EPILOG

46 29 27
                                    

~Di sini kita sekarang, berdiri di bawah terik mentari, saling bertukar pandang dan tersenyum melepas kerinduan~

***

IYA, aku tahu. Iyaaa, aku bakalan cepat-cepat balik kalo urusanku di sini udah selesai. Lagian aku 'kan udah di Jambi, jangan lebai, deh, Kak.”

“Justru udah di Jambi lo harusnya temui gue, bukannya malah keluyuran! Pokoknya pukul tujuh malam lo harus udah sampai di indekos. Paham, Netta Himeta?”

Netta, gadis mungil yang tahun ini telah menginjak usia delapan belas tahun itu mengangguk walaupun ia tahu, Nella takkan bisa melihatnya. Dua jam yang lalu, ia tiba di Kota Jambi, kota yang menyimpan banyak memori indah untuknya. Ia tak langsung ke indekos, tetapi malah duduk termangu di kursi taman yang dulu sering dia dan Nella kunjungi ketika nenek mereka masih hidup.

Surai legamnya yang sengaja dipanjangkan hingga sepinggang menyentuh permukaan kursi, menari-nari kecil karena diterpa angin sore. Sebuah koper hitam berukuran sedang tergeletak di pinggir kursi taman, merasa terabaikan oleh pemiliknya yang memasang raut sedu. Alasan Netta tak langsung pulang adalah karena ia belum siap jika harus bertemu pemuda itu.

Jauh-jauh hari, Nella telah menceritakan segala persiapan yang mereka lakukan untuk menyambut kepulangannya. Bahkan, gadis kurus itu menyebutkan siapa-siapa saja yang akan hadir dalam pesta kecil-kecilannya. Ketika mendengar nama Arsyal Nugraha disebutkan, dirinya berubah menjadi pengecut, mendadak tak ingin pulang ke Kota Jambi.

Tiga tahun, tiga tahun Netta pergi dengan alasan belajar demi meraih cita-citanya di masa depan nanti, tetapi tiga tahun pula rasanya ia telah melarikan diri dari sosok itu, sosok yang masih tak mampu lenyap dari pikiran maupun hatinya.

Mencongakkan kepalanya menatap langit senja, Netta menghela napas. Walaupun Nella menolak pertunangannya dengan Arsyal, tetap saja Netta tak bisa seenaknya mendekati pemuda jangkung itu. Belum lagi jika Arsyal telah memiliki tambatan hati yang baru dan lagi-lagi meninggalkannya dalam kepedihan.

Hah, kenapa aku malah suka sama orang kayak dia, sih? Udah nggak peka, suka baperin anak orang lagi.”

“Boleh saya duduk di sini?”

Netta tersentak, hampir saja menampar orang kurang ajar yang tiba-tiba saja datang dan mengagetkannya. Mungkin ia harus segera memeriksakan kondisi mental jantungnya ke dokter sebelum terlambat.

“Silakan.”

Netta menyingkir sampai ke ujung kursi, sebisa mungkin duduk berjauhan dengan pemuda yang mengenakan topi, jaket denim, dan celana panjang serba hitam. Bergidik ngeri, otak Netta mulai berpikir jika pemuda ini adalah seorang penguntit berwajah buruk rupa. Entah apa yang merasukinya hingga dengan tega-teganya mencela wajah seseorang.

Merasa tak nyaman, Netta lekas-lekas berdiri, melangkah sedikit cepat menggapai kopernya sebelum kesialan lain menimpanya. Tanpa sengaja, ia menginjak tali sepatunya sendiri dan nyaris terjengkang kalau saja pemuda yang ia tuduh sebagai penguntit itu tak menangkap tubuhnya. Karena hal itu pula, topi yang dikenakan pemuda itu terlepas sehingga membuat wajahnya terlihat jelas dalam pandangan Netta.

Memelotot, Netta mendadak gagap ketika mengetahui siapa gerangan orang yang diledeknya berwajah buruk rupa.

“AR-ARSYAL NU-NUGRA-HA?”

Netta syok, jantungnya hampir saja berhenti berdegap ketika pemuda jangkung yang masih menjadi cinta pertamanya tersenyum kecil.

“Kamu nggak apa-apa?”

Setelah membantu Netta berdiri dengan benar, Arsyal kembali mengembangkan senyuman ramahnya.

“Awalnya aku khawatir membiarkanmu pergi seorang diri, tapi syukurlah karena tampaknya kamu tumbuh dengan baik. Bahkan, aku sempat terkejut ketika melihatmu hari ini. Kamu benar-benar cantik, loh.”

Arsyal mengakhiri kalimatnya dengan menepuk pelan kepala gadis mungil itu. Lihat? Arsyal dan segala ucapan beracunnya betul-betul sialan tiada dua. Jika begini, bagaimana Netta bisa membiarkan perasaannya lenyap begitu saja? Rasanya mustahil, bukan?

“Rencananya kamu mau berapa lama di Jambi?”

Netta menyelipkan anak rambutnya di telinga dan menjawab pertanyaan Arsyal, “Mungkin sebulan atau lebih. Aku juga nggak mau cepat-cepat balik ke Jakarta, mau nostalgia dulu di sini.”

Kemudian Netta tertawa kecil ketika sebuah ingatan masa lampau merasuki ingatannya. Sebisa mungkin, ia ingin membuat kenangan baru bersama kakak dan teman-temannya sebelum kembali ke Jakarta dan menetap untuk waktu yang lama.

“Netta, apa perasaanmu masih sama?” Melihat Netta yang terdiam membuat Arsyal kembali mengulangi pertanyaannya, “Apa perasaanmu untukku masih sama? Apakah masih ada aku di hatimu?”

Gadis mungil itu mendadak gelagapan salah tingkah. Yang benar saja. Baru bertemu Arsyal beberapa menit yang lalu, mengapa pemuda itu sudah bisa menebak-nebak perasaannya? Apakah tatapannya terlalu jelas?

Ah, ng-nggak gitu. Gi-gimana, ya? Ah, pokoknya, ya, gitu!”

Arsyal tertawa, tak tahan melihat tingkah menggemaskan Netta. Sudah tiga tahun berlalu dan ia telah memikirkannya selama ini. Jika hari ini tiba, hari di mana ia bertemu Netta dan jantungnya tetap berdetak sekencang waktu itu, maka ia telah bersiap-siap menyatakan pilihan terakhirnya.

Meraih tangan mungil itu untuk digenggam, Arsyal menghentikan tawanya, menggantikannya dengan tatapan serius yang membuat bulu roma Netta berdiri.

“Setelah selesai dengan urusan sekolahmu, menikahlah denganku, Netta Himeta!”

“HAH?”

Pemuda itu tersenyum lebar, lalu merengkuh tubuh ringkih itu ke dalam dekapannya.

“Jadilah pendamping hidupku untuk selamanya, Netta Himeta.”

***

RAMPUNG!

Dengan begini, saya (Stief.AN Ran) selaku penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pembaca DEOLLA. Kalian luar biasa, kalian benar-benar keren! Tanpa kalian, DEOLLA tidak akan pernah jalan ataupun sampai di titik ini!

||SAMPAI JUMPA DI TAHUN 2021, DEOLLAVERS!||

DEOLLA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang