8. (Benci)

295 29 0
                                    


Selamat membaca 💙

^_^

"Yan, nanti siang papa akan dateng."

Fahrian terdiam. Ponsel digenggamannya lepas dan jatuh ke kasur. Seterusnya Fahrian hanya bisa mengerang dalam hati.

Kenapa dia harus ke sini lagi?!

Fahrian keluar dari kamar menghampiri Bu Mirna—Mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan. "Ma, bisa gak minggu ini Papa gak usah datang," rayu Fahrian berusaha menahan gejolak amarahnya.

Bu Mirna terdiam mendengar kata-kata Fahrian. "Fahrian, kamu sadar apa yang sudah kamu katakan?" tanya Bu Mirna pelan. Fahrian bisa melihat jelas ada gurat kecewa di wajah mamanya. Padahal ia tidak bermaksud begitu.

Fahrian menyentuh pundak Bu Mirna. "Ma, apa mama gak pernah berpikir dengan Papa datang, itu akan semakin buat mama sakit hati. Aku sayang mama, please, Ma," kata Fahrian lembut. Ia menanti respon Bu Mirna dengan tangan masih berada di pundaknya.

Bahu Bu Mirna naik turun. Saat itu pun Fahrian tahu bahwa mamanya tengah menahan sesak dan isak tangis. Sejujurnya ia tidak ada niatan untuk membuat mamanya kembali tersiksa dengan kenangan pahit 3 tahun yang lalu. Tapi, apa boleh buat Fahrian memang tak suka dengan kehadiran Papanya.

Fahrian hendak memeluk mamanya guna menenangkan. Namun, sang mama justru menolak halus dengan isyarat tangan. Disisa derai air matanya, sang mama menyusutnya. "Mama rasa gak ada yang perlu kamu katakan lagi. Biarkan papamu datang." Setelah mengatakan itu Bu Mirna  pergi.

Bibirnya bungkam mendengar penuturan sang mama. Mendadak lidahnya kelu untuk sekedar membantah perkataan mamanya. Padahal Fahrian menolak kehadiran papanya demi mamanya. Ia hanya tidak mau melihat mamanya tersiksa kembali. Meski Fahrian tahu mamanya tersenyum setiap kali makan malam bersama sang papa dan keluarga barunya. Tapi, Fahrian masih bisa melihat bagaimana di mata sang mama masih ada luka. Luka itu belum sembuh. Fahrian tahu itu.

Semenjak perpisahan itu, Fahrian membenci papanya sendiri. Ia benci laki-laki yang tega meninggalkan ia dan mamanya 3 tahun yang lalu.

Fahrian berniat pergi dari rumah untuk sekedar menenangkan diri. Hari ini saja ia tidak mau melihat wajah papanya, hal itu semakin membuatnya benci dan muak. Tapi, sebelum Fahrian sempat keluar suara sang mama lebih dulu menginterupsi. "Mama harap kamu gak lari."

Mendengar perkataan mamanya, Fahrian terdiam sambil berpikir.

Gak mungkin gue biarin mama sendirian di meja makan sama papa!

"Aku gak lari, Ma."

Bibir Bu Mirna merekah. "Good."

___

Fahrian menatap ke arah luar jendela kamarnya yang terbuka. Semilir angin menerpa wajahnya selama beberapa saat. Perlahan bibir Fahrian tertarik ke atas membentuk senyuman getir. "Apa keluarga mereka harmonis? Gue iri." Tatapan Fahrian masih menatap pada rumah yang terletak di sebrang rumahnya. Yap, yang tak lain adalah rumah Lia dan keluarganya.

Saat itu juga sebuah mobil hitam memasuki pekarangan rumah. Fahrian tahu itu mobil papanya. Malas melihat itu, Fahrian memutuskan untuk bermain game online di ponselnya.

"Yan, ayo makan. Ada Papa, Tante Alya sama Anggi," ucap Bu Mirna berbicara di balik pintu seraya mengetuknya.

"Iya, Ma."

Sejujurnya Fahrian malas menemui papanya dan keluarga barunya. Namun, karena teringat bagaimana pesan sang mama, Fahrian memaksakan diri. Ia meniti anak tangga hingga akhirnya sampai ke ruang makan. Tanpa diperintah Fahrian segera duduk di kursi kosong yang tepat berhadapan dengan Anggi—anak Bu Alya, istri baru ayahnya. Anggi itu dua tahun di bawah Fahrian, lebih tepatnya dia masih duduk di kelas 8 SMP. Tapi, sikapnya pada Fahrian memang sedikit songong.

"Ayo, silakan dimakan makanannya," kata Bu Mirna dengan senyum ramah. Dan Fahrian tahu itu hanya formalitas.

Disela makan. Anggi berkata, "Yan, lo ketos 'kan? Bisa ajarin gue gak buat proposal."

"Emang ada tugas buat proposal?" tanya Fahrian curiga. Bukannya suudzon hanya saja Fahrian sudah sering mendapat permintaan seperti ini. Dan akhirnya permintaan itu bukan sungguh-sungguh melainkan hanya tipuan.

"Adalah! Ajarin, yah," seru Anggi antusias. Melihat ekspresi Anggi membuat Fahrian mendengus malas.

"Hm."

Kurang dari sepuluh menit acara makan selesai. Sekarang Fahrian, Bu Mirna dan keluarga baru papanya sedang mengobrol di ruang tamu. Sedangkan Fahrian hanya bisa menyimak.

"Ouh, yah, Yan. Lulus SMA nanti kamu teruskan kuliah di Inggris. Papa yang akan tanggung biayanya," kata papanya membuat Fahrian yang semula tak peduli dengan obrolan di ruang tamu ini mendadak tersentak.

Mendadak semua mata terpusat pada Fahrian. "Nanti dipikirkan lagi," jawab Fahrian akhirnya.

"Mama rasa itu baik juga."

Tanpa basa-basi Fahrian langsung berdiri. "Aku mau ke sekolah, ada urusan OSIS."

Lama-lama dalam ruangan itu membuat Fahrian naik darah. Ia keluar menaiki motor, setelah itu melajukan motor dengan kecepatan tinggi yang hampir saja menabrak Lia yang sedang menyebrang.

^_^

Minggu, 11 Oktober 2020
Revisi : 22/04/2022

Sudah mulai memasuki konflik.

See you next part 😎

Sorry and Thanks [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang