Daisy - 20

496 95 47
                                    

Sejak insiden Daisy memergoki Hendra di taman dua minggu yang lalu, intensitas pertemuan mereka semakin berkurang. Bahkan ini lebih parah daripada sebelumnya. Hendra tidak pulang ke rumah—ralat, mungkin belum. Daisy masih belum tahu apakah emosi Hendra sudah mereda atau belum, tapi sepertinya kemarahan pria itu sudah mulai mereda. Terbukti, Hendra masih menanyakan tentang kabarnya melalui pesan atau panggilan suara. Namun, saat Daisy balik menanyakan keadaannya, Hendra tidak menjawab. Hendra hanya mengatakan bahwa dia sedang sibuk bekerja dan Daisy tidak perlu mengkhawatirkannya.

Hal itu membuat rasa bersalah Daisy semakin besar mengingat sikapnya waktu itu yang sangat tidak sopan. Meski dalam hatinya masih dipenuhi rasa kecewa, tapi Daisy berusaha menurunkan egonya. Bagaimanapun juga pria itu adalah papanya sendiri.

"Kalau aja ada pilihan, gue bakalan lebih milih jadi anak broken home yang setidaknya dengan begitu gue masih bisa melihat orang tua gue daripada jadi anak yatim piatu."

Ucapan Davino kembali terlintas di ingatannya. Daisy seharusnya bersyukur tidak pernah berada di posisi laki-laki itu—mungkin belum, karena kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput. Setidaknya, dia lebih beruntung karena masih bisa melihat orang tuanya, tidak seperti Davino yang kehilangan orang tuanya.

Makanya saat tadi pagi Hendra menelepon dan mengatakan sedang ada di kantor, Daisy langsung memasak—dibantu Bi Asih—memasak beberapa menu makanan dan mengantarkannya lewat jasa ojek online. Sebenarnya, Daisy ingin mengantarkannya langsung, tapi Hendra melarangnya ke kantor. Daisy tidak ambil pusing. Baginya, tidak apa karena itu sudah cukup melegakan. Setidaknya masih ada secercah harapan untuk papanya bisa luluh dan keluarganya bisa kembali seharmonis dulu. Dengan begitu, dia bisa melunasi hutangnya pada Kia.

Berbicara soal Kia, Daisy jadi teringat ucapan Davino di depan perpustakaan saat hujan deras waktu itu. Tentang Davino yang meminta nomornya pada Kia dan Kia memberikannya begitu saja. Sungguh, yang satu ini Daisy penasaran kenapa Kia melakukan hal itu, padahal seharusnya Kia tidak melakukannya. Daisy perlu penjelasan langsung dari Kia.

Namun, hal itu terpaksa Daisy tunda karena sudah beberapa hari ini gadis itu tidak mampir ke rumahnya. Padahal biasanya setiap hari atau minimal dua hari sekali Kia main ke sini. Mau bertanya di sekolah, Daisy mengurungkannya karena melihat raut wajah Kia yang tidak seceria biasanya. Aneh, Daisy bahkan baru kali ini melihat Kia seperti itu ... atau mungkin memang Daisy yang terlalu tidak peka dengan perubahan sahabatnya.

"Lo bilang kalau sahabat itu tempat berbagi, tapi lo nggak pernah berbagi cerita sama gue," sindir Daisy pada gadis berkaus biru dengan celana selutut yang masih fokus menonton sinetron di ruang tengah.

"Gue nggak apa-apa, Day. Lo tenang aja," jawab Kia santai. Gadis itu baru saja menghabiskan semangkuk soto ayam buatan Bi Asih.

Daisy mencebik. "Mana ada orang nggak apa-apa, tapi datang ke rumah gue dengan penampilan acak-acakan kayak tadi? Ngaku lo, kenapa? Lo nggak lagi kabur karena dijodohin Bokap lo, kan?"

"Sembarangan kalau ngomong. Ya, enggaklah!"

Sejujurnya, Daisy masih kaget sekaligus penasaran dengan apa yang sedang dialami Kia. Bagaimana tidak, satu jam lalu, Kia mengetuk pintu rumahnya dengan penampilan acak-acakan. Gadis itu hanya memakai stelan baju tidur lengan panjang bermotif beruang, rambut dicepol asal, dan kedua tangannya yang masing-masing memegang sikat gigi dan sandal jepit. Oh, jangan lupakan cengiran gadis itu saat dengan entengnya berkata, "Gue numpang mandi, ya, lagi kabur soalnya. Sekalian numpang makan juga."

"Terus lo kenapa?" tanya Daisy lagi setelah Kia kembali dari dapur mencuci mangkuk kotornya tadi.

"Udah dibilang gue nggak apa-apa, masih aja nanya," gerutu Kia seraya mengambil stoples makaroni pedas di meja.

Daisy [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang