E P I L O G

10.5K 580 54
                                    

Derasnya hujan yang baru saja turun, menyisakan jalanan dan rerumputan yang basah. Semilir angin yang menerpa kulit, masih terasa begitu dingin. Derap langkah dari sepasang manusia yang berjalan beriringan, menciptakan alunan nada yang mengisi kehening yang sebelumnya menguasai. Suasana sore hari pun kian kentara, ketika cahaya matahari di ufuk barat mulai mengintip di balik lebatnya gumpalan awan berwarna kelabu.

Hingga akhirnya langkah sepasang manusia itu terhenti, di sebuah gundukan yang di atasnya bertuliskan nama seseorang.

"Assalamualaikum. Aku hari ini datang. Aku juga membawakan bunga buat kamu. Semoga kamu suka ya." ucap Nadhifa yang kini tengah berjongkok di samping makam.

Nadhifa lantas menaburkan bunga di sepanjang gundukan itu dan meletakkan buket bunga mawar putih disamping batu nisan. Gadis itu terdiam, menatap lekat tulisan yang ada disana.

"Sudah 10 bulan berlalu sejak kamu pergi," ucap Nadhifa, lalu menghela nafasnya.

"Hari ini." Dia menoleh ke samping, menatap laki-laki yang juga tengah berjongkok tepat di sebelahnya. "Sahabatmu, telah resmi menjadi suamiku." lanjutnya.

"Aku telah menikah. Menikah dengan seseorang yang kamu bilang sangat cocok denganku. Seseorang yang kamu bilang adalah pesaingmu. Seseorang yang kamu bilang laki-laki yang aku cintai."

"Aku menikah dengannya, Mas. Aku menikah dengan Albar sahabatmu. Albar yang kamu tuliskan dalam suratmu ketika kamu tengah berjuang melawan penyakitmu. Albar yang juga menjadi masa lalu ku."

Air matapun akhirnya tak mampu terbendung lagi, membasahi kedua pipi Nadhifa, yang lantas dengan lembut diseka oleh Albar--suaminya.

"Biarkan aku yang sekarang menyapa Ridwan." Nadhifa menganggukan kepalanya.

"Assalamualaikum, Wan. Gue Albar."

"Makasih, Wan untuk segala baikan lu. Makasih karena lu masih sempat memikirkan perasaan gue. Makasih lu udah mencemaskan keadaan gue, hingga akhirnya lu pergi ketika lu nyusulin gue. Makasih banyak, Wan."

Albar menatap lekat ke arah Nadhifa.

"Sekarang Nadhifa jadi istri gue, gadis yang sama-sama kita cintai itu sekarang menikah sama gue. Gue gak tau apa yang lu katakan tentang gue ke dia. Tapi gue yakin lu gak akan menjatuhkan nama gue hanya untuk mendapat dia. Lu adalah laki-laki terhebat dan gue gak bisa berkata-kata lagi untuk memuji kehebatan lu."

"Wan... gue sadar kalau gue masih banyak kekurangan. Tapi gue janji akan jaga dia, Wan. Gue akan selalu mencintai dan terus berusaha membahagiakan dia. Gue akan berusaha sesuai surat yang lu titipkan ke orang tua lu buat gue. Gue gak akan pernah lupain lu. Lu adalah salah satu sahabat terbaik gue dan akan seterusnya begitu. Makasih banyak, Wan."

"Dhif..." panggil Albar, membuat Nadhifa yang sebelumnya menunduk akhirnya menoleh ke arahnya.

"Kita doakan Ridwan bersama-sama."

Nadhifa menyetujui. Lalu mengambil tasbih dari dalam tas yang dia bawa. Albar melihat hal itu, dan melirik selama beberapa detik tasbih tersebut.

"Itu tasbih kamu?" tanya Albar.

"Iya."

Albar yang mendengar hal itu menganggukan kepalanya beberapa kali. Lalu mengajak Nadhifa untuk mulai mendoakan Ridwan.

"Wan, gue sama Nadhifa pamit dulu. Gue harap, lu bahagia disana." ucap Albar setelah selesai berdoa.

"Kita pulang ya, Mas. Assalamualaikum."

Keduanya akhirnya berdiri. Berjalan pergi meninggalkan area pemakaman.

"Kita ke bandara sekarang?" tanya Albar ketika keduanya sudah berada di dalam mobil.

Takdir Bertasbih [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang