D U A P U L U H T U J U H : "Tamu Tak Diundang"

1.2K 128 9
                                    

***

Tian dan Barry baru saja merampungkan makan malam mereka. Setelah beristirahat sejenak dengan perut kenyangnya, Barry kemudian mengangkat piring dan berkata, "Biar aku yang mencucinya." Tian yang mendengarnya hanya menyunggingkan senyum. Masih terasa lucu rasanya melihat Tuan muda Barry yang seumur hidupnya tidak pernah cuci piring dengan suka rela melakukan pekerjaan itu sekarang. Sejak Tian menyuruh pelayan Barry untuk kembali ke rumah tuan mereka, tugas itu memang Barry yang menggantikan.

"Kau perlu bantuanku?" tanya Tian sambil dengan pelan membawa tubuhnya berputar ke belakang, demi melihat Barry yang sudah berkutat dengan piring dan busa-busa.

"Sekalipun aku membutuhkannya, aku tidak akan membiarkanmu berjalan ke sini."

Tian tersenyum lagi. "Ah.. adikku manis sekali."

"Diam! Kau membuatku geli, bang."

Tian hanya terkekeh, sambil mengambil gelas dan meminum isinya lagi. setelah itu, dia teringat sesuatu yang ingin ditanyakannya saat makan tadi. "Oh iya Barry. Apa kau tidak akan pulang lagi malam ini?" tanya Tian sambil menatap Barry serius. Sudah nyaris tiga hari sejak Tian kembali dari rumah sakit, Barry selalu menginap di tempat tinggalnya. Menolak untuk pulang ke rumahnya sendiri.

"Mn. Kenapa?" balas Barry singkat. Dia masih fokus dengan cucian piringnya.

"Tidak apa apa sih. Hanya saja ku pikir, kau harus pulang ke rumah."

"Bukankah ini rumahku juga?"

"Benar. Tapi kau juga harus pulang ke rumahmu yang lain. Tidakkah kau rindu papa mamamu?"

Barry melempar pandangan, menatap Tian dengan memasang wajah manjanya lalu berkata, "Tapi aku ingin bersamamu."

"Kau ini- tiap hari memangnya tidak bersamaku? Tidak bosan terus bersamaku?"

Barry menggeleng tegas. sejenak melupakan cucian piringnya. "Tidak bosan sama sekali! Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun dengan mama dan papaku. Tapi hanya beberapa bulan bersamamu. Mana mungkin aku bosan denganmu?"

Tian kehabisan kata-kata. "Tapi tetap kau harus pulang Barry. Aku tidak ingin orang tuamu berpikir bahwa aku menahanmu di sini." Itulah alasan utama Tian menyuruh Barry untuk pulang. Dia tidak ingin orang tua Barry merasa anaknya berubah dan lebih senang tinggal bersamanya dibanding orangtuanya.

"Mereka tidak akan berpikir seperti itu."

"Benarkah?"

"Mn. Sudahlah, jangan berpikir aneh-aneh. Lebih baik kau tidur saja sekarang."

"Baru selesai makan, mana boleh langsung tidur?"

"Ah iya benar. Kalau begitu nonton tv sana dulu. Setelah mencuci aku akan menyusulmu."

"Kau sepertinya sudah mahir mencuci piring."

"Jangan meledekku deh bang."

Tian terkikik sendiri lalu mulai berdiri mengikuti saran Barry untuk nonton tv sambil menunggu Barry menyelesaikan cucian piring. Meski masih agak risau membiarkan Barry terus menginap di tempatnya, tetapi selama Barry mengatakan baik-baik saja, itu artinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan bukan? Yah. Lagipula Tian yakin kedua orang tua Barry pasti mengerti bahwa dirinya dan Barry saling merindukan dengan sangat satu sama lain sehingga ingin menghabiskan waktu bersama lebih banyak lagi.

***

Tian mematikan televisi menggunakan remote ditangannya. Pemuda itu mengehela napas lelah sembari menyenderkan punggung pada senderan sofa yang ia duduki. Diliriknya jam dinding yang berada di samping kanan atasnya. Masih jam delapan pagi dan dia sudah bosan. Dia terbiasa bekerja. Jadi ketika menghabiskan waktu dengan tidak melakukan apapun seperti yang dialaminya saat ini sungguh membuatnya bosan. Terlebih dia sendirian di apartemennya. Barry sudah berangkat bekerja. Meninggalkannya tanpa teman selain perabotan rumah yang tentu tidak bisa Tian ajak bicara.

SEPARATED BROTHER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang