19. Terpesona

651 24 4
                                    



Pagi yang cerah membawa semangat baru bagi seluruh umat manusia. Awal memulai kegiatan harian yang selalu monoton alias itu-itu saja. Yaaah, tidak apa. Yang penting selalu ingat sang pencipta. Jangan sampai lalai akan kewajiban. Karena kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi nantinya.

Kita tidak akan bisa memprediksi apa yang akan terjadi di hari ini, esok atau bahkan lebih jauhnya lagi, masa depan.

Seperti halnya Gus Farhan.

Tadinya ia tidak pernah membayangkan sesuatu seperti cinta. Merasakannya pun tidak.

Waktu itu ia berpikir bahwa seseorang dengan nama Humaira' itu merupakan sesuatu karena dirasanya berbeda. Tapi setelah lama berlalu, bayangannya bahkan sudah benar-benar tidak terdeteksi dalam ingatannya. Ia sudah hampir lupa akan sosoknya. Atau sebenarnya memaksa lupa ? Entahlah. Itu sebabnya Gus Farhan sudah tidak terlalu memikirkan kejadian waktu itu. Perasaan waktu itu mungkin hanyalah kekaguman sementara yang hanya sekedar angin lewat pikirnya.

Gus Farhan sendiri sudah lama acuh dan kembali menyibukkan diri dengan segala kegiatan pesantren dan juga pekerjaannya. Agaknya sih sudah benar-benar lupa.

Tapi kini saat di hadapkan dengan wajah itu lagi. Sesuatu dalam dirinya membuncah. Ia mematung menatap fokus pada objek penglihatannya saat ini. Dia, Humaira'. Orang yang sudah lama tidak ia jumpai.

Pertemuan ini bukan sebuah kebetulan. Ia sengaja datang ke kantor pengurus untuk melihatnya. Sekedar untuk memastikan apa ia masih merasakan hal yang sama dengan yang lalu. Dan ia di buat takjub seketika.Dari terakhir jumpa hingga sekarang, terhitung sudah ada tiga bulan. Dan ia merasakan sesuatu yang bahkan lebih mengesankan dari saat menghadiri acara khatamannya. Humaira' juga seperti terlihat jauh lebih cantik dan anggun meski tidak di makeup seperti saat itu.

Awalnya tadi Gus Farhan berniat untuk berangkat mengajar lebih awal. Jadi setelah sarapan bersama keluarga ia langsung bersiap pergi. Tapi kemudian terhenti kala melihat banyak para santri putra yang antusias menatap ruang tamu pesantren. Ada yang di teras masjid, di halaman, bahkan yang sedang ada kelas masih sempat-sempatnya menengok ke arah yang sama. Ada apa ? Batinnya. Karena penasaran ia menghentikan salah satu santriwati yang baru selesai piket nyapu di depan ndalem.

"Itu ada apa mbak ? Kenapa para santri ndak pada masuk kelas ?!"

Ya, emang dasarnya aja galak. Pertanyaan simpel saja bisa bikin merinding pendengarannya. Apalagi para santriwati yang seketika itu langsung menunduk. Yaah, meski Gus Farhan sangat amat tampan tapi galaknya juga bukan main.

"Anu,, Gus, sepertinya wonten tamu." Mbak santri tersebut menjawab gagap.

"Siapa tamunya ?!"

Salah satu santri hanya bisa membatin, 'ya Allah, Gus. Apa itu nadanya ndak bisa santai sedikit apa ya ?.'

"Itu Gus...."

"Apa itu itu ! Saya kan tanya siapa tamunya ?!" Nah kan, mulai sewot Gusnya.

"Mboten ngertos Gus. Tapi sepertinya keluarganya salah satu kang santri Gus." Kali ini temannya menjawab cepat, takut kena marah juga.

Jawaban tersebut jelas tidak memuaskan bagi Gus Farhan yang tidak suka bertele-tele. Jadi ia langsung saja mengusir santriwati tersebut dan memanggil ustadz Yusuf yang kebetulan lewat. Gus Farhan menanyakan hal yang sama dan langsung tertegun mendengar jawaban kang santri tersebut.

"Yang datang berkunjung ke pesantren saat ini adalah mbaknya kang Alfa Gus. Itulooh, yang waktu itu njenengan nemuin juga sama Ning Nayla dan kang Umam. Itu sebabnya banyak kang-kang yang antusias. Mbak Raranya kang Alfa kan cantik, Hafidzah lagi."

Sesaat setelah mendengar jawaban dari ustadz Yusuf, Gus Farhan entah kenapa mendadak di landa emosi. Hingga tanpa kata langsung berjalan ke halaman pesantren, meninggalkan ustadz Yusuf yang nyengir di belakangnya.

Gus Farhan berjalan cepat dengan muka garangnya. Membuat para santri di halaman bergidik dan langsung melarikan diri. Tidak perlu bagi Gus Farhan untuk berteriak-teriak lagi, mereka sudah otomatis tertib saat melihat penampakan Gus Farhan di gerbang pesantren. Situasi semakin aneh karena mendadak hening.

Gus Farhan tidak berhenti di depan seperti yang ia rencanakan. Ia malah lanjut berjalan ke arah ruang tamu pesantren. Entah apa perlunya ia ke sana. Ia sendiri juga bingung, kakinya seperti berjalan sendiri.

Hingga sampailah ia pada situasi saat ini.

Ia masih berdiri mematung di tempatnya. Di depannya berdiri Humaira' dan juga Alfa. Sepertinya 'dia' sudah hendak pergi.

Humaira' bukannya tidak sadar bahwa banyak dari para santri menatap dirinya. Ia hanya berusaha untuk tetap tenang. Mungkin karena sudah terbiasa. Ia ke pesantren Nurul Huda hanya untuk memberi kabar kepada adiknya dan juga mengatakan pada Alfa untuk sementara ini jangan meminta uang pada orangtuanya. Ia sendiri yang akan mengirimnya nanti.

Tepat saat ia berdiri hendak langsung berangkat kerja, ia berpapasan dengan Gus Galaknya pesantren. Posisinya juga tidak jauh berbeda dari Gus Farhan. Ia cukup kaget, tak mengira akan berjumpa lagi. Tapi kemudian ia kembali sadar dan langsung tersenyum, lalu menyapanya dengan salam. Yang di jawab kaku oleh Gus Farhan.

Humaira' sungguh tidak berharap untuk sekedar bertemu atau bahkan berbicara dengannya. Itu sebabnya ia berniat untuk langsung pergi setelah menyapanya. Tapi baru akan mulai berjalan, langkahnya terhenti karena Gus Farhan.

"Bisa bicara sebentar ?"

Humaira' terdiam, tidak yakin jika Gus Farhan berbicara padanya. Tapi kemudian iapun mengangguk setuju. Mereka berdua kembali ke ruang tamu dengan di dampingi oleh Alfa. Tapi karena tidak ingin ikut campur, Alfa hanya ikut masuk dan duduk di samping pintu ruang tamu. Ia mulai berbicara dengan para pengurus yang ada di kantor sambil sesekali menengok ke belakang.

Kembali ke ruang tamu.

Posisi mereka sekarang canggung. Mereka berdua duduk berhadapan dengan jarak yang cukup jauh.

"Ngapunten Gus, njenengan mau bicara apa dengan saya ?" Jujur saja Humaira' ingin cepat-cepat menyudahi suasana canggung ini.

"Sebenarnya apa hubunganmu dengan Fathul Umam ?"

Humaira' tercengang dengan pertanyaan ini.

"Kamu ini mantan pacarnya ?" Gus Farhan bertanya lagi dengan datarnya yang penuh selidik. Ia berasumsi bahwa mungkin Humaira' kaget karena ia bisa tahu.

Humaira' seketika tersadar dan langsung menjawab. "Mboten Gus, kami ndak pernah mempunyai hubungan seperti itu."

"Benarkah ??" Gus Farhan terlihat tidak percaya.

"Nggih Gus." Humaira' meyakinkan. Ia tak mau terjadi kesalahpahaman.

"Kamu ndak bisa bohong sama saya. Jelas sekali pandangannya padamu itu berbeda."

Humaira' masih mencoba sabar, ia sebenarnya tidak suka di curigai seperti ini. "Gus, sebenarnya apa tujuan njenengan menanyakan hal ini pada saya ?"

"Saya hanya tidak ingin kebahagiaan kakak saya terusik dengan hal-hal seperti masa lalu." Gus Farhan berucap langsung.

Jujur saja Humaira' sedikit tersinggung dengan kata-katanya. "Maaf ya Gus. Saya sudah menjawab pertanyaan njenengan dengan sejujur-jujurnya. Kalaupun njenengan tidak percaya, itu terserah njenengan." Humaira' sungguh jengkel kali ini. Ia langsung bersiap pergi, tapi sebelum mencapai pintu ia berkata. "Saya tidak serendah itu sampai harus merusak rumah tangga orang lain. Permisi. Assalamualaikum."

Humaira' mencoba bersikap biasa saat keluar dari ruang tamu. Untung saja mereka tidak berbicara dengan keras tadi, jadi kemungkinan besar hanya Alfa yang paling dekat yang bisa mendengar. Ia langsung berpamitan dengan Alfa dan pergi.

Di ruang tamu, Gus Farhan masih terdiam setelah kepergiannya. Ia hanya berucap pelan. "Waalaikumsalaam."

Sekarang Gus Farhan terlihat sedikit linglung. Ia mungkin baru sadar jika kata-katanya sudah keterlaluan. Ia mengusap wajahnya frustasi.

'Apa yang sudah ku lakukan ? Astaghfirullah.'



Humaira'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang