NODA (End)

1.6K 100 31
                                    

"Jika aku dapat memutar waktu, aku berharap tidak bertemu denganmu."
.
.
.
TSUKISHIMA

    "Bagaimana Tuan? apakah sudah sesuai dengan yang anda harapkan?" ujar seorang pria tua yang harap-harap cemas menghadapi diriku. Aku menepuk pundaknya dan mengangguk. Ia sangat bahagia dan segera membungkuk lalu pergi. Kulihat kaki dan tangan porselen yang kupesan sendiri. Sedangkan yang satu lagi terbuat dari robot.
    "Kuharap Yams menyukai hadiah dariku." monologku sendiri. Aku membawa dua pasang kaki dan tangan yang berbeda jenis itu dengan riang. Aku sampai pada pintu besar berwarna putih gading. Kubuka perlahan dan di sana, Yamsku tercinta sedang termenung dan menghadap jendela. Kudekati dirinya dan kupanggil namanya.
    "Yams?"
    "Pergi–"
    "Yams? ini aku Tsuk–"
    "PERGI JANGAN SAKITI AKU PERGI HUWAAAAAAAAA."
    Aku memeluk dirinya yang kejang dan histeris. Air mata tak lagi sanggup kubendung. Aku berteriak memanggil dokter pribadiku dan ia segera menyuntikkan obat penenang untuk Yams. Ini semua salahku. seandai kata dia tidak bertemu denganku. nasibnya tidak akan seperti ini. Kuusap lembut kening orang yang kucintai dan mengecupnya lembut. ia memang tidak bisa lagi berjalan atau pun memegang diriku. namun aku akan menggendong dirinya sampai akhir hidupku.
    Ketukan dari pintu membuatku kembali kepada realita. Di sana pelayanku memberitahuku jika Kageyama datang berkunjung. Aku merapikan pakaianku dan segera turun. Kageyama bagaikan pasien rumah sakit jiwa yang lepas dari bangsalnya. Ia sudah seperti orang gila. Aku mengerti perasaannya. Aku cukup beruntung saat Yams masih bisa sadar. Sedangkan Hinata terbaring koma. Entah kapan ia akan tersadar. Kageyama yang rambutnya mulai memanjang itu ia biarkan terurai. Wajahnya sudah seperti orang yang tidak dikasih makan. Pucat bagai dracula. Sungguh miris.
    "Hey... bagaimana perkembangan Yama."
    "Aku berterimakasih karena kau sudah mau memperdulikan Yams... tapi kau sendiri juga butuh perhatian dari orang lain." aku masih setia menunggunya berbicara. Tatapannya kosong dan jari pucatnya hanya diam memegangi teh yang kusiapkan.
    "Kageyama? oi Tobio!"
    "...."
    "Hah.... kau tahu, Hinata akan sangat sedih ketika melihat dirimu yang seperti mayat berjalan."
    Keheningan  melanda cukup lama. Ia berdiri dan ingin melangkahkan kaki dari rumahku. Aku menariknya dan memaksa Kageyama untuk menatap mataku.
    "Kau ini kenapa?! Apakah menurutmu Hinata akan senang melihatmu begini hah?! jawab aku! aku tahu perasaanmu. Tapi kita hanya bisa berharap yang terbaik untuk mereka! kalau kau sudah menyerah, SIAPA LAGI YANG DIHARAPKAN HINATA?!"
    Aku melihat bulir air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya. Aku tahu ini berat untuk dihadapi. Tapi kita tidak sendiri. Orangtua mereka juga sangat sedih dan terpuruk. Sahabat mereka, kerabat, dan orang-orang disekitar juga terpuruk. Namun mereka berusaha bangkit. Tanpa sadar aku memeluk Kageyama. Butuh keajaiban untuk membuat mata Hinata terbuka.
.
.
.
.
KAGEYAMA

    "Aku kembali sayang."
    Memandang sedih wajah yang sangat kukasihi itu. Terbaring lemas tidak berdaya. Kupikir, aku dapat membuatnya bahagia. Namun nyatanya tidak. Tubuhnya penuh dengan luka. Kusentuh wajah pucatnya yang masih menghembuskan nafas. Namun tanpa bantuan alat yang terpasang di tubuhnya, Shoyo tidak akan dapat terselamatkan. Aku menangis melihat keadaan kekasihku yang berawal dengan tubuh cantik, namun kini ia bagaikan boneka Chucky. Kupeluk dirinya dan kubisikkan kalimat ini setiap harinya. Berdoa agar dirinya kembali pada pelukannku.

    "Aku mencintaimu, aku menunggumu."

.

.

.

.

SETAHUN KEMUDIAN

    Jika melihat janji hidup kalian menderita, tentu saja batin tersiksa. Menyisakan noda yang kasat mata dan yang tidak kasat mata. Sudah setahun dan Yamaguchi memiliki perubahan pada dirinya. Ia sudah mau makan tanpa obat penenang dan yang harus menyuapinya adalah Tsukishima. 

Fear Not Fear (Kagehina)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang