15. Khataman

668 24 7
                                    

   Dalam sekejap satu bulan telah berlalu.

   Pesantren Darul Qur'an terlihat begitu meriah, para tamu terus berdatangan bagai lautan manusia. Kalian pasti ingat hari apa itu. Ya, hari H khataman 30 juz bilghoib. Hari besar Humaira' dan 20 santri lainnya.

   Acaranya akan dimulai pada pukul satu siang nanti, tetapi para tamu sudah mulai memadati pesantren sejak pagi tadi. Apalagi bagi wali santri yang jauh-jauh datang dari seberang pulau, mereka bahkan sudah menyewa rumah singgah sementara mereka menanti acara dari jauh-jauh hari. Atau yang dari ibukota Jakarta, mereka juga sama.

   Acara siang hari akan diadakan di aula pondok putri. Karena memang acara tersebut tidak berbarengan dengan pondok putra, alias di pisah. Acaranya tidak banyak, hanya saja, acara inti untuk siang hari adalah khataman Al-Qur'an nya. Jadi acaranya di pisah antara lelaki dan perempuan. Sedangkan nanti malam barulah acara penyerahan syahadah (ijazah) yang dilanjutkan pengajian umum.

   Keluarga pak Asraf juga sudah datang dari pukul 9 pagi tadi. Mereka sekeluarga di bimbing oleh dua mbak santri yang bertugas menerima tamu Humaira'. Setiap khotimin dan khotimat memang bisa memilih dua atau tiga mbak santri untuk menerima tamu dan keluarga mereka yang diundang dengan tujuan agar para tamu bisa ada yang mengurus nantinya.

   Berbeda dengan keramaian di aula pesantren, Humaira' dan para khotimat yang lain kini tengah dirias selayaknya pengantin sehari. Bukan, bukan benar-benar seperti pengantin. Hanya sedang di makeup dan di rias sedikit. Yah, anggap saja seperti orang yang mau wisuda. Mereka memang dihias lebih awal agar tidak terburu-buru nantinya karena saking banyaknya jumlah khotimat sedangkan yang mendandani hanya satu orang. Mereka mulai persiapan dari jam setengah sebelas. Dan sekarang masih jam sebelas. Belum masuk waktu shalat dzuhur, itu sebabnya yang didandani lebih dulu adalah para khotimat yang sedang udzur. Seperti halnya Humaira'.

   Sebenarnya Humaira' sedikit malu, ia tidak biasa berdandan. Dan kalaupun dandan, itupun tipis dan natural. Palingan pakai bedak bayi sama babylips serta celak. Seperti anak pondok kebanyakan. Tapi kini, ia dirias dengan berbagai macam makeup. Ia merasa seperti wajahnya sedang dilukis.

   Humaira' mendapat banyak omelan dari mbak Rossi sang perias, ia juga salah satu santri di pesantren Darul Qur'an. Katanya mbak Rara itu cerewet sekali, apa-apa selalu bilang. 'jangan tebal-tebal ya mbak rossi.' atau 'jangan menor-menor ya mbak rossi.' . Begitulah kira-kira ucapan Humaira' tiap mbak Rossi mengaplikasikan makeup pada wajahnya, yang membuat mbak-mbak lain tertawa.

   Begitu selesai dirias, Humaira' berdiri kemudian berbalik menghadap mbak-mbak khotimat yang lain ingin berganti baju seragamnya. Tetapi yang lain justru seperti terpesona. Ia hanya berjalan saja, tidak begitu memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Sampai ada salah satu mbak khotimat berbisik ke yang lain. " Belum sadar dia pasti." Yang dibalas cekikikan oleh yang lain juga.

   Humaira' yang tidak mendengar masih santai saja, dan meneruskan mengganti pakaiannya. Tapi begitu ia selesai berganti dan menghadap kaca hendak memasang jilbabnya, ia tercengang sendiri. Bahkan ia sampai beristighfar saking kagetnya. Yang lain sontak tertawa.

   Humaira' terdiam mematung, ia merasa tidak yakin.

   "Kenapa mbak Rara ?"

   "Itu,,, itu aku mbak ?" Katanya masih saja tak percaya.

   "Bukan, itu calon bidadari surga." Canda yang lain.

   "Ah, sampean ini ada-ada saja mbak." Humaira' benar-benar malu. Ia kemudian melanjutkan memasang jilbabnya, tidak memperdulikan godaan yang lain.

_

   Di tempat lain.

   Gus Farhan kini tengah resah. Ia sudah berulang kali mondar-mandir di dalam kamarnya. Kira-kira apa yang tengah di pikirkannya ? Ya, benar sekali. Ia tengah memikirkan bagaimana caranya agar dirinya bisa mengikuti sang kakak ke acara khataman Humaira'. Tidak mungkin kan, kalau dia tiba-tiba mengusulkan untuk ikut. Masih gengsi sang Gus yang paling utama.

   Tok tok tok

   Ia berhenti seketika.

   "Dek, keluar sebentar. Mbak mau bicara." Itu suara kakaknya, Ning Nayla.

   "Ada apa mbak." Gus Farhan menjawab dengan nada datar andalannya.

   "Kamu ikut mbak sama mas ke acara khatamannya dek Rara ya ?"

   Dalam hati Gus Farhan sangat ingin menjawab 'YA'. Tapi nyatanya ia hanya menjawab. "Kenapa saya ikut mbak ? Kenapa tidak mbak Nayla sama kang Umam saja."

   "Kan kalau ada kamu, kamu bisa jadi supirnya. Biar mbak sama mas di kursi belakang." Kata Ning Nayla sambil tersenyum lebar.

   "Saya kan bukan supir mbak. Suruh saja kang Yusuf yang nyupirin. Kenapa malah jadi saya." Gus Farhan mulai sewot.

   "Ayolah dek,,, sekali-sekali kamu nyupirin kakakmu ini. Itung-itung nganterin mbak sama mas bulan madu." Ning Nayla masih saja merayu.

   "Enak di mbak, nggak enak di saya dong kalau begitu. Nggak mau ah. Males."

   "Masak nyenengin mbak sekaliii ini aja nggak mau dek." Ning Nayla mulai memasang wajah sedihnya.

   Yang namanya Farhan, dia tidak pernah bisa bilang tidak kalau kakaknya sudah memasang wajah memelas begitu. Jadi sudah bisa di tebak, jika akhirnya ia setuju untuk menjadi supir pribadi pengantin baru itu.

   Yah,, lagipula dengan begini kan dirinya tidak harus mencari alasan lagi agar bisa ikut.

  
_

   Acara khataman berjalan dengan lancar hingga selesai. Setelah para tamu kehormatan mulai bubar untuk sowan ke ndalem pengasuh, sesi fotopun dimulai. Mulai dari foto keluarga, hingga foto dengan para tamu yang diundang sang khotimat.
  
   Tetapi karena sesi foto antri, banyak dari mereka menemui keluarga mereka terlebih dahulu. Mereka memang belum sempat bertemu tadi, karena masih di makeup.

   Tak berbeda jauh dengan Humaira', ia juga tengah mencari keluarganya di antara banyaknya tamu.

   Humaira' lama mencari, tapi untungnya ia melihat salah satu santri yang menjadi penerima tamunya melambai ke arahnya. Dari posisinya, ia melihat keluarganya bersama mereka. "Mbak Rara, disini." Mbak tersebut memanggil.

   Humaira' tersenyum menghampiri keluarganya, ia di sambut dengan pelukan hangat sang ibu. "Selamat ya nduk, kamu berhasil." Ibunya menangis haru seraya mengelus kepala putrinya.

   "Alhamdulillah bu. Ini semua berkat doa dari ibu dan bapak." Mata Humaira' juga ikut berkaca-kaca. "Loh Bu, kakak belum datang ?" Tanyanya heran.

   "Kakak sini dek." Suaranya datang dari belakangnya. Membuat Humaira' menoleh, sepertinya mereka baru saja tiba.

   "Masyaallah cantiknya, selamat ya dek Rara. Ini buatmu." Suara merdu itu berasal dari Ning Nayla, ia langsung menghampiri Humaira' dengan buket bunga ditangannya. Mereka berpelukan.

   "Kesini hanya berdua kak ?"

   "Tidak, masih ada satu lagi. Itu,," Ning Nayla berkata sambil menunjukkan ke belakangnya. Ke arah seseorang yang masih mematung terpesona.

   Ya, dia Gus Farhan.

_

🌟 🌟 🌟
  

  

  

  

  

Humaira'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang