Dalam ruangan meeting yang berukuran tidak begitu besar, di antara belasan kursi yang sudah diisi oleh orang-orang penting di perusahaan HJ Corporation itu ada seorang pemuda tampan yang dengan teliti mendengar setiap kalimat yang diucapkan oleh salah satu peserta meeting.
Dua puluh tujuh tahun. Umurnya memang masih sangat muda. Terlahir menjadi anak tunggal dari pasangan keluarga konglomerat Tan dan Handjojo, membuat Tan Romeo Handjojo menjadi pemilik sah semua kekayaan milik Rafael Handjojo dan Tan Gracilia. Termasuk semua yang ada di gedung itu. Dan beberapa gedung lainnya yang berada di bawah nama Ayah dan Ibunya.
Dikenal dingin, tidak suka berbasa-basi, tidak pernah tersenyum dan bahkan sering kali dianggap sombong, membuat Romeo hanya bisa mempercayai satu orang saja. Yaitu Wildan. Pria yang seumuran dengannya dan sudah ia kenal selama beberapa tahun terakhir.
Wildan juga menjadi seseorang yang terus mengingatkan Romeo tentang betapa berartinya kehadiran seorang Tan Romeo Handjojo di setiap pertemuan penting. Supaya para pria tua yang ada di sekitar mereka saat ini tidak selalu merendahkan nama Romeo yang menjadi pemimpin semata-mata hanya karena namanya.
Tapi Romeo selalu bisa menjawab kekhawatiran Wildan itu dengan kalimat singkat yang membuat Wildan tersenyum miring.
"Memangnya kalau aku jadi pemimpin karena nama orang tuaku, mereka mau apa? Mau jadi anak dari Rafael dan Grace?"
Dan lihatlah pria tampan yang tadinya malas mendatangi tempat ini, malah sekarang berubah menjadi seseorang yang terlihat paling bersemangat untuk memutar balikkan gagasan yang tidak selaras dengan fakta yang sudah ia baca dan periksa. Wildan merasa bangga sudah bekerja dengan Tuan Muda ini.
Sudah puluhan menit berlalu sejak meeting itu dimulai, tapi Romeo sama sekali tidak tertarik untuk menghentikan pertemuan pada sore itu. Sampai Wildan berdiri dari tempat duduknya, lalu berisik pelan.
"Tiga puluh menit lagi Bapak ada makan malam dengan Pak Rafael."
"Batalkan saja, bilang kalau aku sibuk."
Wildan menggeleng dengan senyuman kecil. "Sayangnya pertemuan ini bukan sesuatu yang bisa saya batalkan dan jadwal ulang Pak."
Romeo mengangguk dan kembali fokus pada pekerjaan, sedangkan beberapa orang di hadapannya yang mulai berharap agar pertemuan ini segera selesai. Tapi sepertinya Romeo tidak berniat untuk segera mengakhiri.
Tiga puluh menit sudah berlalu. Itu artinya Romeo sudah terlambat untuk mendatangi acara makan malam dengan Ayahnya. Romeo tidak peduli, karena ia akan menggunakan pertemuan hari ini sebagai alasan untuk menghindar.
Sayang, Wildan masih mengingatkan dia dan berkata, "Lebih baik terlambat daripada tidak datang Pak."
"Kamu bisa bilang seperti itu, karena kamu nggak akan makan malam dengan mereka."
Wildan hanya tersenyum simpul sebelum membuka pintu untuk pria yang baru saja melepaskan kancing jasnya dan melonggarkan ikatan dasinya.
Romeo juga memeriksa ponselnya, berharap pesan yang ia kirim selama beberapa hari terakhir dibalas oleh sang Juliet. Tapi sepertinya perempuan itu tidak berpikiran sama seperti dirinya yang berniat percaya pada takdir lalu melawan keluarga mereka. Nyatanya, Rose tidak berpikir bahwa pertemuan mereka adalah takdir.
"Soal Juliet Rose, apa kamu melihatnya akhir-akhir ini?" celetuk Romeo tanpa perlu basa-basi lagi.
"Pak," Wildan melihat wajah Romeo dari pantulan cermin yang ada di hadapannya.
Setelah tidak mendengar kalimat lainnya, Romeo mendongkak dan membalas tatapan itu. "Kenapa?"
"Sepertinya Bapak belum mendengar beritanya ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Juliet & Romeo
Romantizm"Karakter, organisasi, tempat, perusahaan, pekerjaan dan kejadian dalam tulisan ini hanya fiktif." __________________________________ Untuk seseorang yang selalu terlihat dingin, siapa yang tahu jika sebenarnya ia cukup hangat. Dan untuk seseorang y...