40.

272 11 1
                                    


Kenzou

Sudah hampir tengah malam namun lampu kamar itu masih juga menyala menandakan bahwa penghuninya masih terjaga.

Satu Minggu lebih inilah kegiatan yang dirinya lakukan sepulang kantor, menatap jendela kamar Giyan dan menunggu hingga lampu kamarnya padam.

seolah hal itu dapat menyampaikan rasa rindunya dan mengurangi kekhawatiran pada gadis itu, berharap keberadaan nya sekarang dapat menemaninya meskipun dirinya tidak benar-benar ada disampingnya, Ken tau bahwa Giyan takut kesendirian.

penjaga rumah menyampaikan bahwa Giyan tidak mempersilahkan siapapun bertamu ke rumahnya kecuali Tante Dian dan om Ahmad.

Giyan sudah memintanya untuk pergi, hanya ini yang dirinya bisa lakukan, berulang kali memandang ponselnya mencoba untuk menelfon atau mengirim pesan
namun pada akhirnya urung ia lakukan. Jangan pernah muncul lagi di hidup aku...
Kata-kata itu yang selalu menghentikannya.

Di tempat lain keadaan tidak jauh berbeda, masih di ruangannya dikantor, padahal jam sudah menunjukkan hampir tengah malam, namun Darel sama sekali belum berniat untuk pulang kerumah, hanya memandang ponselnya memandang fotonya bersama Giyan ketika terakhir kali mereka berlibur ke Bali waktu itu, hatinya masih terasa sakit.

Mama bilang keadaan Giyan lebih baik, setidaknya Giyan sudah mulai mau makan walaupun sedikit, mama bilang Giyan tidak ingin bicara pada siapapun atau menerima tamu yang datang.

Darel menghela nafas sambil memandang lalulintas dari atas sini, kemacetan sudah mulai mengurai. Katakanlah dirinya pengecut, namun setelah apa yang sudah ia lakukan pada Giyan membuatnya merasa sangat bersalah.

******

Dari balik tirai yang aku sibak sedikit, Candilac Escalade hitam itu masih terparkir didepan pagar rumahku, satu Minggu lebih Ken selalu datang setiap sore dan tidak akan beranjak sebelum aku mematikan lampu kamarku.

Aku memang menolak kunjungan siapapun kecuali Tante Dian dan om Ahmad. Aku benci tatapan kasian orang-orang.

Setelah mengumpulkan kekuatan pada diriku baru tadi sore aku mengabari Oma tentang berita duka ini. Aku harus kuat agar tidak membuat Oma semakin khawatir,
Tadinya Oma ingin datang namun langsung aku tolak sebagai gantinya aku berjanji akan mengunjunginya saat liburan nanti.

Air mata ini masih saja mengalir saat memandang foto papa dipangkuan ku, aku menangis hingga kepalaku terasa sakit. Aku takut sendirian, takut ditinggalkan, waktu bunda meninggal aku belum terlalu mengerti karena saat itu usiaku baru 7 tahun, di malam pertama setelah kematian bunda, papalah yang menemaniku hingga aku tertidur.

Kepergian papa yang mendadak membuat duniaku seolah runtuh, papa memang tidak selalu ada untukku karena kesibukannya, namun ia selalu ada disetiap moment penting dalam hidupku, saat hari ulang tahun ku, saat pertama kali masuk sekolah, kelulusan, atau saat pertama kali aku mulai kuliah.

Papa yang selalu diam-diam memamerkan semua prestasiku pada karyawan dan rekan bisnisnya. Semua medali atau penghargaan akan papa pajang di lemari khusus di kantornya. Dan sekarang keluarga yang aku punya hanya tinggal Oma.

Tante Dian selalu bolak-balik melihat keadaan ku, memastikan keadaan ku, namun karena ada urusan pekerjaan yang sangat penting mulai besok Tante Dian dan om Ahmad akan bertolak ke Jerman.

Aku bersyukur karena Tante Dian selalu menemani ku setelah kepergian papa, tapi sebisa mungkin aku tidak ingin merepotkannya. Aku hanya menangis ketika sedang sendirian. Aku berusaha untuk terlihat kuat didepan semua orang.

Biasanya saat aku sudah lelah menangis aku memutuskan untuk tidur dan mematikan lampu kamarku seperti biasa. Tidak berapa lama barulah aku mendengar suara mobil milik Ken yang menyala dan semakin jauh.

Mungkin Ken tidak akan pernah tau bahwa setiap aku tidur aku selalu mengganti bajuku dengan baju miliknya yang sampai saat ini belum ku kembalikan, aroma colongenya membuatku lebih tenang. Seolah aku tidak sendirian dan berharap rasa rinduku padanya bisa terobati.

***

" Tok...tok...tok... Non Giyan?.. "

Terdengar suaranya salah satu art ku Nimas. Aku yang sedang membereskan buku-buku, rencananya besok aku memutuskan untuk mulai kuliah kembali.

Saat kubuka pintu wajah Nimas terlihat cemas.

" Ada apa nim?"

" Anu mba, ada ... Ada polisi yang datang..."

Aku buru-buru memutuskan untuk turun menuju ruang tamu, dan kulihat ada beberapa anggota polisi dan beberapa orang menggunakan rompi bertuliskan KPK.

Setelah mempersilahkan duduk aku bertanya apa maksud kedatangan mereka, namun jujur saja perasaanku semakin tidak enak.

" Begini, kami dari KPK dan kepolisian, kami ingin memberitahukan bahwa bapak Adnan terbukti melakukan penyuapan serta gratifikasi terkait proyek Hambalang, kami juga sudah menangkap para pejabat yang terkait dengan proyek ini"

" Tunggu sebentar pak, papa saya gak mungkin...saya akan hubungi pengacara dan juga sekertaris papa saya..."

Betapa terkejutnya aku mendengar berita ini, aku tidak percaya papa sampai melakukan hal kotor ini.

Aku mencoba menghubungi om Ahmad dan Tante Dian namun tidak aktif, aku lupa mereka sedang dalam perjalanan ke Jerman.aku kembali menghubungi om Steve namun tidak juga diangkat.

" Maaf pak saya tidak bisa menghubungi sekertaris papa saya, beliau yang lebih tau mengenai proyek ini."

" Jika yang anda maksud bapak Steve Pramana beliau meninggal kemarin malam karena kecelakaan lalulintas"

" Mohon maaf sampai penyelidikan selesai seluruh aset milik keluarga bapak Adnan akan kami sita, kami memberikan waktu 1 jam untuk berkemas, namun dilarang membawa barang berharga apapun "

***

Aku mengiringi kepergian semua Art dan supir yang sudah bekerja bertahun-tahun pada keluarga ku, bahkan aku tidak bisa membayar seluruh hak mereka sepenuhnya. Rencananya mereka akan kembali ke kampung halaman mereka.

" Ini biar buat mba Gi'... Si bapa sudah banyak membantu keluarga mbok"

Mbo rat mengembalikan amplop berisi uang yang aku berikan. Ujar mbo Rat', mbo Rat' adalah orang yang paling lama mengabdi pada keluarga ku bahkan sejak bunda masih hidup.

" Jangan...mbo simpan aja, kalian juga, maaf saya tidak bisa membayar sepenuhnya, saya janji setelah saya punya uang saya akan membayar seluruh sisanya, terima kasih banyak sudah merawat saya dan papa selama ini"

Satu persatu mereka memeluk ku sambil menangis.

" Mba Gi' gak nda usah mikirin, si bapa selama ini sudah banyak membantu kami"

Ucap pak Supardi, yang di ikuti oleh anggukan yang lain.

Setelah kepergian mereka, sekali lagi aku memandang rumah yang sudah bertahun-tahun aku tempati.
Harus kemana aku setelah ini, aku benar-benar tidak mempunyai tujuan.

Aku tidak ingin mendatangi rumah om Ahmad. Kenapa saat-saat seperti ini aku semakin merindukannya, rasa menyesal ini kembali menyesakan. Aku terduduk sambil memeluk lutut dan menangis. Aku takut sendirian dan tidak tau harus kemana.

Tidak cukup menyedihkan kah hari ini hingga hujan pun harus turun. Bajuku sudah basah namun aku belum ingin beranjak, ada rasa berharap jika ia akan datang.

Aku tidak lagi merasakan air hujan yang menetes di pundak ku, penasaran aku mengangkat wajah, dan melihat sepasang sepatu pantofel hitam, saat aku melihatnya dia sudah berjongkok sambil membawa payung berwarna hitam yang melindungi tubuhku dari guyuran air hujan.

Dia... seseorang yang sejak tadi kupanggil di dalam hatiku...

" Maaf..."

Aku memeluknya, dan dia membalas pelukanku dengan erat.

Happy reading 😉

Backstreet ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang