17. Musibah

660 23 3
                                    

   Gus Farhan aneh.

   Waktu itu setelah pulang dari acara khataman Humaira', Gus Farhan merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ia merasa ingin cepat menemukan pasangan. Apalagi Ning Nayla, kakaknya itu akhir-akhir ini juga sering menggodanya. Dan kerap kali menyinggung tentang cinta. Yang membuat dirinya geleng-geleng kepala.

   Tapi ia masih juga berpikir bahwa mungkin itu karena ia berangkat dan pulang dengan membawa pasangan pengantin baru yang masih lengket itu. Gus Farhan masih tetap berpikir bahwa ini mungkin hanya sekedar nafsu belaka. Lagipula dirinya merasa tidak mungkin jika ia jatuh cinta pada orang itu. Tidak, tidak mungkin. Mungkin akhir-akhir ini dirinya kurang beristighfar dan juga berdzikir hingga membuat setan mulai membisikkan hal-hal yang tidak pernah ada dalam bayangannya. Astaghfirullah..

   Tapi berbeda dengan pemikiran Gus Farhan, Ning Nayla justru semakin yakin bahwa sang adik merasakan sesuatu yang lain. Pasalnya ia kerap kali memergoki adiknya menatap kosong ke arah depan masjid di depan ndalem seolah membayangkan sesuatu. Tapi dasar adiknya saja yang belum pernah mengenal cinta. Ning Nayla bahkan yakin sekali adiknya itu masih tidak mengerti mengerti apa yang tengah di rasakannya.

_

   Hari terus berlalu begitu saja tanpa kita sadari. Kini sudah hampir dua bulan Humaira' menjalani matangpuluh nya. Mungkin dalam waktu sebulan bulan lagi atau bahkan kurang, dirinya sudah benar-benar dapat dinyatakan lulus dari pesantren Darul Qur'an. Humaira' sungguh merasa bahagia, karena dengan begini ia akan meringankan beban orangtuanya.

   Seminggu yang lalu, ibunya menelepon dan berkata bahwa mereka tidak bisa menjenguknya ke pondok. Takutnya nanti malah akan mengganggu proses matangpuluh nya. Jadi ia hanya mendapat transfer dari rumah.

   Perkiraan ibunya memang dirasanya benar, karena jika ia di jenguk pada waktu-waktu ini ia pasti tidak akan bisa fokus untuk merampungkan matangpuluh nya. Karena biasanya sang ibu akan membahas apapun mengenai masa depan sang putri.

   Saat ini Humaira' tengah bersiap untuk memulai proses matangpuluh nya yang baru saja terhenti karena udzur. Ia sudah duduk bersila di atas sajadah dan akan memulai bacaannya. Tapi kemudian terhenti karena kedatangan seorang pengurus.

   "Assalamualaikum mbak Rara. Itu ada telepon masuk untuk mbak Rara dari ibunya. Penting katanya."

   "Waalaikumsalaam. Ibu saya mbak ?"

   "Iya mbak, katanya penting sekali."

   "Tapi kan sekarang sudah malam mbak, apa tidak apa-apa kalau saya telepon sekarang ?"

   "Tidak apa-apa mbak, tadi yang angkat teleponnya mbak lurah. Jadi sudah sekalian di izinin."

   "Ya sudah mbak, saya ke sana sekarang. Terimakasih ya."

   "Sama-sama mbak."

   Entah kenapa Humaira' merasa cemas, perasaannya sudah tidak enak dari tadi sore. Kira-kira ada apa ? Kenapa mendadak sekali ? Pikirannya sudah berkelana membayangkan yang tidak-tidak. Astaghfirullah.

   Dan benar saja dugaannya, tepat setelah telepon terhubung dengan ibunya dan ia mengucap salam. Ia mendengar suara serak ibunya yang membawa kabar mengejutkan.

   "Bapakmu kecelakaan nduk dan sekarang di masih di rawat di ruang ICU. Kondisi Bapakmu parah dan sangat kritis." 

   Jantung Humaira' terasa mencelos. Airmatapun jatuh tanpa sadar. Saat itu juga ia ingin pergi ke sana menemui sang ayah. Tapi kemudian ibunya yang melarangnya untuk melakukannya. Ibunya berkata.

   "Kamu sekarang masih matangpuluh nduk, jangan lupa itu. Yang terbaik sekarang adalah kamu doakan bapak agar lekas diberikan kesehatan dan kesembuhan. Dan semoga Bapakmu bisa melewati masa kritisnya. Lagipula bapakmu juga pasti tidak akan senang jika kamu meninggalkan matangpuluh mu untuk menemui bapak. Yakinlah nduk, ibu akan menjaga bapakmu. Kamu bisa menyusul kesini jika matangpuluh mu sudah rampung. Selain itu, jangan pernah berpikir untuk menyerah pada matangpuluh mu. Ibu akan memberi kabar jika sesuatu terjadi."

   Saat mendengar perkataan ibunya Humaira' menangis. Dirinya merasa tidak berdaya dan tidak berguna sebagai seorang anak. Harusnya sekarang ia berada di sisi sang ayah, mendampinginya. Tapi ibunya juga benar. Bapaknya itu pasti akan menyalahkan dirinya sendiri jika ia menyerah pada matangpuluh nya.

   Al hasil dirinya memiliki menuruti perintah ibunya. Ia ingin secepat mungkin merampungkan matangpuluh nya agar lekas bertemu sang ayah.

   Malam itu berlalu penuh kesedihan. Humaira' tidak bisa memejamkan matanya barang sejenak. Ia terus menerus teringat sang ayah. Di tengah kegelisahannya, ia menghadap sang Khaliq di sepertiga malamnya. Mengadukan segala resah dalam hatinya. Memohon dengan sepenuh hati di antara derai tangisnya. Mengharapkan sang pencipta mengasihi ayahnya. Memberi kesempatan kepada dirinya untuk bisa berbakti kepadanya.

   "Ya Allah ya Rabb, engkau yang maha kuasa, engkau pemilik segala sesuatu yang ada di dunia ini. Kumohon ya Allah, hambamu ini memohon pada Mu. Selamatkanlah ayahku, berilah kesembuhan untuk ayahku. Aku belum menjadi anak yang berbakti kepadanya ya Rabb. Hamba memohon kepada Mu, jangan biarkan sesuatu terjadi pada ayahku. Sembuhkan ya Allah, sembuhkan lah ayah. Lancarkan lah urusanku di sini agar aku bisa lekas bertemu dan menemani ayah hamba ya Allah. Ya Rabb, ku mohon pada Mu. Aamiin."

   Humaira' mengusapkan kedua tangannya pada wajahnya. Menghalau airmata dan isaknya keluar. Bahunya sampai bergetar menahannya. Dalam hening, seseorang merengkuh tubuhnya. Mengusap punggungnya seolah menenangkan. Humaira' mendongak, itu mbak Wendy. Humaira' lalu memeluk balik mbak Wendy seolah ia bisa menyerap kekuatan dari melakukan hal itu.

   "Yang sabar mbak, Allah pasti mendengar setiap doa hamba-hamba-Nya yang beriman. Yakinlah semua akan baik-baik saja. Ayahmu juga pasti akan baik-baik saja."

   Humaira' hanya bisa mengangguk dalam pelukan Wendy. Mereka sudah seperti saudara. Mereka semua.

_

   Meski tidak bisa sepenuhnya tenang, Humaira' tetap berusaha sebaik mungkin untuk fokus pada matangpuluh nya yang kini membuahkan hasil.

   Sekarang ia tengah dalam perjalanan pulang. Atau mungkin lebih tepatnya ke salah satu RS di kota Pekalongan untuk menemui sang ayah. Ia merasa tidak perlu untuk pulang terlebih dahulu, lagipula orangtuanya kan berada di sana. Jadi ia memutuskan untuk langsung pergi ke RS.

   Sesampainya di sana ia langsung bertanya pada resepsionis dimana kiranya letak ruang rawat sang ayah. Dan langsung menuju ke arah yang di tunjukkan oleh sang suster.

   Tepat setelah ia mengucap salam untuk masuk ke ruangan, ia seketika itu juga menangis. Ia bergegas menuju ayahnya, memeluknya. Banyak kata yang ingin ia ucapkan hingga ia tidak bisa berkata-kata. Ia hanya memeluk sang ayah, itulah yang ingin dilakukannya sejak lama.

   Dalam hati ia berjanji untuk berusaha sebisa mungkin untuk menjaga dan merawat sang ayah.

_

🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟

  

Humaira'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang