11. (Buku Untuk Fahrian)

252 26 0
                                    


Selamat membaca 💙

^_^

Pukul 20.00 Fahrian dipanggil Bu Mirna seperti biasanya untuk  makan malam. Ia meniti anak tangga pelan, dianak tangga ke tujuh Fahrian mendengar suara bising dari meja makan dekat dapur. Keningnya semakin mengerut begitu berjalan semakin dekat ke meja makan. Suara ini, tidak salah lagi. Tapi, seingatnya sang papa datang seminggu sekali. Dan lagi soal Anggi yang menginap, dia sudah pulang pekan lalu.

Begitu sampai di meja makan, tubuhnya mendadak kaku seperti tersengat aliran listrik saat netra hitamnya bertatapan dengan Pak Deka yang juga menatapnya dengan sebuah senyuman terukir. "Duduk, Yan."

Dalam hati Fahrian hanya tersenyum kecut mendengar kalimat dari bibir sang papa. "Iya," jawabnya singkat sekedar menghargai. Ia hanya tidak mau membuat keributan di meja makan nantinya jika bersikap tak acuh pada Pak Deka.

"Ayo, dimakan." Bu Mirna menebar senyum kesetiap orang di meja makan.

"Yan, kapan lo ngajarin gue buat proposal?" tanya Anggi disela makan.

Fahrian menghela napas, menyimpan sendok di sisi piring. Netra hitamnya menatap Anggi dengan tajam. "Nanti, gue gak bisa sekarang. Lo tahu gak gue lagi ada projek buat ultah sekolah beberapa minggu lagi."

"Tapi—"

"Anggi, berhenti memaksa! Fahrian sedang sibuk, harusnya kamu mengerti." Ada nada sentakan dan penekanan disetiap kata yang Pak Deka ucapkan.

Fahrian tersenyum samar. Walau Pak Deka membela, bukan berarti ia akan luluh dengan itu.

"Ayah," panggil Anggi lirih, cewek itu sedikit berkaca-kaca.

"Maaf," ucap Pak Deka kemudian.

Rasanya suasana di meja makan mulai tidak enak. Fahrian mendorong kursi ke belakang, membuat Pak Deka, Bu Alya, Anggi, dan sang mama beralih fokus kearahnya.

"Aku duluan."

Belum sampai sepuluh menitan Fahrian berkutat dengan laptop. Seseorang mengetuk pintu kamar. "Masuk!"

Kasur yang Fahrian duduki seketika menurun."Gue gak serius kok soal proposal, gue cuma mau ngakrabin diri aja sama lo."

"Hm, terus?" Fahrian masih sibuk berkutat dengan laptop tanpa melihat lawan bicara.

"Gue ... argh! Lo bisa gak jangan sok sibuk gue lagi ngomong sama lo tahu!" Tanpa prediksi tiba-tiba Anggi melempar bantal kearah Fahrian.

Dalam hati Fahrian mengumpat. Ia pun segera membalas perlakuan Anggi dengan hal yang sama. Seterusnya terjadi perang bantal antara Fahrian dan Anggi hingga isi bantalnya bertebaran.

"Yan, Ngi! Mama masuk boleh!"

Fahrian buru-buru mendorong Anggi yang terus memukulinya menggunakan bantal. "Jangan, Ma! Eh ... aku lagi butuh waktu sendiri."

"Oke."

___

Pagi itu saat Fahrian keluar berniat berangkat sekolah. Di depan gerbang ia melihat Pak Deka sedang mengobrol bersama Lia.

Fahrian rasa hari ini menjadi hari yang menyebalkan. Begitu masuk mobil Fahrian duduk kursi belakang diapit oleh Anggi dan Lia.

"Yah, aku mau duduk di depan!" kata Fahrian sebisa mungkin menelan rasa kesal di hati.

"Gak bisa, mama kamu yang akan duduk di depan."

Sepanjang jalan Fahrian seolah menjadi nyamuk mendengar Anggi mengobrol dengan Lia. Dan sekitar lima menitan sebelum sampai, Anggi udah lebih dulu turun. Yah, karena dia anak SMP.

"Assalamualaikum, Om, Tante," kata Lia.

____

Mama
[Yan, kamu pulang bareng Lia, yah]

Me
[Gak bisa, Ma. Aku ada rapat OSIS hari ini]

Mama
[Gak masalah, lagi pun katanya Lia juga ada kelas tambahan hari ini]

Me
[Oke, Ma]

Fahrian menghela napas kasar begitu keluar kelas. Dari arah depan ia  melihat Nadin ngelambai kearahnya sambil teriak-teriak. "Yan, jangan lupa," ucap Nadin begitu sampai di depan gue.

"Iya, si Rio ada?" Fahrian balik bertanya sebelum Nadin pergi.

"Hah, iya gue lupa. Rio izin gak ikut rapat katanya ada urusan yang urgent banget, gue duluan!"

Fahrian hanya berdecak lagi-lagi mendengar Rio tidak ikut rapat. Ia sudah tahu Rio pasti hanya beralasan saja.

Pukul 17.06 rapat OSIS selesai juga. Sebelum Fahrian menyandang tas, ponselnya berdering.

Mama
[Jangan lupa pulang bareng Lia, dia udah nunggu di depan gerbang]

Me
[Iya, Ma]


"Sorry, aku kira kamu udah pulang."

"Gue habis rapat."

"Tadinya aku berniat bua—"

"Gak usah banyak omong, cepet supir gue udah di depan."

Mama
[Yan, kamu pulang naik bus atau angkot. Mobilnya ada di bengkel]

Wajah Fahrian mendadak keruh saat membaca isi pesan dari sang mama.

Lia yang berdiri di samping Fahrian mengerutkan dahi, ikut heran dengan ekspresi Fahrian yang mendadak keruh. "Kenapa?" tanya Lia.

Fahrian memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. "Kita naik bus!" putus Fahrian cepat, sedetik setelah mengatakan itu ia melangkah pergi.

Lia segera tersadar saat Fahrian sudah cukup jauh berjalan menuju gerbang depan. Ia buru-buru mengikuti Fahrian sebelum laki-laki itu meninggalkannya.

"Yan," panggil Lia saat Fahrian baru saja memejamkan matanya berniat tidur.

Mata Fahrian masih terpejam. "Apa?"

"Ini." Lia menyodorkan sebuah buku bersamaan dengan mata Fahrian yang ikutan terbuka.

"Itu ... jangan lupa dibaca, yah."

Fahrian hanya mengangguk samar tak banyak berbicara atau komentar. Ia mengambik buku yang disodorkan Lia, lalu menyimpannya ke dalam tas. Selanjutnya ia kembali memejamkan mata.

"Yan," panggil Lia lagi.

Setelah beberapa menit tak ada jawaban, Lia menoleh ke samping dan mendapati Fahrian yang sudah tertidur dengan napas teratur. "Udah tidur ternyata."

Padahal Fahrian belum tidur. Ia hanya memejamkan mata saja. Dan ia jelas bisa mendengar gumaman kecil Lia.

Lia menghembuskan napasnya pelan. Kepalanya menengok ke arah jendela sebrang. Selanjutnya tersenyum kecil. Padahal jika saja Fahrian masih bangun mungkin ia akan memberikan beberapa nasihat lagi terkait keluarganya.

^_^

Senin, 12 Oktober 2020
Revisi : 23/04/2022

See you next part 😎

Sorry and Thanks [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang