~Jangan mengejarku kalau kau tak mengerti bagaimana perasaanku tentangmu~
***
“NETTA!”
Nama itu sudah terlampau sering diteriakkan oleh tiga anak muda yang menerobos derasnya hujan sekadar mencari keberadaan si pemilik nama. Dua jam yang lalu, setelah Netta kabur, Arsyal berkunjung ke indekos dan mendapati wajah sembab Nella yang memohon untuk membantu mencari adiknya.
Tentu saja Arsyal mengiakan. Belum lagi karena ia memang mencemaskan kondisi Netta. Gadis itu tak sekuat yang terlihat. Satu sentuhan fatal saja sudah mampu meremukkan seluruh tubuh Netta. Namun, walaupun dalam keadaan genting, Arsyal tetap tak suka ketika Nella menelepon Deon dan meminta bantuan ke pemuda itu juga. Entah mengapa agaknya ia merasa sedikit kesal.
“Nella, kamu berteduh aja di emperan toko. Aku sama ni orang bakalan nyari Netta sampai ketemu. Kamu nggak perlu khawatir. Netta pasti akan baik-baik aja.” Deon mengeluarkan senyuman paling ikhlas yang ia punya agar Nella memercayainya dan tak lagi berkeliaran di bawah hujan lebat.
Arsyal memutar bola mata, tetapi untuk hal ini, ia setuju dengan Deon. Nella tak mesti ikut mencari. Gadis malang itu terlalu banyak menanggung beban seorang diri.
Bibir pucat Nella terbuka sedikit. Samar-samar gadis kurus itu berucap lirih, “Tolong cari Netta sampai ketemu. Gue mohon.” Tangan beku itu menggenggam erat jemari Deon, memberikan sisa-sisa tenaganya untuk saling menguatkan.
“Pasti.”
Usainya mereka berpencar sesuai rencana. Arsyal yang memang mengenal betul daerah ini mencoba mencari ke tempat-tempat yang biasanya akan dikunjungi anak remaja zaman sekarang. Namun, nihil. Netta tak ditemukan di mana pun. Bahkan, arlojinya telah menunjukkan pukul tujuh malam dan hujan masih saja turun walaupun tak sederas tadi.
Mengacak surainya frustrasi, nyatanya Arsyal tak cukup mengenal Nella ataupun Netta. Naif sekali dirinya. Ketika gadis yang disukainya meminta bantuan, bahkan, ia tak bisa berbuat apa pun. Hanya dapat meratapi nasib, menyesali kebodohannya yang dengan berani-beraninya mengaku sebagai orang yang akan menjadi pendamping hidup Nella.
“Netta, kamu di mana? Keluarlah, aku nggak akan marah,” lirihnya.
Arsyal menyentuh dadanya, merasa amat sesak entah karena tak bisa menemukan Netta atau karena khawatir mengenai keadaan Netta. Entahlah, perasaannya berubah menjadi abu-abu, tiada jelas mana yang benar. Namun, satu hal yang pasti; kini kepalanya dipenuhi oleh Netta seberapa keras ia berusaha mengenyahkan gadis mungil dari pikirannya.
Netta selalu terbesit dalam benaknya beberapa waktu ini. Bahkan, ia harus berulang kali meyakini perasaannya yang menyukai Nella, bukan Netta. Mungkin karena kalut, kepalanya tak dapat berpikir jernih sehingga membuatnya gelisah.
Samar-samar, di salah satu emperan toko yang telah tutup, Arsyal melihat siluet seseorang yang dikenalnya tengah duduk meringkuk, menyembunyikan wajahnya di antara lekukan kaki. Memelotot kaget, buru-buru Arsyal menghampiri orang itu, menduga bahwa orang itu adalah sosok yang dicarinya sedari tadi.
“Netta!”
Benar saja. Gadis itu mendongak ketika namanya diserukan dengan lantang oleh Arsyal. Kedua iris kelamnya terbelalak, tak menyangka pemuda jangkung itu berdiri di hadapannya dengan raut wajah marah. Menarik kasar, Arsyal memaksa Netta untuk berdiri tanpa mengeluarkan kata sepatah pun.
“Lepaskan! Lepaskan tanganku!”
Netta memberontak sekuat tenaga, tetapi Arsyal tak luluh, ia tetap menarik kasar Netta hingga si empunya tangan meringis kesakitan.
“Arsyal! Lepaskan tanganku!”
Marah, Arsyal melepas kasar cengkeramannya di tangan Netta hingga si empunya terhuyung ke belakang. Di pinggir jalan raya yang sepi, Arsyal berteriak, meluapkan segala emosi yang tertahan, berharap dengan begini ia akan merasa jelas dengan perasaannya.
“Nella sedari tadi khawatir nyariin kamu dan kamu malah dengan seenaknya kabur dari indekos. Pikirkan akibat dari kelakuan egoismu! Kamu bukan anak kecil lagi, Netta!”
Namun, ketika melihat raut kecewa Netta, entah mengapa hatinya dua kali lipat merasa sakit, sesak di mana-mana. Mengapa, mengapa kini hidupnya terasa bergantung pada setiap raut wajah yang Netta perlihatkan?
“Mas Arsa nggak ngerti.”
Arsyal tersentak, Netta kembali memanggilnya seperti saat pertama kali mereka berjumpa.
“Mas Arsa pikir, aku nggak sakit ketika melihat Kak Nella menangis seperti itu? Aku nggak sedih sewaktu Kak Nella memohon ke Papa untukku? Mas Arsa pikir, aku senang menjadi beban untuk Kak Nella?”
Runtuh. Air mata itu rebas begitu saja. Di bawah cakrawala yang menangis menitikkan air mata, ada dua anak Tuhan yang larut dalam kesedihan, mencari cara terbaik untuk menumpahkan segala emosi dan perasaan yang mengganjal di benak.
“Sejak hari itu, aku selalu bertanya-tanya, kenapa, kenapa harus Mas Arsa? Kenapa aku harus menyukai orang yang nggak akan pernah bisa membalas perasaanku? Mas Arsa tahu? Rasanya sakit sekali.”
“Netta ....”
Gadis mungil itu menyeka air matanya sekalipun ia tahu takkan ada gunanya. Rintik-rintik hujan ini adalah perwakilannya. Mereka adalah rasa duka yang merundung Netta selama ini. Hari ini, ia berhasil mengeluarkan segala unek-uneknya, menangis sejadi-jadinya di depan Arsyal. Tak peduli jika dicap sebagai gadis cengeng, Netta hanya lelah. Ia lelah memperdaya dirinya sendiri. Bertingkah seolah baik-baik saja dan terlihat paling kuat dari siapa pun.
Tersentak, sebuah pelukan mendekap tubuhnya. Begitu hangat, begitu menenangkan hingga rasanya ia akan tertidur pulas dalam dekapan ini. Sebuah usapan lembut menjalari punggungnya. Walaupun hujan, tetapi rasanya pelukan dan usapan ini bagaikan payung dan mantel hujan yang melindungi tubuhnya.
“Nggak apa-apa. Aku ada di sini. Menangislah jika rasanya menyakitkan, menangislah jika rasanya kamu ingin melarikan diri, dan menangislah jika kamu menginginkannya karena mulai sekarang, aku akan selalu berada di sisimu. Semuanya akan baik-baik saja.”
Netta terisak, balas memeluk tubuh Arsyal dengan erat. Kini rasanya seluruh beban di bahunya terangkat, menjadikan tubuhnya seringan bulu kapas. Rasa-rasanya Netta tak perlu menyesali perasaannya yang memilih Arsyal. Sekalipun pemuda jangkung itu tak mungkin membalas perasaannya, setidaknya ia tahu bahwa hatinya telah jatuh pada orang yang tepat, pada orang yang layak dicintai semua orang, termasuk kakaknya, Nella.
“Terima kasih.”
Hari ini, Netta kembali mempelajari hal baru mengenai bagaimana kehidupan ini berjalan. Hanya ada satu jawaban untuk seluruh pertanyaan yang mengganjal dalam benaknya; jalani saja. Semua hal, baik yang diinginkan ataupun tak diinginkan, sebagai manusia, ia hanya harus menjalaninya.
Jika menemukan titik buntu, Netta hanya perlu putar arah atau lebih baiknya lagi, ia harus menghancurkan penghalang itu dan hidup untuk dirinya sendiri, tanpa bergantung pada siapa pun atau hidup untuk orang lain karena Tuhan hanya menggariskan takdir. Bagaimana cara Netta menjalani hidup ini bergantung pada setiap keputusan yang ia pilih.
“Netta, maafkan aku. Aku nggak bermaksud membentakmu. Aku hanya khawatir padamu.”
Netta tersenyum dalam dekapan Arsyal. Nyatanya pemuda ini memang selalu menambah perih di hatinya. Kalau Arsyal tak menginginkan hatinya, lantas mengapa ia selayaknya orang yang selalu diberi harapan semu oleh kata-kata manis itu?
Namun, mau bagaimana lagi, 'kan?
“Dasar.”

KAMU SEDANG MEMBACA
DEOLLA ✔
Teen Fiction"ɢɪʟᴀ ᴀᴊᴀ ɢᴜᴇ ᴅɪꜱᴜʀᴜʜ ᴊᴀᴅɪ ᴘᴀᴄᴀʀ ʙᴏʜᴏɴɢᴀɴ ᴅɪᴀ! ʏᴀ ᴍᴀᴜʟᴀʜ ɢᴜᴇ! ᴄᴀɴᴅᴀ ᴍᴀᴜ ᴍᴡᴇʜᴇʜᴇʜᴇ ...." //DEOLLA// Nella Himela adalah seorang pencuri amatiran. Di debut pertamanya sebagai seorang maling, ia tertangkap basah oleh penjag...