.
.Setelah tiga hingga empat jam Renjana menjalani hemodialisa, Naresh segera mengantarkan Renjana untuk pulang ke rumah. Renjana juga telah meminta izin dengan Dimas serta Yuji jika ia mengalami perubahan jadwal secara mendadak dan untungnya mereka mem-berikan Renjana kesempatan untuk melakukan perubahan jadwal. Renjana memasuki rumahnya dengan perlahan dan tertujupada meja makan yang tesambung dengan ruang tamu.
Chandresh, Ririn, dan kakaknya—Raksa—tengah makan malam bersama saat ini. Renjana sedikit iri dengan sang kakak yang terlihat menikmati makan malamnya dengan Chandresh dan Ririn.
"Kenapa pulang? Gak perlu pulang sekalian kalo kerjaanya cuma keluyuran mulu!" ucap Ririn saat me-lihat Renjana baru saja masuk dan memperhatikan mereka sedang makan bersama.
"Pa, Renjana boleh ikut makan malem?" Entah keberanian dari mana Renjana mengatakan kalimat itu di depan keluarganya, bahkan para pembantu yang sedang menyiapkan makan mereka terhenti dan menatap Renjana yang masih berdiri tak jauh dari meja makan. Bahkan, Raksa serta Chandresh memberhentikan makannya dan menatap Renjana tegas.
"Tahu diri kamu, udah berani ngelawan se-karang?!" tegas Ririn dengan nada marah setelah setelah beberapa saat terjadi keheningan.
"Sekali ini aja, Ma, Renjana mau makan sama kalian," balas Renjana sambil menunduk tak berani menatap sang mama yang baru saja meneriakinya, tangannya meremas ujung bajunya untuk menghilangkan rasa takut yang menyelimuti tubuh Renjana, mengingat kejadian seminggu yang lalu ketika Renjana medapatkan hukuman dari sang mama.
"Anak haram aja belagu!"
"Ririn!" Tepat setelah Ririn mengatakan kalimat yang menusuk hati Renjana, Chandresh bersuara untuk memperingati istrinya yang kini terlihat marah dengan apa yang Renjana lakukan.
"Kamu belain dia, ha? Inget gak yang bunuh anak kamu itu siapa?" teriak Ririn pada Chandresh membuat nafsu makan Chandresh hilang seketika, ditambah dirinya yang baru saja pulang dari lelahya bekerja membuat emosi Chandresh cepat tersulut.
Brakk!
Raksa memundurkan kursinya dan meninggal-kan orang tuanya yang tengah berdebat di hadapanya.
"Ini gara-gara lo!" ucap Raksa saat dirinya berjalan melewati tubuh Renjana sebelum memutuskan keluar dari rumah. Renjana terus memperhatikan kedua orang tuanya yang tengah beradu argumen dengan emosi yang menyulut keduanya tanpa adanya salah satu dari mereka yang mengalah.
"Mah, Pah, berhenti!" teriak Renjana dengan nada yang telah naik satu oktaf, membuat kedua orang tuanya yang tadi berdebat kini berhenti menatap Renjana dengan tatapan emosi. Renjana menatap satu persatu sepasang mata Chandresh dan Ririn dengan tulus.
"Mama bener kalo Renjana anak gak sahnya Papa sama Ibu, tapi Renjana gak pernah minta sama Tuhan untuk lahir ke dunia, apalagi ada diantara kalian. Semuanya kehendak Tuhan, kalo emang Renjana beban kalian, kalian bisa pulangin Renjana ke Tuhan atau buang Renjana ke tempat di mana Renjana gak pernah bisa pulang ke rumah ini.
Renjana ga peduli sebenci apa Mama sama Papa ke Renjana, tapi Renjana perjelas sekali lagi, Renjana sayang sama kalian sampai kapan pun, karena kalian orang tua Renjana sekarang!" Renjana mulai mengatakan apa yang selama ini ia pendam terhadap kedua orang tuanya. Dengan sesak dalam tubuhnya, Renjana mencoba mengatakan semua yang ada dalam pikirannya saat ini.
"Renjana masih bersyukur, bersyukur karena masih memiliki kalian hingga sekarang yang berarti keluargaku masih lengkap. Tapi, kita cuma bersatu secara fisik, bukan hati dan itu bukan kelengkapan yang Renjana mau! Renjana sayang kalian, Renjana minta kalian sayangi Renjana juga kaya kalian sayang sama kakak! Itu yang Renjana mau saat membuka rumah ini setelah seharian Renjana kerja! Renjana rindu definisi rumah yang sebenarnya menjadi tempat berpulang Renjana satu-satunya!"
Renjana terus mengatakan dengan air mata yang mulai terjun dengan bebas di kedua pipi bersihnya, Ririn dan Chandresh masih diam tak membalas apa yang anak mereka katakan.
"Papa? Papa dan kakak itu pahlawan bagi Renjana sejak kecil, tapi ini bukan pertama kalinya Renjana nangis karena Papa atau pun Mama, Renjana gatau mau benci sama Papa Mama atas semuanya.
Renjana udah lakuin semuanya agar kalian sekali aja puji Renjana, tapi Renjana gak pernah denger satu kalimat pujian pun keluar dari bibir kalian untuk Renjana. Sekarang, Renjana udah mulai dewasa dan Renjana belum menemukan makna kehidupan Renjana selama ini dari Papa."
Renjana mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat. Renjana tak lagi melanjutkan kalimat-nya, ia masih terisak dengan berdiri di tempatnya.
Tanpa berkata apapun, Chandresh meninggalkan rumah, meninggalkan Renjana yang masih berdiri di sana dengan Ririn, Tak selang beberapa saat setelah Ririn puas menatap tajam Renjana, Ririn lalu menghampiri Renjana dengan langkah cepat dan berdiri tepat di hadapan sang putra.
Ririn mengenggam tangan Renjana dan menatapnya dalam membuat Renjana terhenyak tak percaya apa yang Ririn lakukan padanya.
"Kamu mau makan bareng sama mama, kan?"
Pertanyaan dengan nada lembut itu berhasil membuat Renjana mematung dengan senyuman yang mulai mengembang, meski kini matanya telah membengkak karena menangis. Renjana mengangguk dan membuat Ririn tersenyum, Ririn lalu menariknya untuk duduk di salah satu kursi kosong yang menjadi tempat duduk-nya saat makan malam bersama beberapa tahun lalu.
Ririn megambilkan nasi merah dengan lauk yang masih ada di meja ke piring yang telah di balik di depan Renjana, membuat Renjana masih tak percaya apa yang telah sang mama lakukan sekarang. Kini Ririn manatap lembut Renjana, membuatnya tersenyum bahagia, namun di saat yang bersamaan, tatapan Ririn berubah mengerikan.
"Kamu mau makan, kan? Sekarang makan!"
Brakk!
Dengan kasar, Ririn mendorong kepala belakang Renjana ke depan membuat wajah Renjana masuk ke dalam makanan yang telah Ririn ambilkan untuk Renjana. Tak sampai di sana, Ririn juga mengadahkan kepala Renjana kembali dan mengambil piring yang telah ia siapkan untuk Renjana, lalu memaksa mulut Renjana agar terbuka dan memaksa semua makanan itu untuk masuk ke dalam mulut Renjana, hingga sesekali Renjana tersedak oleh makanan yang telah di paksa masuk oleh Ririn.
Renjana mencoba melepaskan tangan Ririn yang sedang menekan kedua pipinya agar ia membuka mulutnya, namun hasilnya nihil. Air mata yang tadinya berhenti, kini kembali meluncur dengan bebas. Ririn meraih sebuah teko kaca berisi air dan menyiramkan seluruh isinya ke tubuh Renjana mulai dari kepala dan ...
Brukk!
Ririn mendorong kursi yang Renjana duduki yang membuat Renjana otomatis terjatuh bersama si kursi. Setelah puas dengan apa yang Ririn lakukan pada Renjana, Ririn pergi begitu saja ke lantai atas me-ninggalakan Renjana yang masih menahan sesak dalam hatinya, para pembatu yang melihat Ririn, tak berani membantu Renjana meski dalam benak mereka ingin sekali membantu Renjana dan menyemangatinya.
Dengan perlahan, Renjana mulai berdiri dan naik ke lantai atas, di mana kamarnya terletak. Ia membuka pintu kamarnya dengan perlahan, bahkan tanpa mengganti pakaiannya yang basah dan Renjana memilih untuk mengistirahatkan mental dan raganya untuk hari esok.
Ibu, Reina, kakak capek!
Ucap Renjana dalam benaknya sebelum ia benar-benar terlelap mengunjanagi kehidupan yang menurutnya lebih indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ √ ] AMERTA ¦ Ft Huang Renjun
Fanfiction"....Amerta berarti abadi, sama seperti takdir tuhan untuk Renjun" "Pa? Renjun mau makan malem bareng papa lagi boleh?" Menceritakan kepahitan hidup yang ditakdirkan pada Huang Renjun, putra haram dari sang ayah membuat Renjun harus merasakan pahitn...