Bab 22. Bukan Pertama Jumpa

493 67 1
                                    

Ya Tuhan ... Savana mau pulang!

Tadi Savana memang tidak terlalu takut, tapi sekarang ia benar-benar takut. Apalagi ketika tubuhnya dilempar kepelukan laki-laki gondrong yang enggak ada ganteng-gantengnya itu.

"Lepasin gue!" Savana menggerakkan tubuhnya, ia memukul-mukul dada laki-laki itu. Namun, bukannya terlepas, Savana justru semakin terikat. Dengan kurang ajarnya dia mendorong Savana hingga jatuh ke atas rumput yang ada di samping jalan.

Belum selesai Savana merutuki nasib sialnya, tubuh laki-laki itu sudah menindihnya. Demi neptunus! Laki-laki ini buruk rupa sekali. Hih! Savana mau muntah melihatnya.

"Puas—"

Belum sempat laki-laki itu menuntaskan kalimatnya, sebuah bogeman mentah karena belum sempat dimasak mengenai wajah buruk rupa itu, hingga membuat dia terjatuh ke samping tubuh Savana.

"Pasti sakit." Savana bergumam pelan.

"Siapa lo?!" Laki-laki bercelana sobek-sobek paling banyak bertanya. Namun, bukannya mendapat jawaban dari malaikat pemyelamatnya, dia justru mendapat tendangan maut yang berpotensi menyebabkan nyeri di bagian anunya.

"Kalian pergi sekarang dari sini atau ... mati di tangan gue." Laki-laki yang sempat Savana beri gelar menyebalkan itu membuat Savana merinding. Ternyata dia lebih serem dari si rambut gondrong.

"Cabut aja, Ceng, Ril." Si botak berbicara. "Dia kayaknya cowok nih cewek."

"Gak bisa!" Si gondrong berteriak. Lalu ia mengambil botol kaca yang baru saja dibuang oleh si botak. Tanpa meminta izin, dia langsung melayangkan botol itu hingga nyaris terkena kepala sebesar buah kelapa milik tetangga itu ke arah malaikatnya. Lantas Jonas menendang benda keramat miliknya hingga dia merintih kesakitan.

"Udah, balik aja." Kini si celana sobek yang bersuara. "Lo kalo gak mau balik kita tinggal di sini."

Berandalan macam mereka ini tidak setia kawan sekali. Lihat saja, bukannya menolong mereka justru menyalakan motor, membuat si gondrong berteriak kesal. Namun, pada akhirnya ia mengikuti teman-teman buruk rupanya itu, hingga menyisakan Savana dan si malaikat berdua.

"Lo ngapain pulang malam lewat jalanan sepi kayak gini, sih? Gak mikir kalo jalanan sepi kayak gini bahaya?!"

Eh, buset! Ini laki kayak vampire beneran. Bukannya nanyain bagaimana keadaan Savana, eh malah marah-marah. Dasar tidak berperikecewekan. Savana sumpahin juga jadi perkedel, biar ia bisa gigit-gigit lalu masuk ke perut.

"Biar cepat nyampe." Savana mengibaskan tangan kanannya. "Minggir, gue mau pulang!"

Memang dasarnya Savana ini tidak tahu diri. Ditolongin bukannya mengucapkan terima kasih malah mengusir lalu pergi tanpa menoleh sedikit pun.

***

Savana tertawa nengingat pertemuan kesekian kalinya bersama Jonas. "Waktu itu ... aku emang enggak tau diri, yah, Mas?"

"Iya. Kamu emang enggak tau diri. Ditolongin bukannya makasih malah ngusir aku terus pergi gitu aja." Jonas mencebik. Oh Tuhan ... tolong tahan keinginan Savana untuk tidak menyambar bibir suami fiksinya ini.

"Tapi, Mas. Kalau bukan karena sikap aku yang songong, kamu enggak bakalan ngejar-ngejar aku, kita enggak akan bisa pacaran apalagi menikah dan bahagia seperti sekarang."

Rasanya Savana ingin tetap seperti ini, bercerita tentang masa lalu, tertawa, dan berbahagia bersama. Andai ... andai saja ia bisa melakukannya, andai saja keinginan kecil itu terwujud, Savana yakin, tidak akan ada lagi air mata kesedihan.

Namun, tidak. Semua yang diinginkan belum tentu sesuai kenyataan. Karena begitulah takdir mengaturnya. Seperti yang Savana ingini belum tentu atau bahkan tidak akan pernah terjadi. Bisa saja kan setelah ini ia kembali ke dunia nyata dan hidup normal seperti semula.

Dengan gemas Jonas mencubit pipi Savana, lantas ia berucap, "Aku enggak ngejar-ngejar kamu, yah. Enak aja."

"Kamu manggil aku dari parkiran terus ngejar aku sampai ke kelas, itu namanya apa kalau bukan ngejar-ngejar? Lari-larian?"

"Iya, deh, iya. Yang waras ngalah." Jonas membalikkan tubuh Savana, hingga gadis itu kembali menatap ombak.

"Maksud kamu aku gila?" Naik juga darah Savana kalau lama-lama berbicara sama Jonas Baswara.

"Udah, ah, gak usah marah." Pria itu berbicara di leher Savana, hingga ia merasakan embusan hangat napasnya.

"Mas, ih!" Savana berusaha menjauhkan kepala Jonas dari lehernya agar napas Jonas tidak bertebaran di sana. Sumpah, Savana tidak bohong. Rasanya itu geli-geli macam dielusin sama ulat bulu yang doyan naik ke pucuk.

"Apa, Yang?"

"Geli tau! Kalau ngomong gak usah dekat-deket." Maaf, yah, Savana bukannya munafik atau apalah itu. Tapi ini serius, ia merasa geli. Sangat geli. Makanya Savana enggak mau kalau Jonas berbicara dekat-dekat.

"Ya, kan biar romantis, Yang." Jonas ini ngeyel banget kalau dikasih tahu. Bukannya menjauh malah semakin mempererat pelukannya.

"Romantis enggak harus gitu, Mas. Cukup bahagiain pasangan kamu, buat dia tersenyum itu udah termasuk romantis, kok." Itu, sih, romantis versi Savana. Enggak tahu kalau yang lain gimana. 

"Jadi, selama ini aku sudah termasuk suami yang romantis belum?" tanya Jonas. Kini, sepasang suami istri itu berjalan bersisian, menikmati dinginnya angin malam serta suara deburan ombak yang terasa sangat menenangkan.

"Lumayan."

"Kok lumayan?" Kening Jonas berkerut, menatap Savana dengan bingung.

"Ya, karena emang lumayan. Kamu belum sepenuhnya bahagiain aku, 'kan? Bahkan sesekali kamu buat aku nangis terus nyungsep ke pelukan kamu."

Bohong. Apa yang keluar dari mulut Savana barusan itu bohong. Jonas itu romantis. Dia sayang sama istrinya, ya walau otaknya kadang ketuker sama Patrick, tapi enggak apa-apa, Savana akan tetap dan selalu sayang dia.

"Kamu ... ngerasa enggak bahagia sama aku?"

Duh! Kenapa nada bicara Jonas mendadak melow seperti ini? Hais! Tadi kan niat Savana cuman ingin bercanda. Ya, gimana, yah? Soalnya daritadi omongannya lurus mulu, enggak ada miring-miringnya.

"Aku bercanda." Savana mengusap wajah Jonas, ia meringis ketika merasa bulu-bulu halus di wajah Jonas mengenai permukaan kulitnya. "Kamu itu suami paling romantis yang pernah ada."

Jiah! Boleh tidak Savana terbahak saat ini juga? Ini pertama kalinya ia memuji Jonas secara terang-terangan,'kan? Karena biasanya Savana hanya memuji dalam hati.

Jonas tersenyum, kemudian pria itu mendaratkan kecupan hangat di kening Savana, membuat jantungnya macam petasan. Oh, beginikah rasanya jatuh cinta? Ah, ternyata sangat menyenangkan sekali, yah?

"Jonas!" teriak seseorang, membuat suami fiksinya menoleh ke belakang dengan kening yang berkerut. "Tolongin Laura, Jo. Dia pingsan!"

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

25.10.2020.

Bab ngebut #edisibayarutang.

Tapi semoga feelnya tetap dapat yes.

See u next chapter!

Dilarang Jatuh Cinta! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang