10

75 13 0
                                    

Suasana ruang guru jam istirahat kali ini agak ramai. Beberapa guru termasuk Sherin memilih memakan bekal disana sambil mengerjakan laporan nilai.

"Anak Bu Siti pagi-pagi udah bikin heboh ya!" celetuk Pak Dodi masuk sambil membuka topinya, keringatan setelah mengajar basket.

"Apa? Siapa lagi?" Bu Siti mengernyit membuka karet bungkus nasi uduknya.

"Si Nugie lah. Tumben-tumbenan dia ke sekolah nggak pakai motornya yang berisik itu. Dia diantar bapaknya pakai mobil Hyundai keluaran terbaru yang harganya sampai saya pensiun juga nggak akan kebeli," lanjut Pak Dodi duduk mengipasi kepalanya yang botak dengan ujung topinya. Sherin tersedak mendengar ucapan guru olahraga itu dan langsung meneguk air mineral.

"Padahal anak itu kalau udah malas sekolah, suruh jadi artis aja. Tampang punya, duit ada, koneksi banyak, daripada bikin ulah terus disini," sambung Bu Ade.

"Namanya juga remaja bu, krisis identitas. Mungkin dia bermasalah dengan bapaknya. Kita kan nggak tahu. Mana berani lah sekolah mengusik kehidupan anak dari donatur tetap sekolah kita, cari perkara namanya." Pak Dodi yang terkenal garang itu ternyata suka bergosip juga dengan para ibu guru. Sherin makin menajamkan pendengarannya.

"Eh, buibu kalian nyadar nggak kalau seminggu kemarin presensi Nugie full lho! Dia masuk terus." Bu Siti guru fisika merangkap wali kelas 12-B membuka obrolan sambil menyuap nasi uduk.

"Seriusan Bu? Nggak sekedar datang, kabur, pulang? Soalnya si Eza sama Riko masih begitu," tanya Bu Ade wali kelas Eza dan Riko yang mengajar geografi mencocol kentang goreng di tempat bekalnya.

"Iya, benaran. Memang sih dia hadir terus, tapi baru sebatas itu soalnya di kelas tetap aja dia semaunya, tidurlah, bengonglah, asyik dengar musik pakai earphone, yang ada malah tugas kosong semua," keluh Bu Siti. Sherin yang duduk tidak jauh dari sana menyimak.

"Masa sih Bu? Kok rasanya di jam pelajaran saya nggak masuk ya?" Sherin mengernyit heran karena perkataan Bu Siti tidak sesuai dengan keadaan di lapangan.

"Hmm, minggu kemarin kan bu Sherin nggak ngajar karena mendampingi siswa yang ikut acara lomba debat bahasa inggris di SMU Bangsa kan?" Pak Dodi guru olahraga yang sedang menyeruput kopi hitamnya ikut buka suara.

"Ooo, iya saya lupa. Diganti sama pelajaran Pak Dodi ya?" Sherin menepuk pelan dahinya dibarengi anggukan kepala guru olahraga itu.

"Kenapa dia tiba-tiba rajin?" Bu Ade penasaran, kali ini menusuk sosis gorengnya.

"Menurut Pak Budi, ayahnya Nugie yang juga donatur terbesar sekolah kita datang menghadap ke Kepsek karena sudah terlalu sering mendapat laporan bolos anaknya kan, nah mereka bikin kesepakatan gitu biar anak itu bisa lulus tanpa masalah dan tidak merusak nama baik sekolah, salah satunya ya Nugie harus rajin masuk," terang Pak Dodi lagi.

"Tapi kalau nilainya nggak dibetulin, percuma kan Pak? Masalahnya gimana saya bisa bantu nilai anak itu kalau tugas dan ulangan saja nggak dikerjakan?" gerutu Bu Siti.

"Nanti bakal ada rapat khusus guru 12-B sama Pak kepsek buat bahas ini, jadi kita harus siap-siap aja Bu." Pak Dodi menandaskan kopinya dan pamit keluar. Ketiga guru tersisa saling pandang dan menggelengkan kepalanya.

Tak lama kemudian jam istirahat berakhir dan Sherin sedang berjalan di koridor menuju kelasnya. Di samping wc laki-laki terdengar suara beberapa orang sedang berbisik-bisik. Guru muda yang penasaran itu perlahan mendekati wc.

"Lo seriusan Gie pinjam sama dia? Rentenir banget lho dia. Lo bakal dikejar terus kalau nggak bisa balikin duitnya," kata Riko terlihat kesal.

"Kenapa nggak ngomong ke bokap lo aja sih, daripada kita dikejar-kejar sama dia nanti?" lanjut Eza.

"Dia memang udah nagih, tapi gue minta waktu tambahan seminggu lagi. Tenang aja, gue bakal cari cara buat bayar tuh orang," gumam Nugie sambil mengunyah wafer coklat karamel kesukaannya.

"Kalian kenapa masih disini? Bel udah bunyi dari tadi. Ayo Eza, Riko kalian masuk! Kamu juga Nugie, cepat bubar dari sini!" suara tegas Sherin membuat ketiga remaja itu terlonjak kaget dan langsung berdiri. Tanpa banyak kata Eza menarik Riko menuju kelasnya, meninggalkan Nugie yang masih duduk berjongkok sambil makan coklat.

"Masuk kelas sekarang Nugraha!" kata Sherin menunjuk ruang kelas 12 B di ujung. Nugie berdiri, menyeringai dan membungkuk.

"Mau Miss? Enak lho, menurut penelitian, makan coklat itu bisa bikin tenang, gak akan gampang emosian kaya Miss," jelas Nugie menyodorkan coklat baru dari saku kemejanya.

"Ini masih mode tenang lho Nugraha, asal kamu gak ngeyel aja." Sherin meluruskan lengan kanannya, mempersilakan Nugie untuk jalan.

"Oke, after you Missy," ujarnya dengan tatapan mengejek.

"No, you first! Go!" Sherin bersikeras membuat Nugie mengangkat bahu dan melenggang tak peduli menuju kelasnya.

Sherin sudah berada di kelas untuk memulai pelajaran. Benar kata Bu Siti, si biang onar itu masuk tapi selama pelajaran berlangsung, yang dilakukannya hanya duduk menyandar tembok dengan kaki menyilang sambil memutar-mutar bolpoinnya.

Anak-anak sedang serius mengerjakan tugas. Sambil mengawasi mereka, bu guru itu teringat percakapan singkat Nugie dengan kedua temannya tadi di wc. Apa yang dilakukan Nugie hingga Eza dan Riko terdengar khawatir. Sesuatu tentang meminjam uang. Kepada siapa dan untuk apa dia harus meminjam, padahal dia anak pengusaha berada. Apakah anak itu berada dalam masalah serius? Mata Sherin bersirobok dengan mata elang Nugie yang terus menatap tajam pada guru honorer itu membuatnya mengerjapkan mata beberapa kali karena tidak menyangka akan ulah muridnya itu.

Lima belas menit sebelum pelajaran berganti, Sherin memberi kuis singkat dan anak-anak bersemangat mengerjakannya. Bel pergantian pelajaran sudah berbunyi dan satu per satu murid maju ke meja Sherin untuk mengumpulkan hasil kuisnya, termasuk Nugie. Saat remaja tanggung itu di hadapannya, ia memasang senyum menyeringai sambil menyerahkan tugasnya ditambah bonus sebungkus wafer coklat karamel. Anak korea campuran itu mengedipkan sebelah matanya, lalu melenggang pergi dari hadapan gurunya begitu saja. Sherin menggeram, ia kesal karena anak muda itu meremehkannya sebagai guru.

Di ruang guru yang kosong Sherin meluapkan kekesalannya. Ia mencak-mencak sendiri, melempar tasnya, membanting tugas murid-muridnya ke meja, dan duduk mengempaskan tubuhnya dengan keras.

"Dasar bocah baru gede! Dia nggak bisa lihat gue ini lebih umur lima tahun dari dia apa ya? Gurunya pula, dimana respeknya sih?" omel Sherin sambil memeriksa lembar kuis yang tadi.

 Matanya tertumbuk pada sebungkus coklat yang tergeletak di meja. Guru muda itu mendesah bingung. Ia mengalihkan pandangan pada hasil tugas Nugie dan membelalak membaca tulisan anak itu. Tertera dengan jelas tulisan 예뻐요 (yeppeoyo / cantik) di kolom nama dan아가씨 (agassi / nona) pada kolom kelas. Cepat diambilnya ponsel dan dicarinya arti kata-kata yang ditulis si anak Korea blasteran itu.

"Ya ampuuun!!! Pentul korek! Mie lidi pedas! Korea kawe! Nyari perkara ya dia!" pekik Sherin tertahan setelah mengetahui artinya. Matanya menelusuri lembar jawaban kuis itu. Lagi-lagi keheranannya muncul. Semua jawaban yang Nugie tulis tidak ada yang salah, tepat semua. Bocah itu sangat menguasai bahasa inggris, hanya saja kemalasan dan sikap berandalnya menutupi segala kepandaiannya.

*

Pelangi di Balik Awan - 구름 뒤무지개 (Gureum Dwi Mujigae) -- TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang