Hai, apa kabar hari ini?
Selamat hari Sabtu dan selamat membaca.Ada satu perumpamaan terkenal yaitu dunia itu selebar daun kelor. Ya, daun kelor. Lebar sekali, bukan?
Saat kita sudah berjalan ratusan atau mungkin ribuan kilometer, tetap saja dunia mempertemukan kita dengan orang-orang yang kita kenal. Tidak peduli jika orang-orang itu termasuk dalam kategori paling kita hindari.
Seperti saat ini, orang yang paling Daisy hindari justru malah berdiri di depannya. Seorang laki-laki yang memakai kaos lengan pendek berwarna putih dan celana jeans hitam selutut, menyunggingkan senyum pada kedua gadis di hadapannya.
"Nggak nyangka, ya kita bisa ketemu di sini, biasanya kan kita ketemu di perpus." Davino terkekeh. "Terus ini kalian ngapain? Antre?"
"Punya mata, kan?"
Refleks Kia menyenggol lengan Daisy dan melayangkan tatapan tajam pada gadis itu, tapi Daisy seolah tak peduli.
"Iya, maaf-maaf," ucap Davino kikuk seraya mengusap bagian belakang rambutnya. Pandangannya lalu beralih pada Kia. "Lo temannya Daisy yang waktu itu di perpus, kan?"
Kia mengangguk cepat, tak menyangka Davino masih mengingatnya. "Iya, gue temannya Daisy. Kenalin, nama gue Kia." Gadis itu mengulurkan tangan kanannya yang langsung disambut oleh Davino.
"Hai, Kia. Lo kenal gue, kan? Gue Davino."
"Se-antero TB juga tahu kali kalau lo Davino. Nggak usah pakai kenalan lagi."
Tawa Davino lagi-lagi terdengar. "Iya, sih. gue seterkenal itu ternyata."
"Sok tenar," cibir Daisy tanpa mengalihkan pandangan dari layer ponsel.
"Ya kan gue emang tenar, Day," balas Davino dengan bangganya.
"Sombong!"
"Gue nggak sombong, Day. Faktanya gue emang terkenal di TB. Iya kan, Kia?" Pertanyaan Davino langsung dihadiahi anggukan oleh Kia.
"Ya, terserah lo."
"Kenapa, sih? Lo takut ketenaran gue bikin posisi lo terancam?" Jeda. Diliriknya gadis yang duduk beberapa langkah darinya. "Lo tenang aja, nggak perlu takut posisi lo terancam. Gue cuma tenar karena ganteng dan jadi wakil ketua OSIS doang, bukan tenar karena pinter kayak lo. Nih ya, gue kasih tahu. Otak gue tuh nggak muat kalau tiap hari dijejelin rumus terus, bisa meledak nanti."
Daisy menarik napas kesal. Lihat kan sikap menyebalkannya muncul lagi.
"Oh."
"Oh? Gitu doang?" tanya Davino, merasa tak terima dengan jawaban gadis itu. Apa-apaan dirinya sudah menjelaskan panjang lebar begitu, masa cuma dijawab dengan dua huruf saja?
"Maksud gue, lo kan bisa basa-basi dulu. Nanya balik ke gue gitu."
"Nggak minat."
"Hah, yakin nggak minat? Penawaran khusus buat hari ini aja loh dan nggak dipungut biaya alias gratis. Masa lo nggak minat?" Nada bicara Davino persis mbak-mbak marketing.
"Gila!"
Davino baru akan merespons ucapan Daisy, tapi deheman Kia menginterupsinya. "Mohon maaf, Mbak, Mas. Di sini masih ada orang loh, ya."
Daisy berdecak kesal. Daisy yakin Kia pasti berpikiran yang tidak-tidak tentang dirinya dan Davino. Rasanya dia menyesal sudah tanpa sadar meladeni omongan laki-laki yang kewarasannya masih dia ragukan.
Daisy tidak habis pikir, ibunya Davino dulu ngidam apa sampai-sampai punya anak yang kelewat percaya diri seperti Davino dan dengan bangganya memuji diri sendiri. Bukankah sesuatu yang berlebihan itu tidak baik?
![](https://img.wattpad.com/cover/149428577-288-k984465.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Daisy [COMPLETED]
Teen Fiction[Wattpadindo Writing Challenge 2020 Winner] Dia pergi. Kepergiaannya turut membawa serta kebahagiaan Daisy. Harapan-harapan yang sudah ia rancang pun turut lenyap seketika. Bahkan pergantian tahun yang harusnya dirayakan dengan bahagia, justru diray...