang harus, mungkin jika masih ada jalan Lia akan berusaha. Tapi, ini ... Seolah hanya jalan buntu yang ditempuhnya dengan susah payah dan banjir keringat saja.

______

"Cilok ... Cilok ... Cilok asoy."

Dengan semangat, buru-buru Lia mengenakan kerudung bergo dan keluar rumah untuk membeli cilok yang jarang-jarang lewat komplek. Langkahnya seakan tersendat melihat orang yang sempat terpikirkan sedang memesan cilok.

Meski ragu, akhirnya Lia menyebrang mendekati penjual cilok itu. "Ciloknya lima ribu, Mang. Saos sama bawang gorengnya yang banyak."

"Siap, Neng. Tunggu sebentar, yah."

Lia mengangguk paham.

"Biar saya aja yang tuang saosnya, Mang," ucap Fahrian berinisiatif.

Fahrian mengambil alih sebungkus cilok yang belum dibumbui. Lia sedikit melihat aktifitasnya karena posisinya tepat berhadapan dengan Fahrian. Hanya saja terhalang oleh gerobak cilok.

PRAT!

"Astaghfirullah," ucap Lia spontan.

"Ya Allah, Den, ati-ati atuh," ucap si mang yang kebetulan baru selesai menyiapkan pesanan Lia

Sebenarnya Lia sedikit kesal karena gara-gara Fahrian, kerudung putih yang ia kenakan jadi ternodai saus. Tapi, ketika tahu Fahrian tak sengaja, Lia hanya bisa bersabar.

Si Mang mengambil alih botol sausnya, menusuk bagian lubang ditengah tutup botol dengan tusukan. "Pantes aja, ini mah mampet."

"Ini mang uangnya." Lia memberikan uang lima ribu.

Lia berbalik dengan rasa kesal. Tanpa rasa bersalah Fahrian tak sedikit pun meminta maaf soal insiden tadi. Meski murni tidak sengaja. Tapi tetap saja.

_____

Selepas solat ashar Lia menyapu ruang TV yang lumayan berantakan. Ini gara-gara adik ibunya datang ke rumah dan membawa anaknya yang masih kecil. Jadilah banyak remahan kue yang berceceran di lantai, dan beberapa bantal kursi berantakan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Lia menyimpan sapu di dekat kursi, lalu berjalan menuju pintu depan. Kira-kira siapa yang datang sore-sore begini?

Kata-kata yang semula ingin dilontarkan Lia mendadak tersangkut di tenggorokan. Kira-kira ada apa gerangan kedatangannya kemari?

"Gue minta maaf dan makasih."

"Hah? Maksudnya gimana?" tanya Lia bingung.

"Soal tadi dan soal buku yang lo kasih ke gue."

"Jadi, kamu mau baikan sama papamu?" tanya Lia to the point.

Lia masih setia berdiri di ambang pintu, sedangkan Fahrian berdiri berjarak dua teras dari tempat Lia berdiri.

Rahang Fahrian tiba-tiba mengeras, sorot matanya tak lagi menampakan kelembutan. "Lo?!"

Lia tersentak melihat perubahan drastis Fahrian. "Maaf, aku cuma tanya."

Fahrian menghela napas panjang. "Maaf, gue cuma belum terbiasa dengar kata papa. Gue belum bisa maafin papa."

Ponsel Fahrian berbunyi. Ia merogoh saku celana bahannya. Lalu mengangkat telepon.

"Waalaikumsalam, ya?"

"..."

"Apa?!"

Tanpa ba bi bu lagi Fahrian berbalik dan langsung berlari menuju rumahnya. Lia penasaran kenapa ekspresi Fahrian keliatan panik setelah menerima telepon. Tapi, apa daya Lia tak sempat menanyakan itu pada Fahrian.

^_^

Kira-kira kenapa yah?

Minggu, 18 Oktober 2020
Revisi : 28/04/2022

See you next part 😎

Sorry and Thanks [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang