13. Membalas Undangan

722 33 1
                                    

"Mbak Rara, jemputannya sudah datang." Ujar Vinna yang sepertinya sehabis berlari dari aula depan.

"Aduh senangnya yang sudah lulus tesnya. Bisa pulang ke rumah." Goda mbak Rahma.

"Hehe, Iya mbak. Makasih ya sinok." Katanya pada Vinna dan juga mbak Rahma. Wajah Humaira' terlihat berseri-seri. "Aku pamit pulang dulu ya mbak-mbak. Ada yang mau nitip ?"

"Nitip salam mbak,," ujar mbak Rahma. "Buat Suga oppa. Hehe." Nah kan, mulai lagi koreanya.

Yang lain tertawa. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan mbak Rahma untuk menitipkan salam pada oppa-oppa kesayangannya itu. Semua sudah maklum.

"Insyaallah mbak, nanti kalau aku ketemu gambarnya gampang tak sampaikan." Jawab Humaira' diselingi tawa.

"Ya sudah mbak, aku permisi dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalaam."


Humaira' tidak membawa banyak barang bawaan ataupun pakaian. Ia hanya di beri waktu libur 3 hari, jadi ia berpikir untuk apa membawa banyak-banyak. Toh sebentar ia juga kembali ke pondok lagi.

Kali ini Humaira' pulang juga dengan sebuah tujuan, itu sebabnya dirinya mendapat izin dari Abah Yai. Lagipula benar apa kata mbak Rahma, ia memang sudah bisa dibilang lulus. Hanya kurang syahadahnya (ijazah) saja. Ia juga telah selesai dengan syarat wajib yang biasa di sebut 'matangpuluh' atau dalam arti menyelesaikan menghafal Al-Qur'an hingga 40 kali khataman.

Benar-benar bukan perjuangan yang mudah. Itulah sebabnya Humaira' benar-benar merasa bersyukur telah diberi kesehatan selalu.

_


Sebenarnya tidak banyak yang ingin dilakukan Humaira' sekembalinya ia ke rumah. Ia hanya merasa butuh sedikit refreshing untuk otaknya setelah hampir 4 bulan diforsir terlalu keras.

Refreshing tidak harus selalu jalan-jalan ke tempat-tempat bagus seperti tempat wisata, ataupun ke mall shopping-shopping. Terkadang tempat sederhana seperti sawah dan ladang malah bisa menyejukkan kembali otak kita.

Seperti yang dilakukan Humaira' sekembalinya ia ke rumah. mungkin karena ia pulang pagi-pagi. Bukannya istirahat, ia malah memaksa ikut sang ayah yang akan memetik sayuran ke ladang. Humaira' ikut membantu sang ayah. Dipetiknya terong serta jagung yang sudah siap di panen. Humaira' juga melihat ada cukup banyak bunga melati yang mekar, jadi ia juga memetiknya. Seingatnya Mbah Saodah tetangga depan rumahnya sangat suka sekali menyelipkan bunga melati di Gelung rambutnya. Agar wangi katanya.

"Nduk, kamu mau ke pesantrennya Alfa kapan ?" Tanya sang ayah.

"Sepertinya besok saja pak, sekalian mengirim yang lain juga."

"Ya sudah, besok pagi bapak antarkan."

Humaira' mengangguk setuju. Masih asyik dengan bunga melatinya. Tapi pak Asraf tampak termenung sejenak sambil menatap putrinya. "Nduk, kamu tidak apa-apa kalau ke sana ?"

Humaira' tersenyum, ia mengerti kekhawatiran ayahnya. "Insyaallah Rara baik pak."

"Kamu yakin nduk ? Kalau tidak yakin, biar bapak saja yang ke sana. Kamu di rumah saja sama ibumu."

"Tidak pak. Kalau bukan sekarang, Rara mungkin tidak akan mempunyai keberanian lain kali." Kata Humaira' meyakinkan. "Lagipula Rara kan belum pernah ketemu sama kakak ipar to, biar nanti sekalian kenalan. Hehe."

Pak Asraf terdiam, tapi ia juga tidak meragukan kata-kata putrinya. Akhirnya hanya tersenyum mengangguk.

Malamnya seusai shalat maghrib bersama ibunya. Humaira' Salim, mencium tangan ibunya dengan sepenuh hati. Sang ibu tiba-tiba berkata. "Nduk, kamu sudah benar-benar ikhlas ?"

Humaira'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang