19. Emosi

38 32 14
                                    

~Mungkin bukan hari ini, tetapi nanti, suatu saat~

***

NELLA, gadis bersurai legam sebahu itu berjalan lesu menuju indekosnya. Ini pukul tiga sore dan rasa-rasanya Nella seakan-akan ingin membanting apa saja ketika mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Ketika Velinka mampir ke kelas mereka dan memanggil Deon, lalu setelahnya mereka berbisik-bisik. Dari kejauhan, ia memicing curiga, tak pernah rasanya melihat Velinka dan Deon sekompak ini.

Yang lebih meragukan lagi, setelah bel pulang sekolah berbunyi, Deon buru-buru mengemas buku dan alat tulisnya, lalu melesat entah ke mana. Coba katakan pada Nella, bagaimana bisa ia tak curiga?

Menepuk dahinya pelan, Nella tersenyum lebar ketika menyadari perasaan menggelisahkan apa yang sedari tadi mengganggunya.

“Gue cemburu, ya?”

Gadis kurus itu cekikikan, tak menyangka akan merasakan 'cemburu' di awal hubungan mereka. Memang pada dasarnya Nella itu gadis aneh, ia lebih memilih membanggakan perasaan cemburunya daripada mengatasinya. Lebih baik dinikmati sedikit lebih lama, begitulah pikirnya.

Sibuk dengan pemikiran absurdnya, Nella tak sadar bahwa sekarang, di gang sempit nan sepi yang biasanya selalu menjadi jalan pintasnya menuju indekos, beberapa pemuda berpenampilan berandalan telah mengadangnya. Otak kecilnya baru bekerja ketika jaraknya dengan para pemuda itu tinggallah sepuluh meter.

“Mau apa? Gue nggak ada duit.”

Gila. Gadis kurus hampir ceking itu tetap tak gentar sekalipun dirinya ibaratkan ikan badut yang dikelilingi oleh hiu-hiu kelaparan. Para pemuda itu saling menatap, lalu salah satu di antara mereka membuka mulut untuk bertanya,

“Kau Nella Himela?”

Nella mengangguk sambil tersenyum sok ramah. “Gue Nella, kalo lo?”

“Ni cewek bacotnya boleh juga, ya. Makan besar kita malam ini!”

Mereka terbahak, entah apa yang lucu. Bahkan, Nella mulai merasa ngeri ketika menyadari bahwa hanya dirinya yang berada di gang suram ini. Alarm di kepalanya berbunyi nyaring, memberitahukan padanya untuk lekas-lekas berlari menjauh dari tempat terkutuk ini.

Namun, baru saja berbalik, tiga orang pemuda lain mengadang jalan keluarnya. Mengumpat dalam hati, Nella merasa benar-benar ampas hari ini. Kejadian Netta yang tiba-tiba kabur dari indekos dan pulang-pulang justru menjadi lebih pendiam dari sebelumnya sudah cukup membuat Nella khawatir bukan main.

Ia tahu, ia sangat tahu bahwa Netta pasti akan menyalahkan dirinya lagi karena merasa menjadi beban untuknya, tetapi percayalah, tak pernah sekalipun ia berpikir demikian. Justru Nella berusaha mempertahankan Netta karena tanpa disadari, dirinya takkan bisa hidup lagi tanpa gadis mungil itu.

Namun, ia tak punya waktu untuk memikirkan Netta jika dirinya saja sangat membutuhkan bantuan. Entah apa penyebab segerombolan berandalan kurang akhlak ini mengepungnya, tetapi Nella yakin, bencana akan segera menimpanya.

“Kalau ini prank, emang minta ditonjok sampai mampus kalian, ya,” gumam Nella sembari mengawasi sekitarnya. Terkadang, ia mencuri-curi cara untuk mengambil telepon cerdasnya dari saku rok.

“Kami cuma disuruh, kau jangan dendam. Kalau nggak mau kenapa-napa, mending diam dan ikuti semua perintah kami.”

“Nggak ada harga diri banget lo. Udah tua masih aja nurut disuruh-suruh buat ngelakuin hal buruk kayak gini.”

Nella bersabda, berusaha menyirami otak-otak gersang itu dengan sejumlah kata-kata bijak. Namun, memang dasarnya sudah positif ingin mengincar Nella, mereka pun tak mengindahkan ucapan gadis kurus itu.

Pasrah, tetapi tetap mencuri-curi cara untuk menelepon seseorang, tiba-tiba sebuah batu berukuran sedang meluncur mulus dan jatuh tepat di sebelah Nella. Gadis urakan itu bergidik. Jika lemparan itu meleset, pasti sekarang dirinya tinggallah nama.

“Permisi, abang-abang.”

Nella mengentakkan kakinya kesal. Dari sekian banyak orang, sekian banyak jenis teman-temannya, mengapa harus Dhimas yang kebetulan lewat gang sepi ini? Mengapa harus Dhimas yang menjadi pahlawan kesiangannya?

“Mas, lo pulang aja, deh. Ntar beban gue malah tambah banyak.”

Dhimas menoyor kepala Nella, lalu berbisik-bisik pada gadis kurus itu,

“Tadi aku udah telepon Deon, mau minta bantuan dia, tapi katanya dia lagi sibuk. Terus, kau tahu nggak?”

Nella makin merapat, merasa materi gibah hari ini begitu menggiurkan.

“Ada suara Velinka! Kayaknya mereka hang out bareng.”

Nella mendadak panas. Ibaratkan kini kepalanya adalah tungku bara yang menggelegak, berisi para penghuni neraka yang menari-nari asyik menikmati api kemarahannya. Kecemburuannya berakar, Deon pantas mendapat tiga sampai lima pukulan di wajah dan tulang kering. Kalau sial, mungkin Deon harus bersiap-siap untuk patah tulang hingga rontok gigi. Jangan dipikir pemuda tinggi itu dapat bermain-main dengan perasaan tulusnya.

Beralih pada Dhimas, Nella menghela napas. “Terus faedahnya lo ke sini apa? Nggak ada, 'kan?”

“Eh, bocah asbun. Aku ke sini buat bantuin kau. Jangan kurang ajar, ya. Mending sekarang kauhubungi siapa pun yang bisa bantuin kita.”

Bersungut-sungut, Nella mengambil telepon cerdasnya dan menghubungi seseorang. Sementara Dhimas, pemuda kurus itu sedari tadi sibuk bernegosiasi dengan para berandalan berwajah kusam, seperti kaus kaki Nella yang tak dicuci berhari-hari.

“Jangan galak-galak gitulah, Bang. Memangnya teman saya yang goblok ini ada buat salah apa?”

Abang-abang botak berwajah paling sawan itu membuka mulut, hampir saja membuat Dhimas meninggal karena tersedak air ludahnya sendiri.

“Dia salah karena main-main sama bos kami.”

Satu kata terlintas dalam benak Dhimas; kemayu. Demi Tuhan, suara abang-abang mirip preman begal ini benar-benar halus seperti suara bayi perempuan baru lahir. Nella yang perempuan tulen saja kalah halus. Bahkan, tak bisa dibandingkan.

“Kalau ada salah, maafkanlah, Bang. Dia ini emang gitu, nggak tahu malu, nggak tahu apa-apa. Polos kayak orang beloon. Maklumi aja, ya?”

“Kau jangan ikut campur!” Pemuda lain yang terlihat lebih begal mengacungkan parang pada Dhimas, membuat pemuda kurus itu kicep seketika. Belum selesai negosiasi, yang ada kepalanya hilang ditebas parang tajam si abang.

“Serahkan aja cewek di belakang kau itu ke kami. Nggak bakal kami apa-apain. Kami cuma mau bersilaturahmi sedikit.” Seringaian setan tercetak jelas di wajah orang-orang yang terlihat jarang mandi itu membuat Dhimas bergidik, agak menyesal karena menawarkan diri untuk menolong Nella yang bahkan, menganggapnya sebagai beban.

“Nell, kabur, yuk.”

Nella menepuk bahu Dhimas dan tersenyum tak kalah mengerikan dari para berandalan itu.

“Gue udah dapet bantuan. Bentar lagi sampai. Lo ulur waktu sedikit lagi, nanti gue kasih aba-aba buat lari. Oke?”

Woi! Kau dengar nggak? Serahkan cewek itu ke kita, bangsat!”

Beberapa di antara mereka maju, hendak menangkap Nella dengan paksa. Namun, baru selangkah, gadis kurus itu sudah berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan membuat para pemuda ini semakin panas.

Spontan, Nella melempar batu yang Dhimas lempar tadi tepat ke arah abang-abang bersuara kemayu dan strike! Nella berhasil mengenai kepala plontos itu. Melihat peluang, Nella berseru keras,

“Lari!”

Nella buru-buru menarik Dhimas untuk kabur seperti yang sudah mereka rencanakan. Untungnya mereka berhasil menembus komplotan itu. Namun, namanya juga harga diri, tidak mungkin para berandalan tengik seperti mereka akan menyerah begitu saja.

Hanya saja, sayangnya, bantuan yang Nella ucapkan tadi telah tiba. Bukan rombongan sirkus ataupun bapak-bapak berseragam dan berpangkat tinggi, melainkan seorang pemilik rumah makan padang terkemuka di Jambi bernama Arsyal Nugraha.

“Semoga waktu kita ketemu lagi, lo nggak tinggal nama, Arsa.”

DEOLLA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang