10. Undangan

711 12 0
                                    

   Tak terasa bulan ramadhan telah tiba.

   Ramadhan merupakan bulan yang mulia. Pada bulan ini, Al-Qur’an diturunkan. Seperti yang disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 185, "Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan bagi petunjuk, dan furqan (pembeda).

   Bulan Ramadhan juga merupakan waktu yang terbaik untuk berdo’a, sebab di bulan Ramadhan terdapat banyak waktu yang mustajab untuk berdo’a. Tentunya do’a yang dilakukan adalah yang ikhlas dan dengan adab-adab yang baik.

   Tak ketinggalan pula, bulan ramadhan juga merupakan saat yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar santri di seluruh pelosok negeri ini. Karena ramadhan adalah awal libur panjang menuju lebaran.

   Begitu pula dengan Humaira'. Pesantren Darul Qur'an memberikan hari libur dari tanggal 21 ramadhan hingga 15 syawal. Lebih lama jika dibandingkan dengan libur maulud yang hanya 10 hari atau malah kadang hanya satu minggu.

   Humaira' tak ingin melewatkan hari liburnya dengan sia-sia. Ia selalu ingin bermanja-manja dengan ibunya, entah itu minta di suapin makan hingga membuat Alfa sang adik ikut-ikutan minta di suapin juga atau malah kadang minta tidur bersama sang ibu. Terkadang Alfa saja sampai iri pada kakaknya itu.

   Seusai menunaikan shalat ashar, Humaira' kemudian bermurojaah. Ia ingat pesan dari ibu nyai, 'sesibuk apapun, semalas apapun, tetap harus ndarus. Kalau tidak bisa satu juz, ya paling tidak seperempat juz setiap habis sholat.' begitulah dawuhan Bu nyai setiap para santri akan pulang. Apalagi libur panjang seperti ramadhan. Kebanyakan akan malas, apalagi kalau sudah berhadapan dengan setan kotak alias hp. Hp adalah godaan terberat.

   Ketika ia hendak melipat mukena, samar-samar terdengar suara dari ruang tamu. 'mungkinkah ada tamu?' pikirnya. Ia lalu membenarkan jilbabnya dan beranjak keluar dari kamarnya. Seketika itu pula ia tersenyum.

   "Sudah lama kak ?"

   "Tidak lama dek, baru saja tiba." Ya, tamunya adalah Fathul.

   "Kok sepertinya sudah mau pergi ?" Tanyanya heran.

   "Iya dek, kesini hanya mampir sebentar." Jawab Fathul seraya memandang Humaira'. Dirinya hanya ingin melihat adiknya ini sebelum benar-benar tidak bisa. Setelah puas memandang, ia lalu menunduk dan tersenyum pahit. "Ya sudah pak, saya langsung pamit pulang."

   "Tidak mau makan dulu ?" Tawar pak Asraf.

   "Tidak usah pak, sekali mau keliling lagi. Assalamualaikum." Fathul terlihat buru-buru menyalami ayah Humaira'.

   "Waalaikumsalaam."

   Humaira' menyaksikan saat Fathul pergi dengan motornya dengan hampa. Ia merasakan firasat buruk dengan kedatangan Fathul ke rumahnya. Seakan ia akan pergi jauh darinya. Dalam hati ia terus saja beristighfar. Setelah memastikan bayangan Fathul hilang dari pandangannya, ia kemudian masuk kembali hendak langsung menuju kamarnya. Tapi kemudian terhenti karena panggilan ayahnya.

   "Sini nduk, duduk samping bapak." Kata sang ayah sembari menepuk tempat di sampingnya.

   Humaira' menghampiri ayahnya yang masih diruang tamu. "Kenapa pak ?"

   "Kamu tahu, tadi nak Fathul ke sini mau apa ?" Pak Asraf memulai pembicaraan sembari merangkul bahu putri kesayangannya itu.

   "Rara tidak tahu pak, kakak tidak kasih kabar kalau hendak kemari." Humaira' menggeleng bingung menatap sang ayah.

   Pak Asraf kemudian menyerahkan sesuatu yang di pegangnya dari tadi. Itu sebuah undangan, tepatnya undangan pernikahan.

   Humaira' mematung, ia tak berani mengambil undangan tersebut. Ia hanya melihat undangan dengan kosong. Ia tidak bisa berpikir. Dan malah bertanya pada ayahnya. "Apa ini pak ?"

   Pak Asraf menghela nafas sebentar sebelum menjawab. "Fathul kemari untuk menyerahkan undangan pernikahannya untukmu, ia meminta maaf tidak berani memberikan undangan ini langsung kepadamu nduk."

   Humaira' menerima undangan tersebut dengan hati pilu yang coba ia tutupi. Ia tidak ingin membuat orangtuanya khawatir. "Kapan pernikahannya pak ?" Humaira' bertanya dengan ceria.

   "Tanggal 15 syawal."

   "Wah, pas sekali Rara berangkat ke pondok ya pak. Kalau begitu Rara tidak bisa hadir dong ya." Humaira' tersenyum.

   Pak Asraf mengelus kepala putrinya sayang. "Kamu tidak apa-apa nduk ?"

   "Memangnya Rara kenapa pak ? Rara baik kok. Rara ikut bahagia."

   "Allah pasti akan memberikan jodoh yang terbaik untuk putri kecil bapak." Pak Asraf memeluk putrinya seolah ingin menjadi penguat untuk hati putrinya yang terluka.

   Humaira' balas memeluk sang ayah erat matanya sudah berkaca-kaca dan akhirnya satu tetes airmatapun jatuh. Tapi ia langsung menghapusnya kemudian memasang senyum lebarnya. Ia melepas pelukan sang ayah. Kemudian pamit kembali ke kamarnya.

   Masuk kamar ia langsung menutup pintu dan menguncinya. Ia bersandar di pintu dan jatuh, tangisnya seketika pecah. Ia menutup bibirnya agar isaknya tak terdengar sampai keluar. Dalam mimpipun ia tak pernah membayangkan hal semenyakitkan ini. Ia belum bisa menerima, orang yang sudah menemaninya bertahun-tahun akan bersanding bersama orang lain. Lebih parahnya lagi, tidak ada kabar apapun sebelumnya.

   Humaira' hanya menunggu kejujuran dari Fathul. Tapi sampai akhir, Fathul tidak pernah bicara. Ia pergi tanpa memberi aba-aba.

   Dirinya sebelumnya berharap Fathul jujur padanya. Setidaknya ia berharap Fathul memberikan pertanda agar ia bisa siap jika hal seperti ini terjadi. Tapi tidak, ia pergi bahkan tanpa penjelasan satupun. Ia datang tiba-tiba beserta sebuah undangan yang diatasnya tertulis namanya bersama orang lain.

   Humaira' membenamkan kepalanya pada lutut. Ia terus saja menangis pedih, belum bisa menerima kenyataan ini.

   "Duh ya Allah, kenapa hatiku masih saja belum bisa menerima kenyataan ini ? Kenapa hambamu ini terus saja merasa kesakitan meski hamba sudah mulai belajar mengikhlaskan." Batinnya menjerit pilu. Airmata tak henti keluar meski ia tak ingin sudah berusaha menahannya.

   Tiba-tiba ponselnya berdering.

   Humaira' meraih ponselnya dan melihat siapa penelepon itu, tapi saat melihat siapa yang menelepon ia kembali menangis. Ia menolak panggilan tersebut. Hpnya terus saja berbunyi dengan pemanggil yang sama. 'kakak'. Ia kemudian meng silent hpnya dan menyembunyikannya di bawah bantal.

   Humaira' ingin marah, tapi kepada siapa ? Fathul ? Tapi ia tidak berhak.

   Ia merebahkan dirinya dan menatap kosong pada langit-langit kamarnya. Pikirannya mengelana jauh hingga ia lelah berpikir. Ia mengstabilkan nafasnya kemudian mulai berdzikir. Menyebut nama Nya. Berusaha menenangkan kembali hati dan pikirannya.

   Ia tidak ingin orangtuanya melihat matanya sembab saat keluar nanti. Ia tidak ingin mereka khawatir.

_

  

   Allâh berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

 (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh-lah hati menjadi tenteram. [Ar-Ra’d/ 13: 28]

  
  

  
  
  

Humaira'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang