15. (Curiga)

216 22 2
                                    


Selamat membaca 💙

^_^


Dua hari lagi menjelang acara ultah sekolah, Lia dan Dea berniat untuk membeli beberapa barang yang diperlukan. Bukan Lia sih, melainkan Dea.

Pukul 16.30 Lia dan Dea sampai di mall. Pandangannya sesekali menatap sekitar, ternyata sebagian pengunjungnya kebanyakan anak muda. Sebagian anak mudanya ternyata dari sekolah SMA BINAR ANGKASA—sekolah Lia dan Dea.

"Kita kemana dulu nih?" tanya Lia setelah bosan mengikuti Dea berkeliling mall sana-sini.

"Ke tempat make up."

Lia mengikuti saja apa kemana Dea pergi. Akhirnya sampai juga di tempat make up. Ia sempat melirik Dea yang sibuk menelusuri rak berisi macam-macam make up. Jujur saja Lia tak begitu paham juga sih tentang make up.

"Mau beli apa?"

"Liptint, eyeliner dan pensil alis warna coklat." Dea membawa beberapa barang yang disebutkannya tadi, setelah itu membayarnya.

"Mau makan dulu?" tanya Dea.

Lia menggeleng. "Makan di luar aja, jajanan pinggir jalan enak loh."

"Oke."

Suasana di taman kota kali ini sedikit ramai. Lia dan Dea duduk di kursi taman. Masing-masing sudah membeli makanan.

"Kenapa sih kayaknya Fahrian gak terlalu suka sama lo? Ada masalah?" Dea menatap Lia sekilas, sebelum akhirnya fokus memakan siomay.

Seketika Lia menatap Dea sebentar. Setelahnya kembali menyuapkan cilok bumbu cobek yang dibelinya. "Gak tahu."

"Dasar nyebelin! Udah mah dia adik kelas. Songong lagi!!" emosi Dea, cewek itu tanpa sadar hampir membanting bungkus siomay yang dipegangnya.

"Udahlah, ngapain bahas dia," kata Lia berusaha menenangkan Dea. Lia yakin, Dea pasti masih mendendam pada Fahrian karena cowok itu pernah menuduhnya mencuri.

Lima menit Lia sibuk menghabiskan cilok. Sedangkan Dea sibuk makan somay sambil main ponsel.

"HAH?!" pekik Dea kencang.

Aku yang duduk di samping Dea langsung menyikutnya pelan. Beberapa orang yang lewat pun sempat melirik ke arah Lia dan Dea. Lia mengintip isi ponsel Dea.

"Kenapa sih, cuma foto Fahrian aja," kata Lia heran.

"Ini rumah lo 'kan? Yang sebrang itu." tanya Dea sekaligus memastikan.

Lia mengangguk. "Gak usah kaget, aku emang tetanggaan sama dia."

"Gue harap lo tahan."

"Iya."

___

Sehabis makan malam, Lia kembali ke kamar. Tangannya bergerak membuka jendela kamar sebentar sekadar membiarkan angin malam berembus. Angin malam membuat pikiran Lia sejenak merasa tenang. Ia menumpukan kedua tangannya di kusen jendela. Menatap sinar rembulan dikegelapan malam.

Tanpa sengaja netranya menangkap Fahrian yang keluar dari rumah, kemudian menutup gerbang. Sedang apa dia malam-malam keluar?

"Lia tolong belikan teh di minimarket depan," titah Bu Aisyah.

"Baik, Bu."

Lia bergegas mengambil jaket dan mengenakan kerudung bergo putih. Setidaknya bisa sedikit menghirup udara segar, itung-itung refresh otak sebelum ujian.

Beberapa meter di depan Lia ada Fahrian yang berjalan sendirian sembari menenteng buku.

Mau kemana dia? Malam-malam begini bawa buku.

"Fahrian!"

Lia segera menghampirinya setelah Fahrian berhenti berjalan dan berbalik. "Mau kemana?"

"Kepo!"

Mendengar jawaban Fahrian, Lia segera melangkah pergi menuju minimarket usai pamit pada Fahrian.

Setelah membeli teh di minimarket, Lia bergegas kembali ke rumah. Di perjalanan menuju rumah ia melihat Fahrian termenung di kursi depan jalan raya.

Sedang apa dia?

"Assalamualaikum, sedang apa, Yan?"

"Waalaikumsalam," jawabnya. Tanpa menjawab pertanyaan Lia.

"Kamu oke?" Lia sedikit menjaga jarak dikarenakan takut ada fitnah.

Fahrian masih diam memegangi sebuah buku. Kalau dilihat dari sisi kanan sepertinya buku itu yang pernah Lia berikan pada Fahrian. Apa Fahrian termenung karena itu?

"Yan," panggil Lia lagi.

"Berisik!" sewot Fahrian berdiri dari tempat duduknya, kemudian melempar asal buku yang dipegangnya ke arah Lia. Beruntungnya Lia bisa menghindar.

"Ambil buku lo! Gue gak butuh!" cecar Fahrian.

Lia memungut buku itu. Ia hendak  mengembalikannya pada Fahrian. Tapi sayangnya Fahrian sudah pergi jauh. Dalam hati Lia sedikit merasa bersalah. Bagaimana tidak? Ini buku pemberiannya. Memang sih isi bukunya mungkin akan sedikit menyinggung masalah keluarga. Tapi, ia 'kan melakukan itu demi kebaikan Fahrian. Salahkah?

___

"Ma, ngapain sih dia ada di sini?" tanya Fahrian tak suka.

"Gak apalah, mungkin ada sesuatu hal penting. Mama pergi belanja, yah."

Fahrian sedikit menggeram kesal begitu Bu Mirna pergi. Setelahnya Fahrian menatap Lia tajam dari sofa seberang. "Mau lo apa?! Cepet bilang!"

Lia mengangsurkan buku yang semalam Fahrian kembalikan. "Tolong dibaca."

Fahrian kelihatan tak mau mengambilnya. Ia bersidekap di dada. "Penting?" tanyanya datar.

Sepertinya Lia harus mencari cara lain agar Fahrian mau mengambil bukunya dan membaca. Lagi pula ia  tak mau berlama-lama berduaan di ruang tamu dengan Fahrian.

"Penting banget."

Fahrian mengernyit heran melihat Lia yang tampak memaksa. "Maksa banget sih lo!"

Bodo amatlah.

Lia beranjak dari kursi meninggalkan buku itu di atas meja. Daripada terus-menerus membujuknya. Yang ada gak akan selesai debat.

Di ambang pintu Fahrian memanggil. Lia berbalik. "Apa?"

"Lo datang ke acara ultah sekolah?" tanyanya.

Dahinya mengernyit sekejap sebelum kembali menormalkan ekspresi. Gak salah denger apa? Dia bertanya Lia datang ke ultah sekolah atau gak? Lia  menggaruk kepalanya yang terbalut jilbab. "Iya, in sya allah."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sampai rumah pun Lia masih memikirkan maksud Fahrian bertanya begitu. Apa alasannya? Atau dia cuma mau tahu aja? Tiba-tiba perasaannya jadi tak enak. Ah, sudahlah mungkin Fahrian cuma iseng nanya. Semoga gak terjadi hal-hal aneh nanti.

^_^

Rabu, 14 Oktober 2020
Revisi : 24/04/2022

See you next part 😎

Sorry and Thanks [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang