22. AWAL MULA

851 94 5
                                    

HAPPY READING♥

"Kamu berani menemuinya itu berarti kamu harus siap kehilangannya," ucap seorang pria tua di seberang telepon.

"Saya tidak menemuinya tapi putriku sendiri yang datang kemari," balas Raga tegas.

"Ikatan Ayah dan anak itu kuat. Jangan pernah berusaha memisahkan seorang anak dengan Ayahnya. Bukankah anda juga mempunyai seorang anak?" lanjut Raga.

Pria tua di seberang sana menggeram marah lalu mematikan telepon secara sepihak. Raga menghela napas lega untuk sesaat.

Ia berpikir apakah ia mampu melawan peringatan itu? Selama ini Raga sudah bersabar tidak bisa menemui putrinya dan hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Tapi sampai kapan hal itu akan terjadi?

Tak seharusnya Ayah dan anak terpisah. Raga selalu merasa sedih jika mengingat putrinya yang sudah lama sekali tidak mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Andai waktu itu aku bisa menyakinkan Sarah mungkin sekarang tidak akan menjadi seperti ini.

                               ✥✾✥

Jam istirahat biasanya digunakan para siswa untuk mengisi perut mereka yang keroncongan. Tapi istirahat kali ini tidak digunakan Rain untuk mengisi asupan.

Ia hanya ingin menyendiri saat ini. Taman belakang sekolah adalah tempat yang tepat untuknya kali ini. Selain banyak pohon hijau, di sana juga terasa sejuk dan asri.

Rain menghela napas. Ia mendongakkan kepalanya menatap burung-burung yang hinggap di pohon. Burung itu terlihat bahagia bersama keluarganya tidak seperti Rain yang keluarganya tidak lengkap atau terkesan hancur.

Ia telalu fokus menatap burung-burung itu hingga tak sadar ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Seseorang tersebut juga melakukan hal yang sama dengan Rain, menatap burung-burung yang terlihat bahagia bersama keluarganya.

Jiwa gadis itu seperti baru saja menghilang lalu sekarang kembali lagi. Rain baru menyadari ada seseorang di sampingnya. Ah kapan ia peka terhadap kehadiran seseorang?!

Menengok pada seseorang itu kemudian bertanya, "Lo ngapain di sini?"

"Duduk."

Seseorang itu terlihat santai dengan jawabannya barusan. Ia tak sadar jika jawaban yang dilontarkannya membuat gadis di sebelahnya menahan emosi agar tak mencakar laki-laki es itu.

Awan. Hari ini dia merasa jenuh dengan keadaan kelasnya yang seperti pasar, riuh sekali. Ia tak menyukai keramaian. Awan lebih menyukai tempat yang sepi dan tenang sehingga tubuhnya bergerak ke taman belakang sekolah ini. Tempat favorit Awan di sekolah hanya ada dua, taman belakang sekolah dan rooftop.

"Lo sendiri ngapain?" tanya Awan datar.

"Napas," jawab Rain singkat dan terasa menyebalkan bagi Awan.

"Kirain."

Rain menautkan kedua alisnya. "Kirain apa?"

"Kirain nggak napas," balas Awan datar.

Rain berusaha menahan emosinya. Geram sekali ia pada laki-laki es itu.

Awan melirik Rain dari sudut matanya. Lucu, batinnya.

Ekspresi Rain yang seperti menahan marah bagi Awan terlihat lucu. Entah kenapa sudut bibirnya terangkat saat melihatnya.

"Lo bisa senyum?" tanya Rain yang tak percaya melihat makhluk tampan itu tersenyum. Jika boleh jujur, Rain belum pernah melihat Awan tersenyum.

Brittle [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang