"Kenapa sih lo suka banget sendirian di sini?"
"Lo lagi. Ngapain lo di sini?" Daisy tidak habis pikir dengan Davino. Hari masih pagi, tapi dia sudah bertemu dengan laki-laki setengah gila itu. Benar-benar mimpi buruk!
"Pertanyaan gue belum lo jawab, Day."
"Pertanyaan gue juga belum lo jawab."
Tidak ingin membuat keributan di pagi hari, Davino pun mengalah. Dia menjawab pertanyaan Daisy lebih dulu. "Oke, gue ke sini karena lo di sini," aku Davino. "Jadi sekarang, ganti lo jawab pertanyaan gue. Kenapa lo suka di sini?"
"Bukan urusan lo, kenapa gue suka di sini."
"Tempat ini emang adem, sih, cocok kalau buat refreshing tipis-tipis. Apalagi pohon ceri dan bunga-bunga di sebelah sana, bikin tempat ini rindang dan udaranya jadi segar juga. Sekolah pintar banget nata lahan," terang Davino seperti pemandu wisata yang menjelaskan tempat tujuannya kepada para wisatawan.
"Tapi, kayaknya lo belum pernah ke sini waktu hujan, ya?" Lagi, laki-laki yang bersandar pada pilar depan perpustakaan tersebut bertindak seperti pemandu wisata. "Di cuaca biasa kayak gini, tempat ini emang udah nyaman. Tapi menurut gue, tempat ini bakalan lebih bikin nyaman saat hujan."
"Kok bisa?" Namun, detik berikutnya, Daisy membungkam mulutnya sendiri. Dia merutuki pertanyaannya barusan. Sekarang, Daisy yakin Davino pasti akan senang karena pancingannya berhasil.
Kedua ujung bibir Davino tertarik ke atas. "Bisa. Karena di sini sepi, cuma ada gue dan suara hujan. Jadi, kayak bebas aja ngelakuin apa pun tanpa peduli orang lain bakalan tahu. Biasanya gue ke sini kalau pas lagi banyak pikiran aja."
"Lo ke sini pas lagi banyak pikiran?" ulang Daisy.
"Iya."
"Berati sekarang lo lagi banyak pikiran?"
Lagi, Daisy merutuki apa yang baru saja dilakukannya. Bisa-bisanya mulutnya kembali lepas kendali gara-gara pancingan laki-laki itu.
"Ternyata lo kepo juga, ya." Davino terkekeh.
"Nggak perlu dijawab. Anggap aja gue nggak pernah nanya itu," jawab Daisy. Gadis itu meraih tasnya, lalu bangkit.
"Mana bisa kayak gitu? Itu tadi pertanyaan dan pertanyaan harus dijawab."
"Tapi, nggak semua pertanyaan harus dijawab." Gadis itu menata langkahnya, tanpa peduli Davino yang kini berbalik menghadapnya.
"Iya, gue lagi banyak pikiran dan lo yang bikin beban pikiran gue bertambah."
"Dasar gila!"
Tanpa memedulikan Davino lagi, Daisy berjalan cepat di koridor lalu menaiki tangga dengan setengah berlari. Daisy tidak mau Davino menyusulnya seperti kejadian minggu lalu dan membuat banyak pasang mata menatap penasaran pada mereka. Daisy tidak suka menjadi pusat perhatian.
Sekalipun Daisy terlihat cuek dengan sekitar, tapi tetap saja jika ada sesuatu yang menyangkut dirinya, Daisy tidak akan bisa tenang. Pikirannya selalu bercabang ke mana-mana apalagi saat sedang sendirian.
"Day! Baru aja gue mau samperin lo ke perpus, eh lo udah muncul duluan. Mana tugas Kimia lo? Gue pinjam," todong Kia begitu Daisy tiba di bangkunya.
Daisy berdecak, tapi tetap mengambil buku tugas Kimia di tasnya dan menyerahkannya pada Kia. "Emangnya lo nggak belajar?"
"Belajar kok. Tapi pas baru baca soalnya, udah keburu ngantuk duluan. Makanya, gue nggak sempat ngerjain." Kia terkekeh pelan. Tangannya bergerak cepat mengambil buku dan alat tulisnya, kemudian sibuk menyontek tugas Daisy.

KAMU SEDANG MEMBACA
Daisy [COMPLETED]
Teen Fiction[Wattpadindo Writing Challenge 2020 Winner] Dia pergi. Kepergiaannya turut membawa serta kebahagiaan Daisy. Harapan-harapan yang sudah ia rancang pun turut lenyap seketika. Bahkan pergantian tahun yang harusnya dirayakan dengan bahagia, justru diray...