D E L A P A N B E L A S : "Bian, Kau kah Itu?"

1.7K 200 31
                                    

Apa sub judulnya bikin kalian segera buka part ini?wkwk Tapi sebelum kalian baca aku mo nanya dulu dong gaes, kalian bosen gak, aku update story nyaris tiap hari?wakakakaka harus dijawab yaaa..hehehe

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

happy reading..

***

"Bang Juna- bagaimana keadaannya?" Barry bertanya dengan sorot mata cemasnya, pada seorang dokter muda yang tengah memeriksa Tian. Pemuda itu nampak tergolek lemah di atas tempat tidur. Belum sadarkan diri.

Orang yang Barry panggil Juna, tidak menjawab. Bagaimana dia bisa menjawab? Dia baru saja menyentuh Tian sehingga belum tahu bagaimana keadaannya, tetapi Barry sudah mencecarnya dengan pertanyaan. Jadi Juna membiarkan Barry bergelut dengan rasa penasarannya, sementara dia tetap tenang melanjutkan pekerjaannya memeriksa seseorang yang membuat Barry setengah mati mengkhawatirkannya.

Beberapa waktu belum mendapatkan jawaban, Barry yang meremat tangannya demi melampiaskan cemas, tak tahan untuk bertanya lagi. "Bang- apa kau tidak akan menjawabku? Lalu apa gunanya aku membayarmu?"

Tak!

Juna yang gemas segera memukul kepala Barry pelan dengan stetoskop yang sudah dirapikannya. "Kenapa jadi orang tidak sabaran sekali Barry?"

"Aku cemas, apa kau tidak lihat?!" Barry rasanya ingin melempar Bang Junanya itu dari balkon seandainya dia tidak kunjung menjawab.

"Dia baik-baik saja. Lukanya tidak parah." Juna membeberkan hasil pemeriksaannya.

"Benarkah? Apa kau sudah memeriksanya dengan betul? Kau tidak salah mendiagnosa kan? Kau tahu lehernya tadi dililit rantai sangat kuat. Apa benar dia baik-baik saja sekarang?" Barry diberitahu malah tidak percaya. Lalu apa gunanya dia bertanya? Juna mulai kesal menghadapi adik sepupunya itu.

"Kalau kau tidak percaya, kau bisa memeriksanya sendiri." Juna menyerahkan stetoskop ditangannya pada Barry. Membuat Barry mendelik, dan sedikit berteriak,

"Bang!"

Juna menghela napas. "Dia benar-benar tidak apa-apa Barry. lukanya nya tidak ada yang parah."

"Ta-tapi leher-nya-" Ucap Barry masih belum ingin percaya sambil menunjuk leher Tian yang kemerahan. Itu bekas lilitan rantai yang mencekik leher Tian tadi.

"Tidak apa-apa. Percaya padaku. Itu bukan luka yang parah. Kalau kau masih tidak percaya, kau bisa membawanya ke rumah sakit. Dan bisa kupastikan kau akan mendapatkan jawaban yang sama seperti yang kau dengar dariku."

Mendengar hal itu, baru Barry perlahan-lahan mulai percaya. Dia sekarang juga mulai bisa bernapas lega. Pemuda itu lalu duduk di kursi yang sudah dia seret dan dia letakkan di samping tempat tidur sambil mengusak wajah frustasinya. Dia benar-benar merasa tercekik memikirkan kondisi Tian. Sekarang, ketika Juna sudah memeriksanya dan memberitahu bahwa Tian tidak apa-apa, Barry benar-benar bisa bernapas lega. Barry benar-benar lega. Pemuda itu tidak lagi terluka karena dirinya. Ah tidak. Tian tetap terluka, meski tidak parah. Dan tetap, Barry lah yang bersalah! Argh! Bagaimana hal-hal seperti ini selalu menimpa Tian? Lebih tepatnya, mengapa Barry selalu membawa pemuda itu terseret ke dalam masalahnya?

SEPARATED BROTHER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang