16. Canggung

714 32 0
                                    

   Dua pasang mata itu saling menatap dengan tatapan yang berbeda. Satu dengan mata terpesona dan yang satu lebih kepada terkejut.

   Gus Farhan tidak akan pernah menyangka bahwa dengan hadirnya dirinya, ia akan di suguhkan pemandangan indah ini. 'masyaallah, maha suci Allah. Mungkinkah dia jelmaan bidadari surga ya Allah,,, cantik sekali'. Suara hatinya berteriak girang.

   Humaira' tidak menyangka orang itu akan ikut menghadiri acara khatamannya. Tapi melihat tatapannya, ia jadi tersipu sendiri. Hal ini tidak lepas dari penglihatan Ning Nayla, dalam hati ia ingin membuat rencana.

   Humaira' kemudian menunduk, yang menyebabkan Gus Farhan sadar dari linglungnya. Humaira' mengawali pertemuan tak terduga ini dengan menangkupkan kedua tangannya memberi salam, yang di balas hal yang sama dari Gus Farhan.

   "Selamat ya,," Gus Farhan berkata sambil mengusap tengkuknya, terlihat canggung.

   "Terimakasih."

   "Ayo-ayo sini, tamunya masak tidak dipersilahkan duduk." Ucap Ibu Humaira' yang seketika mengusir suasana canggung tersebut.

   Mereka duduk melingkar lesehan di tempat beristirahat tamu dari keluarga Humaira'. Pak Asraf terlihat tengah mengobrol dengan saling menanyakan kabar keluarga. Para wanita diam-diam mendengarkan dan sesekali ikut menimpali. Tiba-tiba pembicaraan teralihkan oleh sebuah godaan yang dilontarkan oleh salah satu mbak penerima tamu, mbak Ani namanya.

   "Ngomong-ngomong, biasanya mbak-mbak santriwati pondok sini itu kalau habis acara khataman pasti banyak yang menikah, hati-hati loh mbak Rara. Hihihi."

   Humaira' belum sempat menjawab dan sudah di sela oleh Ning Nayla.

   "Benarkah ??" Ning Nayla berkata sambil melirik ekspresi adiknya. "Kenapa bisa begitu mbak ?"

   "Iya mbak. Berhubung acara nanti malam itu panggungnya di depan masjid, biasanya tuh banyak para pencari jodoh yang berada di sana. Apalagi mbak Rara kan termasuk jajaran santriwati-santriwati tercantik di pondok."

   "Loh, apa hubungannya ?" Kali ini Fathul yang berkata.

   "Ya jelas ada hubungannya. Habis biasanya setelah khataman banyak sekali pelamar yang datang ke Abah untuk meminta santrinya."

   "Ah, sampean ini ada-ada saja mbak Ani. Sudah ah, ndak usah bahas itu lagi." Sela Humaira'.

   "Nggak apa-apa mbak, lanjutkan saja. Saya ingin tahu." Ning Nayla tak mau menyerah menggoda Humaira'.

   "Nggak lah mbak, kasihan mbak Rara. Udah merah itu mukanya. Hehe."

   Yang lain ikut tertawa melihat Humaira' yang kini menutup wajahnya malu. Tidak ada yang akan mengira bahwa di antara tawa mereka, ada satu yang mulai was-was.

   Gus Farhan tidak mengerti apa yang kini tengah dirasakannya. Ia mulai merasa khawatir, tapi tidak tahu apa yang dikhawatirkannya. Ia mulai berpikir, mungkinkah dia mengkhawatirkan perkataan mbak santri tadi ? Tapi kenapa ? Ia sungguh tidak mempunyai alasan untuk memikirkan hal tersebut. Tidak, tidak mungkin. Gus Farhan menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan pikirannya yang mulai ngawur.

   Sedang di sisi lain, Fathul juga merasa sedikit tidak enak. Hatinya tidak nyaman, karena ia belum bisa sepenuhnya merelakan Humaira' bersama dengan orang lain. Benar-benar pemikiran yang egois.

   "Pak, setelah ini giliran Rara untuk foto. Habis itu foto dengan keluarga. Kita siap-siap ke sana dulu." Humaira' berkata setelah melihat salah satu mbak panitia acara melambai padanya. "Mbak Ani, tolong katakan pada mbak-mbak kamar. Mau aku ajak foto bersama."

Humaira'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang