Kala itu, sore Rabu yang sunyi. Para penghuni Guntur Buana satupun belum ada yang pulang meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Tetapi, tiba-tiba sebuah mobil taksi berhenti tepat di depan gerbang megah itu. Selanjutnya menampilkan sosok seorang pemuda jangkung yang masih mengenakan seragam SMA sembari memegang satu koper ukuran besar. Sekitar beberapa menit ia hanya terdiam, celingak-celinguk lihat kesana – kemari."Ini cara masuknya gimana?" gumam pemuda itu.
Dari CCTV, salah satu penjaga gerbang menyadari itu dan akhirnya keluar melalui pagar kecil. Pak Odi mendekati pemuda itu.
"Maaf, Mas. Cari siapa, ya?" tanya Pak Odi.
"Oh, iya, Pak. Di sini bener Guntur Buana 'kan? Saya penghuni baru, kata Bang Ziel langsung aja datang ke sini," jawab pemuda itu sambil memperlihatkan chat-nya dengan Aziel.
"Oalah, Mas ... Adamar?" tanya Pak Odi memastikan.
Pemuda itu mengangguk sambil tersenyum manis. "Iya, Pak."
Memang ini Guntur Buana kayaknya ditakdirkan untuk anak-anak yang wajahnya pangeran, batin Pak Odi.
"Ayo, Mas, silakan masuk. Saya juga tadi pagi sudah diberi pesan oleh Mas Aziel katanya ada dua orang penghuni baru yang datang hari ini."
Pemuda itu akhirnya masuk. Dia mengangguk kecil ketika melihat isi dalam Guntur Buana, terlihat kagum tapi seperti sudah terbiasa dengan pemandangan tersebut.
"Kok sepi, ya, Pak? Memang lagi pada pergi semua?" tanya sang pemuda.
Pak Odi mengangguk. "Iya, Mas. Terkadang memang dari siang sampai sore, rumah bisa kosong karena pada kerja dan sekolah."
Pemuda itu mengangguk saja sebagai jawaban.
"Kamarnya di lantai satu, ya, Mas. Tersisa tiga kamar yang kosong, nomor 4, 6, dan 9."
"Iya, Pak. Terima kasih!"
"Ingin saya bantu bawa kopernya, Mas?" tanya Pak Odi
"Oh, nggak perlu, Pak. Saya bisa sendiri."
"Baik. Kalau begitu tak tinggal, ya, Mas." Pak Odi membungkuk kecil lalu pergi meninggalkan pemuda itu sendirian di rumah besar nan megah itu.
Pemuda bernama Adamar itu akhirnya naik ke lantai satu setelah puas berkeliling lantai dasar bahkan sampai ke paviliun belakang. Ia sambil mengingat-ingat nomor kamar yang kosong. Setelah melihat ketiga kamar tersebut, rupanya isi dalamnya memiliki desain yang sama persis. Jadi ia hanya perlu pilih nomor saja.
Tapi masalahnya, pemuda itu entah kenapa ingin sekali di lantai dua. Kenapa hanya kamar di lantai satu kata Bapak penjaga itu tadi, pikirnya. Pada akhirnya ia memilih kamar nomor 6.
Detik selanjutnya, merasa cukup penasaran dengan kamar lantai dua, pemuda itu langsung berkeliling selagi para penghuni belum pada pulang. Rupanya, desain lantai dua tidak jauh beda dengan lantai satu, hanya sedikit terlihat lebih luas, terlebih ada private bioskop. Pemuda itu berhenti di depan kamar nomor 18. Di pikirannya terbesit untuk iseng, akhirnya ia memegang kenop pintu tersebut.
Dan ... terbuka!
"Lah, nggak dikunci? Atau emang kamar ini kosong?" gumamnya setelah berhasil membuka pintu itu.
Tentu saja tidak kosong. Pemuda itu sedikit terkagum dengan isi dalam kamar tersebut. Penuh dengan segala pernak-pernik Basket.
"Wow. Pecinta Basket, nih."
KAMU SEDANG MEMBACA
GUNTUR BUANA✔️
Teen FictionGuntur Buana adalah sebuah rumah yang begitu megah, berdiri di tengah-tengah Jakarta yang begitu padat dengan tajuk sebagai 'kost eksklusif' khusus laki-laki. Penghuninya berisi sekumpulan pemuda dengan karakter yang berbeda-beda, berbagi kehidupan...