Rendra OSIS
Cek grup angkatan sekarang!
Davino mengernyitkan keningnya bingung saat membaca pesan yang masuk sepuluh menit lalu ke ponselnya. Namun, melihat tanda seru di akhir pesan tadi, rasa penasaran menyerangnya. Dia pun keluar dari ruang obrolannya dengan Rendra dan menggulir ke bawah mencari grup angkatannya.
"Buset! 532 pesan pada gosip apaan?' decaknya saat melihat angka di samping nama grup. Grup angkatannya memang hanya akan ramai jika ada acara sekolah atau gosip saja, selain itu, grup sudah mirip kuburan.
Ponselnya bergetar lagi. Rendra kembali mengiriminya pesan.
Dav, itu yang di grup bener, nggak?
Davino semakin bertambah bingung. Buru-buru dia membuka grup angkatan. Matanya membola seketika saat membaca satu per satu pesan di grup. Napasnya memburu, pun genggaman pada ponselnya menguat.
"Sialan!"
Dinding tak bersalah di sebelahnya seketika jadi korban. Menciptakan luka kemerahan di ruas-ruas jari saking kuatnya emosi yang dilampiaskannya. Deru napasnya memburu. Tanpa memedulikan nyeri di tangannya, Davino menyambar tas di atas meja belajar dan keluar kamar dibarengi suara bantingan pintu. Dia berlari menuruni anak tangga.
"Davino!"
Panggilan itu berhasil menghentikan Davino di samping motornya. Raut wajahnya perlahan berubah mengetahui siapa pemilik suara itu. Dia segera menyembunyikan tangan kirinya ke saku jaket sebelum kemudian berbalik.
"Bunda kenapa lari-lari?"
"Kamu ini malah nanya kenapa? Gara-gara kamu dipanggilin dari tadi nggak jawab, malah pergi gitu aja. Sarapan enggak, pamit juga enggak! Mau jadi anak durhaka kamu?"
"Enggak, Bun. Maaf, tadi aku buru-buru, lupa nggak pamitan."
"Ya udah, tapi awas jangan diulangin lagi, ya? Kalau mau keluar harus pamit sama orang rumah. Nih, Bunda udah siapin bekal buat kamu makan di sekolah." Santi memberikan tas bekal pada Davino. Laki-laki itu menerimanya.
"Loh, ini kok isinya tiga kotak, Bun? Dibagi sama Rendra?"
"Yang dua buat kamu, sekalian nanti buat makan siang biar nggak jajan di kantin. Tapi kalau kamu mau bagi sama Rendra juga nggak apa-apa. Yang satunya lagi, tolong kamu kasih ke Daisy, ya? Bunda pengin orang yang kamu suka bisa ngerasain masakan Bunda."
Mendengar nama Daisy disebut, raut wajah Davino kembali berubah. Genggaman tangan di tas bekal itu semakin kuat. Davino hanya mengangguk singkat dan berpamitan kepada Santi. Dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi padahal pagi itu jalanan sedang ramai-ramainya. Dia bahkan tidak peduli jika nanti terkena tilang, yang jelas saat ini dia harus segera sampai di sekolah. Ada seseorang yang harus dia temui.
Sampai sekolah, Davino segera memarkirkan motornya dan langsung masuk ke gedung jurusan IPA. Dia melangkah cepat di koridor, tak peduli sudah berapa murid yang ditabraknya. Namun, seiring langkah kakinya, balasan-balasan pesan di grup angkatan tadi terus terngiang di benaknya. Begitu juga dengan kalimat-kalimat makian yang tidak bisa dia hindari setiap langkahnya.
"Nggak nyangka, ya ternyata dia pembohong."
"Bilangnya tinggal sama saudara, nggak taunya ternyata anak angkat pemilik yayasan."
"Mentang-mentang orang tuanya meninggal terus diangkat jadi ajak pemilik yayasan, jadi gitu deh. Sok cool."
"Katanya orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Bener nggak, sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Daisy [COMPLETED]
Teen Fiction[Wattpadindo Writing Challenge 2020 Winner] Dia pergi. Kepergiaannya turut membawa serta kebahagiaan Daisy. Harapan-harapan yang sudah ia rancang pun turut lenyap seketika. Bahkan pergantian tahun yang harusnya dirayakan dengan bahagia, justru diray...