14. Goodbye Singapore

426 86 4
                                    

"Arin,"

"Arin,"

"Arin!"

"Rin!"

Arin tersentak, menoleh takut pada sumber suara sampai membuat bibirnya menggigil. Seseorang telah duduk di sampingnya, Tiara, yang malah menatap cemas dirinya. Arin mengusap wajah, tersadarkan dari lamunan panjang.

"Aku bikinin kamu susu hangat, di minum ya? Kamu kan daritadi gakmau makan?" kata Tiara perhatian.

Arin menatap Tiara sebentar, lalu menggeleng pelan. Saat ini, Arin nggak bernafsu apa-apa, bahkan minum aja rasanya males. Tubuh Arin lemas, pikirannya ntah kemana.

"Dikiiiiit aja, ya? Sekali teguk aja gakpapa deh. Ya? Di minum ya?" Tawar Tiara tanpa menyerah, seraya mendekatkan ujung cangkir ke bibir Arin yang tertutup rapat.

Arin sebenarnya mau menolak, tapi bahkan menahan Tiara terlalu sulit untuknya. Jadi dia menurut dengan hanya minum sedikit.

"Sekali lagi?"

Arin menggeleng lagi.

Tiara menghela napas, lalu mengangguk maklum. Tiara pergi lagi sebentar meletakkan cangkir susu kemudian datang lagi.

"Coklat mau? Di emut aja gitu, gak usah di kunyah. Mau ya?" Kata Tiara sekarang, mengeluarkan batang coklat dari sakunya.

Arin menatap Tiara. "Gamau Ra," jawab Arin pelaaaaan sekali seperti suara bisikan.

Tiara menatap Arin dengan wajah sedih seperti ingin menangis, tapi kemudian dia mengangguk, nggak memaksa lagi. Tiara mendekat, menyandarkan kepala Arin di bahunya agar gadis itu bisa menumpu kepalanya barang sebentar. Dia juga menggenggam erat tangan Arin yang seperti tak bertulang; lemah dan dingin.

Sebagai seorang teman, siapa yang nggak sedih melihat perubahan sikap Arin yang kayak di putar 180 derajat. Arin yang ceria, ramai, petakilan, bersuara nyaring dan menyenangkan langsung lenyap dalam satu hari. Arin seperti bukan Arin. Dia hanya duduk diam di sini, menangis lalu diam lagi, nggak mau makan, nggak tidur, nggak punya cahaya kehidupan di wajahnya, dia hanya .. terus melamun.

Ini kali kedua Tiara melihat Arin seperti ini. Yang pertama itu dulu sekali, saat mereka masih SMP. Saat itu, Papa Arin meninggal. Sekarang, yang membuat Arin begini bukan karena kabar orang meninggal, tapi karena Yuta.

Rasanya baru kemarin Winwin dan Tiara berencana untuk pergi ke bandara bertemu dengan Arin dan Yuta. Semuanya baik-baik saja, sampai kedatangan Yuta dan Arin yang nggak ada kabarnya. Agak panik karena mereka nggak bisa di hubungi, tapi Tiara percaya Arin, makanya mereka hanya bisa menunggu sampai pagi. Tapi sampai dua hari kemudian, mereka malah mendapat telepon random yang mengatakan bahwa Arin dan Yuta di rumah sakit.

Begitu sampai di sini, keadaan Arin sudah begini.

Dan Yuta ..

Yuta ..

"Tiara,"

Tiara menoleh pada Winwin yang baru saja menghampirinya. Laki-laki itu langsung duduk di sampingnya.

"Bagaimana?" Tanya Tiara cemas. Winwin sejak tadi memang sedang dalam pertemuan khusus dengan orang-orang dari agensinya, juga .. dengan para sasaengfans itu.

"Jangan khawatir, semuanya aman kok," kata Winwin sambil tersenyum kecil.

"Jelasin, aku mau tau," kata Tiara masih cemas, nggak mau ketinggalan kabar lagi.

Winwin menghela napas. "Para sasaeng di bawa ke ranah hukum, kamera mereka di sita. Mungkin akan membawa pasal soal penguntit dan penculikan berencana. Tenang saja, itu urusan agensi dan pengacara mereka. Akan ada perjanjian kedua belah pihak juga, tapi itu rahasia, maaf," kata Winwin, tak bisa menjelaskan lebih jauh.

Tied 2| Nakamoto Yuta [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang