20. Mendadak

697 36 8
                                    

   Berbulan-bulan yang lalu Humaira' masihlah seorang santriwati yang sibuk dengan hafalannya. Mencoba meraih ridho ilahi dengan menghafal kalam Nya. Dan menjadi kebanggaan orangtuanya.

   Tapi kini lihatlah. Humaira' sudah menjadi sosok yang bahkan lebih dari sebuah kebanggaan, ia kini hampir bisa di sebut sebagai tulang punggung keluarga. Benar-benar menjadi anak yang berbakti.

   Humaira' semakin belajar menjadi pribadi yang lebih dewasa. Ia jadi terlihat lebih anggun dan semakin cantik. Dari semenjak khataman hingga kini, tak terhitung berapa banyak jumlah pelamar yang ingin meminangnya. Tapi menurutnya, keadaan keluarganya saat ini belum mengharuskan ia untuk menikah. Jadi ia hanya menolak semua lamaran itu dengan sopan tanpa harus menyinggung atau menyakiti pihak yang bersangkutan.

   Saat ini dirinya hanya fokus untuk kerja, kerja dan kerja. Tentunya tidak lupa akan kewajibannya juga. Hingga kini ia sudah melakoni berbagai macam pekerjaan, dari yang cuci piring hingga bekerja di tempat laundry. Biasanya dalam sehari ia akan melakukan tiga pekerjaan paling tidak. Ia lakukan segalanya untuk dapat membantu kebutuhan finansial keluarganya. Yang penting halal.

   Siang itu Humaira' tengah menyetrika pakaian di tempat laundry. Tiba-tiba ponselnya berdering. Di layar tertera sebuah nama.

   Fathul.

   Humaira' sesungguhnya malas sekali untuk menjawab panggilan tersebut karena membuatnya teringat ucapan dari orang itu. Tapi ini sudah dering ke tiga kalinya. Ia jadi merasa tidak enak. Lalu ia memantapkan hatinya, ia hanya berpikir 'mungkin saja ada sesuatu yang penting'.

   "Halo kak, assalamualaikum."

   "Waalaikumsalaam warahmatullah. Dek Rara, ini mbak Nayla."

   "Ooh Ning Nayla, enten nopo nggih ? Kok tumben Ning Nayla telepon." Dalam hati Humaira' mendesah lega setelah mendengar suara Ning Nayla.

   "Sekarang sibuk dimana dek ?"

   "Alhamdulillah saya sekarang kerja di Pekalongan, ikut budhe."

   "Owalah, mandiri sekali ya sampean iku dek."

   "Tidak juga Ning, ini saya hanya sedang mencoba saja."

   "Eemmm, kapan kira-kira ada libur dek Rara ?"

   "Liburnya setiap hari Jum'at Ning, kenapa ?"

   "Biasanya pulang tidak kalau libur ?"

   "Iya, pulang."

   "Jumat kan lusa ya ? Nanti dek Rara pulang ya ? Saya mau mampir kalau tidak merepotkan."

   "Alhamdulillah, saya malah bersyukur sekali Ning Nayla mau mampir ke rumah saya. Insyaallah saya pulang lusa."

   "Alhamdulillah, ya sudah kalau begitu. Sampai jumpa lusa ya dek Rara. Assalamualaikum"

   "Waalaikumsalaam."

   Humaira' tersenyum mengakhiri panggilan tersebut.

_

   Lusa yang di janjikan akhirnya tiba.

   Keluarga Humaira' sudah bersiap untuk menyambut kedatangan Ning Nayla beserta rombongan.

   Humaira' tadinya berpikir bahwa hanya Ning Nayla dan juga kakaknya yang akan datang berkunjung. Ia tidak mengira sehari sebelumnya Ning Nayla memberi kabar lagi bahwa ia akan datang dengan rombongan yang kira-kira berjumlah sekitar 7 sampai 8 orang. Jadi keluarga Humaira' mempersiapkan segala keperluannya lebih awal.

   Tepat pukul 2 siang akhirnya rombongan yang ditunggu tiba juga. Dari dalam rumah, orangtua Humaira' dan juga pakdenya yang di undang ibunya turut menyambut. Humaira' masih belum tahu kalau tamunya sudah tiba karena ia masih sibuk mengurus persiapan. Ia baru keluar setelah di panggil oleh sepupunya. Dari dalam ia sudah mendengar perbincangan di ruang tamu rumahnya. Sepertinya rombongan sudah tiba bermenit-menit yang lalu.

   Saat ia bergegas, Humaira' melihat ibunya masuk dan langsung membawanya ke ruang tamu dan menyuruh sepupunya untuk mulai menyuguhkan minuman. Dari raut muka ibunya, Humaira' merasa aneh. Ia entah kenapa jadi deg-degan.

   Setibanya di ruang tamu, Humaira' terpana. Ternyata bukan hanya Ning Nayla tamu kehormatan hari ini, bahkan Abah Yai beserta Ummi turut hadir. Ada juga dua orang lagi yang Humaira' kira adalah santrinya. Dan tak ketinggalan pula satu orang itu. Gus Farhan. Saat ini ia mulai bertanya-tanya, ada apa gerangan ?

   Humaira' masuk ke ruang tamu dan langsung di sambut dengan pelukan hangat Ning Nayla. Tidak lupa ia juga menyalami dan mencium tangan Ummi. Setelah saling bertukar salam, merekapun melanjutkan pembicaraan.

   "Jadi bagaimana kiranya jawaban pak Asraf tentang hal ini ?" Abah yang memulai pembicaraan.

   "Kalau saya sih terserah anaknya saja Abah. Jika memang putri saya merasa cocok dan menerima, ya saya juga ikut bahagia sebagai orangtuanya." Pak Asraf menjawab kalem.

   "Jadi apa jawabanmu nduk ?" Ummi juga ikut bertanya pada Humaira'.

   Sekarang semua mata tertuju padanya. Humaira' bingung. Apa yang harus ia jawab ?

   Ibunya yang melihat kebingungan Humaira' akhirnya menjelaskan. "Begini lho nduk, Abah Yai beserta keluarga datang kemari dengan sebuah tujuan. Yaitu untuk meminangmu untuk Gus Farhan."

   Humaira' tercengang. Ia spontan menatap orang itu yang katanya sedang melamarnya. "Melamarku Bu ?" Ia hampir tidak mempercayai apa yang di dengarnya.

   "Iya nduk. Sekarang semua keputusan sudah kami serahkan kepadamu nduk. Bapak percaya kamu sudah bisa membuat keputusan yang baik untuk dirimu sendiri." Pak Asraf menatap putrinya sayang.

   Lama Humaira' tidak menjawab, mereka semua hampir menyimpulkan bahwa mungkin ia mengiyakan dengan alasan 'diamnya seorang gadis berarti iya'. Tapi kemudian Humaira' berkata. "Apakah saya bisa meminta waktu untuk berpikir ?"

   "Tentu nduk, tentu saja boleh. Itu hak mu. Tapi Abah harap jangan lama-lama ya nduk. Tidak baik nanti." Jika Abah saja sudah setuju, maka yang lain tidak bisa berkata apa-apa lagi.

   "Insyaallah satu minggu paling lama Abah. Nanti jika saya sudah yakin dengan jawabannya, saya pasti langsung memberi kabar." Humaira' tersenyum penuh syukur.

   "Alhamdulillah jika begitu." Abah mengangguk.

   Mereka melanjutkan obrolan dengan santai tidak seserius tadi. Ning Nayla bahkan ikut membantu Humaira' mempersiapkan kudapan. Dengan sesekali menggoda Humaira'. Membuat sang empunya tersipu.

_

   Seminggu kemudian keluarga Abah Yai berkunjung kembali ke kediaman keluarga Humaira'. Mereka kini tengah berkumpul bersama di ruang tamu seperti hari itu.

   "Jadi bagaimana nduk ? Apa jawabanmu ?" Ummi yang mulai bertanya.

   "Bismillahirrahmanirrahim,,, saya menerima pinangan dari putra Abah dan Ummi." Seluruh keluarga mengucap hamdalah setelah mendengar jawaban Humaira'. "Tapi saya punya satu syarat untuk Gus Farhan. Apa kiranya Gus Farhan bersedia menerima syarat dari saya ?"

   "Tolong sebutkan syaratnya." Sahut Gus Farhan.

   "Saya selalu berharap calon suami saya nanti mendapat izin dari seluruh guru mengaji saya. Karena beliau para guru sudah menjadi orangtua bagi saya. Yang mengajarkan agama kepada saya. Yang sudah membimbing hidup saya hingga saya menjadi orang seperti sekarang ini." Humaira' berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Guru mengaji saya yang pertama, yang mengajari saya dari kecil. Beliau sudah wafat. Yang kedua, Bapak kyai di pesantren Nurul Musthofa yang mengajari saya saat saya remaja. Dan yang terakhir, Abah Yai Muhammad di pesantren Darul Qur'an Semarang, yang mengajari saya hingga saya menjadi sekarang ini. Apa kiranya Gus Farhan sanggup menerima syarat dari saya ?"

   "Insyaallah saya sanggup." Jawab Gus Farhan yakin.

   "Terimakasih. Maka saya akan menunggu kabar baik dari guru-guru saya." Humaira' tersenyum lega.

   Semua orang juga akhirnya bisa lega.

   Alhamdulillah, semua pasti ada jalannya.

_

(Jangan lupa vote vote vote. Up selanjutnya nunggu followers aku 15 ya gaeees 😅)

  

  

  

  

  

Humaira'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang