7. Salah Paham

454 19 0
                                    

   Adzan dzuhur berkumandang.

   Para santri dan juga tamu mulai berdatangan ke masjid guna menunaikan ibadah shalat dzuhur. Pada saat seperti ini, dapat dipastikan toilet dan tempat wudhu pasti akan penuh. Untung saja Humaira' sudah mengambil wudhu tadi setelah khataman selesai, sesaat sebelum adzan tadi. Dia juga di pinjami mukena oleh salah satu santri yang tadi bersamanya dan ikut menyimak.

   Saat ini dirinya tengah duduk di atas sajadah yang sudah berjajar dengan para santriwati yang juga ikut menyimak. Ia tiba-tiba teringat pembicaraan para santriwati yang tadi mengambil wudhu bersamaan dengan dirinya. Walaupun mereka berbisik-bisik, tapi tetap saja ia masih mendengarnya. Memang benar apa kata orang-orang, dimana-mana yang namanya perempuan itu pasti banyak omongnya. Makanya kebanyakan perempuan adalah ahli ghibah. Meskipun mereka tahu itu bukan hal yang baik.

   "Eh mbak-mbak, tadi tuh saya lihat Pak Ustadz Umam sama perempuan, itu siapanya ya ? Kok tatapan matanya kelihatan beda gitu." Ujar mbak A

   "Iya ya, tadi aku juga lihat lo mbak. Kayaknya lumayan cantik orangnya." Sahut mbak B

   "Memangnya tadi sampean lihat wajah perempuan itu mbak ?" Mbak A penasaran karena tadi hanya melihat fitur belakang mereka, itupun dari kejauhan.

   "Lihat mbak, tapi ndak jelas juga. Kan tadi lihatnya dari samping ndalem Abah." Jawaban mbak B membuat mereka mendesah kecewa.

   "Iya aku juga lihat mbak, tapi kayaknya tadi ada salah satu kang santri juga. Apa itu tadi keluarganya Pak Ustadz kali ya mbak ?" Mbak C mencoba khusnudzon.

   "Ih padahal kan katanya, Pak Ustadz Umam mau di jodohkan dengan Ning Nayla." Mbak A mulai mengeluh.

   "Emang itu beritanya sudah pasti ya ?" Mbak B penasaran.

   "Ya katanya si begitu, la wong pas keluarganya Pak Ustadz Umam kesini langsung di sambut Abah Yai pribadi kok. Masak iya, nggak jadi." Mbak A berkomentar dengan yakin. "Lagipula nih ya, Ning Nayla kan cantik, pinter, putri seorang kiyai. Masak Pak Ustadz Umam nolak. Kalau aku yang ada di posisi nya, aku juga pasti nggak bakalan nolak."

   "Iya bener itu mbak, aku juga setuju." Mbak B ikut mendukung.

   "Kalian ini, itukan urusannya Pak Ustadz. Hati orang mana ada yang tahu si ? Siapa tahu saja, Pak Ustadz sudah punya tambatan hati yang lain." Mungkin di antara mereka bertiga hanya mbak C yang selalu berpikiran positif dan tidak suka bergosip.

   Humaira' terdiam mematung di balik bilik toilet tak jadi keluar. Sesak hatinya mendengar berita tersebut. Dalam hati dia berpikir. 'Kenapa kakak tidak berterus terang jika hal itu memang benar. Kenapa saat tadi aku singgung dia berbohong?'
Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Ning Nayla. Nama itu sudah tercantum dalam ingatan Humaira', nama yang mungkin mulai sekarang akan membuat hatinya sakit. Sekuat mungkin dia menahan air matanya agar tidak jatuh. Kenapa dirinya harus mendengar hal itu dari orang lain.

   Humaira' menunduk guna menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Bibirnya terus melafalkan dzikir. Berharap hal itu bisa menentramkan hatinya yang resah. Mengusir segala pikiran negatif di kepalanya. Dan mulai meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Mungkin saja kakaknya hanya butuh waktu untuk menjelaskan semuanya. 'Ya, mungkin saja' pikirnya.

_

  
   Seusai shalat dzuhur, Humaira' di ajak singgah ke pondok putri oleh mbak Anis dan mbak Putri, santriwati yang sedari tadi bersamanya. Mereka bertiga berjalan keliling pondok putri sambil sesekali mengobrol. Memang benar kata pepatah 'tak kenal maka tak sayang'. Mereka jadi semakin akrab setelah berkenalan. Mereka mulai berbagi cerita pengalaman mereka di pesantren masing-masing. Humaira' juga memutuskan untuk beristirahat sejenak di pondok putri. Hingga dering ponsel menyadarkannya bahwa dirinya belum izin kepada orangtuanya. 'Astaghfirullah, aku pasti membuat khawatir Bapak dan Ibu'.

   "Dek, kamu dimana ? Ini di tanyain sama Bapak." Pesan itu di kirim 15 menit yang lalu. Sesaat setelah pesan di buka, ponsel kembali berbunyi. Kali ini sebuah panggilan. Humaira' sedikit enggan untuk menerima panggilan tersebut. Ia merasa sungkan terhadap orang-orang di sekitarnya.

   "Assalamualaikum kak."

   "Waalaikumsalaam, adek dimana ? Ini Bapak nanyain, kok dari tadi pesan kakak tidak di balas ?" Jawabnya di seberang sana.
  
  
   "Iya maaf kak, aku lupa bilang sama Ibu tadi selepas jama'ah, mau ikut mbak-mbak lihat-lihat pondok putri. Minta tolong izinin ke Bapak ya kak."

   "Ini Bapak di samping kakak, apa mau izin langsung saja sama Bapak ?"

   "Ya sudah kak, tolong berikan hpnya ke Bapak ya. Aku mau bicara langsung sama Bapak." Humaira' tahu, sebagai putri satu-satunya, Bapaknya bisa di bilang agak protektif dan selalu mengkhawatirkan dirinya. Dalam sekejap ponselnya sudah di ambil alih oleh sang ayah.

   "Halo nduk, kamu dimana ? Mau pergi kok ndak bilang-bilang bapak, bapak kan khawatir la wong banyak orang di sini. Takutnya kamu nyasar." Dari suaranya, Humaira' tahu bahwa sang ayah mencemaskan dirinya. Ia merasa menyesal sudah membuat sang ayah khawatir

   "Maafin Rara ya pak, tadi sudah kepikiran mau izin sama ibu pas selesai jama'ah, tapi saat keluar masjid Rara lupa."

   "Ya sudah, tidak apa-apa. Sekarang kamu dimana ? Ini acaranya sudah akan dimulai, katanya mau lihat adikmu tampil ?"

   "Astaghfirullah, Rara hampir saja lupa kalau Alfa mau tampil pak. Ini Rara sedang ada di pondok putri pak. Rara akan ke sana sekarang."

   "Ya sudah, bapak tunggu ya nduk. Assalamualaikum" Sahut sang ayah.

   "Waalaikumsalaam." Humaira' menjawab salam sembari menutup sambungan telepon. Tapi kemudian saat melihat sekeliling dia sadar, banyak mata tertuju padanya. Dia merasa canggung.

   Mbak Anis yang memecah kesunyian ruangan dengan mulai bertanya padanya. "Mbak Rara, itu tadi telepon dari Pak Ustadz ?"

   Humaira' yang bingung harus menjawab apa, akhirnya hanya mengangguk dan tersenyum sopan. Dia semakin tidak nyaman karena pandangan semua orang seolah mengatakan 'ooh, jadi ini orangnya'. Karena tidak tahan, diapun mulai berpamitan.

   "Mbak, saya harus kembali ke aula. Sudah di tunggu keluarga saya. Terimakasih sudah menemani saya lihat-lihat pondok putri." Ucapnya.

   "Harusnya kami yang berterimakasih mbak, mbak telah membantu kami. Bahkan sampai di marahin sama Gus Farhan tadi karena salah paham. Maaf ya ?" Mbak Putri menyalami Humaira' penuh syukur karena tertolong tadi yang di angguki oleh mbak Anis juga.

   "Sama-sama mbak, kan ada hikmahnya juga saya dimarahi tadi. Saya jadi dapat saudara di sini." Canda Humaira'.

   "Ya sudah mbak, mari kami antar saja ke aula."

   "Tidak usah repot-repot mbak Anis, saya bisa ke sana sendiri. Mbak kan dari tadi sudah menemani saya, barangkali saja mbak mempunyai urusan yang lain."

   "Tidak apa-apa mbak Rara, kami antar saja, sekalian kami kan juga mau menyaksikan acaranya." Sela mbak Putri.

   "Ya sudah kalau memang begitu mbak, mari." Setelah mengucapkan salam pada mbak-mbak santriwati yang lain mereka bertiga akhirnya kembali ke aula. Meninggalkan sebagian besar santriwati yang saling berbisik-bisik.

  

  
  

Humaira'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang