HAPPY READING♥
Langit mulai menghitam pertanda hujan sebentar lagi akan turun membasahi bumi. Awan mendongakkan kepalanya menatap langit. Satu tetes air hujan berhasil mengenai wajahnya. Ia beralih menatap Rain. Ia tak tahu alasan dirinya membawa gadis itu ke sini, makam almarhumah Mamanya.
Kemarin ia memang berniat untuk mengunjungi Mamanya. Tapi entah kenapa ia ingin mengunjungi Rita bersama Rain. Sebelumnya Awan tidak pernah mengajak siapapun ke sini kecuali keluarganya. Bahkan Azka dan Ardan yang merupakan temannya sedari zaman putih-biru pun tidak pernah ia ajak ke sini.
"Ma, Awan pamit dulu," ucap Awan sembari mengusap nisan Mamanya.
"Ayo."
Awan mengulurkan tangannya di depan Rain. Dengan sedikit ragu, Rain menerima uluran tangan Awan. Karena rintik hujan mulai berjatuhan, Awan menarik Rain keluar dari area pemakaman dengan berlari-lari kecil.
Keduanya sampai di depan motor Awan. Rain mengatur napasnya sejenak.
"Mau neduh dulu apa langsung pulang?" tanya Awan.
Rain mendongak ke atas. Sepertinya hujan kali ini tidak akan deras pikirnya. Hanya gerimis saja.
"Pulang aja," jawab Rain. Secara tak sadar ia mengusap-usap lengannya karena rasa dingin yang mulai menusuk sampai ke tulangnya.
Apalagi ditambah angin yang dari tadi berhembus cukup kencang membuat Rain semakin merasa kedinginan. Beberapa saat kemudian, Rain merasa tubuhnya membeku. Jantungnya berdegup tak karuan. Sebuah jaket tersampir di bahunya. Ia menatap jaket itu sekilas lalu beralih menatap Awan.
"Jangan dilepas," kata Awan dingin seolah mengerti arti tatapan Rain.
"T-tapi nanti lo kedinginan."
"Nggak."
Kemudian Awan mulai menyalakan mesin motornya. Mereka pun mulai melesat menuju jalanan dan bergerak cepat agar tidak terkejar oleh hujan. Jika Awan seorang diri, ia tidak masalah hujan-hujanan tapi sekarang ia membawa seorang gadis. Gadis yang dicintainya pula.
Ia tidak tega jika nanti melihat Rain demam karena ulahnya. Awan semakin mempercepat mesin motornya. Bertepatan dengan hal itu, Rain menumpukan dagunya di bahu Awan. Lagi-lagi Awan merasakan jantungnya berdisko. Tubuhnya yang tadi kedinginan sekarang mulai menghangat.
Tak disangka hujan semakin deras. Orang-orang mulai berlarian mencari tempat untuk berteduh. Termasuk Rain dan Awan.
Awan terpaksa memberhentikan motornya di depan sebuah ruko yang sudah tutup. Ia tidak mau Rain sakit karena hujan-hujanan bersamanya. Cukup lama mereka berteduh di sana. Mungkin hampir setengah jam.
Rain menggosokkan kedua telapak tangannya agar tubuhnya merasakan kehangatan. Ia menatap Awan. Rasanya Rain tidak tega melihat laki-laki itu kedinginan karenanya.
"Maaf," ucap Rain pelan.
"Buat?"
"Udah buat lo kedinginan." Rain menundukkan pandangannya.
"Nggak bukan salah lo," kata Awan datar. "Gue nggak papa," lanjutnya.
Awan tersenyum tipis lalu secara tak sadar, tangannya bergerak mengacak-acak surai kecoklatan Rain membuat gadis itu mendongak. Netranya bertemu dengan netra hitam legam Awan membuat Rain merasa jantungnya akan meloncat sekarang juga. Pipinya terasa memanas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brittle [Tamat]
Teen FictionRain Oktavia Pradipta, gadis rapuh yang selalu terlihat kuat di depan semua orang. Hal langka baginya jika mendapatkan sebuah kebahagiaan. Hidup dengan topeng yang menutupi semua kesedihannya. Selalu berusaha menjadi gadis ceria di depan semua orang...