Pernikahan.
Tentu menjadi hal yang sering di impikan oleh kebanyakan orang yang masih lajang. Mereka sering membayangkan akan seperti apa pernikahan mereka kelak dan seperti apa rupa sang calon mempelai.
Tapi terkadang apa yang sudah lama kita impikan tidak hanya tidak menjadi kenyataan, akan tetapi menjadi bumerang bagi yang tidak bisa menerima kenyataan tersebut.
Tak berbeda dengan Humaira', hari demi hari berlalu sungguh cepat baginya. Selama ini ia mencoba menyibukkan diri dengan segala hal yang dapat ia kerjakan. Mencoba mengalihkan perhatian dari pernikahan seseorang. Seseorang yang tadinya begitu berarti baginya. Seseorang yang segera akan menjadi milik orang lain.
Humaira' seketika tersenyum pahit. Inilah yang akan terjadi jika kita sering membayangkan sesuatu hanya dari yang manis-manis saja. Kita sering berkhayal tentang masa depan indah bersama dengan pujaan hati kita, tetapi kita tidak sadar bahwa tidak baik membayangkan sesuatu yang kita tidak tahu apakah itu akan benar terjadi di hidup kita.
Humaira' menghela nafas sesak. Ia teringat pembicaraannya dengan Fathul sehari setelah ia menerima undangan pernikahan itu.
Flash back
Humaira' menghembuskan nafas sebelum ia memeriksa kembali ponsel yang ia letakkan di bawah bantal. Sudah sejak kemarin ia tidak berani mengambilnya. Karena pasti Fathul akan terus menelponnya. Benar saja dugaannya. Di ponselnya terlihat angka 59 panggilan tak terjawab. Disertai puluhan pesan dari orang yang sama.
Tak lama ponsel kembali berbunyi, panggilan masuk. Ia menghembuskan nafas untuk menguatkan hatinya sebelum mengangkat panggilan tersebut.
"Assalamualaikum dek." Ucap Fathul dari seberang sana terdengar sangat khawatir dan gugup. "Adek tidak apa-apa kan ?" Lanjutnya karena Humaira' yang tak kunjung menjawab.
"Waalaikumsalaam kak. Aku baik Alhamdulillah." Humaira' berusaha tenang walau sebenarnya ia ingin sekali menangis mendengar suara Fathul.
"Dek, kakak minta maaf ya."
"Minta maaf untuk apa ? Kakak kan tidak salah, kenapa minta maaf ?" Jawab Humaira' pahit
"Maaf, kakak banyak salah sama adek. Harusnya kakak bilang sejak awal tentang semua ini."
"Apa kakak pikir itu masih perlu kita bahas ?" Kata-kata Humaira' kelewat datar. "Tidak ada gunanya kakak meminta maaf, tidak perlu. Toh apa itu akan merubah keadaan kita sekarang ? Tidak kan ?"
"Kakak benar-benar minta maaf dek, kakak tidak jujur. Harusnya kakak katakan saja sejak awal kalau kakak di jodohkan, tapi kakak tidak bisa. Kakak tidak ingin kehilanganmu dek."
"Kalau begitu kakak egois. Kakak hanya memikirkan perasaan kakak saja tanpa memperdulikan perasaan orang lain." Satu tetes air mata jatuh. "Aku kecewa sama kakak."
Dari seberang sana suara Fathul terdengar sedikit serak, 'mungkinkah ia juga tengah menangis ?' batin Humaira'.
"Maaf dek, kakak tidak kuasa menolak perjodohan ini. Kakak tidak bisa menolak permintaan dari Abah Yai."
Humaira' mengatur nafasnya agar suaranya terdengar normal. "Jangan meminta maaf kak, kakak melakukan sesuatu yang benar. Kakak ta'dzim pada guru merupakan keputusan yang benar. Jangan meminta maaf lagi, kakak tidak salah."
Terlihat jelas Humaira' berusaha keras agar tetap tenang, ia tidak ingin membuat semuanya jadi sulit untuk Fathul.
"Tapi kakak menyakitimu dek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira'
General Fiction( mohon sempatkan follow aku ya gaeees ) "Selamat pagi istriku, masak apa hari ini ?" Kata Gus Farhan sambil memeluk sang istri tercinta. "Mas, njenengan iku kok masih kebiasaan ngagetin." Balas sang istri. "Kangen banget mas di masakin sama i...