Motor Daisy berhenti di depan sebuah rumah dua lantai bercat putih. Bagian depan rumah terdapat taman kecil dengan kolam ikan yang bagian atasnya dibuat berundak seperti air terjun. Di sisi kiri rumah terdapat garasi. Setelah menutup pagar dan memarkir motornya di depan garasi, Daisy melangkah masuk.
Suasana sunyi pun terasa sesaat setelah pintu rumah dibuka. Rumah ini seolah tidak berpenghuni. Melewati ruang tamu, Daisy langsung menuju tangga, naik ke kamarnya di lantai dua. Daisy lelah dan tubuhnya sudah terasa lengket. Ditambah lagi seharian ini otaknya dipaksa berpikir keras, membuatnya ingin segera menyegarkan tubuhnya.
Namun, baru kakinya menginjak anak tangga kedua, suara langkah kaki seseorang menghentikan langkah Daisy. Gadis itu berbalik dan mendapati Bi Asih—Asisten Rumah Tangga—menghampirinya. Bi Asih menatapnya ragu.
"Ada apa, Bi?" tanya Daisy karena Bi Asih tak kunjung berbicara.
"Hmm, anu, Non ... maaf. Ibu belum makan dari tadi siang. Bibi udah berkali-kali bujuk Ibu, tapi Ibu tetap ndak mau makan. Katanya, nunggu Non Daisy pulang," jelas Bi Asih dengan logat Jawa yang khas.
Daisy menghela napas. "Sekarang Mama di mana, Bi?"
"Ibu ada di ruang tengah, Non."
Mendengar jawaban Bi Asih, Daisy langsung menuju ruang tengah. Sampai di sana, Daisy menemukan seorang wanita yang umurnya sudah kepala empat sedang duduk di kursi roda. Layer televisi di hadapannya menyala, tapi fokus wanita itu bukan ke sana, melainkan paada sebuah pigura yang berada di tangannya. Pigura itu berisi foto seorang anak kecil berambut sebahu, memakai baju bermotif bunga, dan bando berwarna pink, sedang tersenyum ke arah kamera.
Daisy menatap Sarah dalam diam. Mendadak Daisy merasa pasokan oksigen di sekitarnya tiba-tiba lenyap. Hatinya seperti tersayat ribuan belati setiap kali melihat pemandangan ini. Daisy tidak kaget, hanya saja kadang dia berpikir ...
... kenapa harus gue? Kenapa nggak orang lain aja?
Sebulir air mata pun jatuh di pipi Daisy, tapi dia segera menghapusnya. Tidak, dia tidak boleh menangis. Bagaimanapun juga dia harus kuat. Ini semua demi wanita yang memunggunginya ini.
Daisy menghampiri Sarah, lalu menggeser kursi rodanya ke samping sofa. Tangan Daisy mengusap lembut punggung tangan wanita itu. Sarah mendongak, tersenyum tipis tanpa berkata apa-apa.
"Ma," panggil Daisy lembut. "Mama udah makan?"
Alih-alih menjawab, Sarah justru menunjuk foto yang dibawanya. "Kangen."
Hanya satu kata, tapi berhasil membuat pertahanan Daisy runtuh. Daisy memalingkan wajahnya ke arah lain dan mengusap air matanya kasar. Daisy berusaha memaksakan seulas senyum.
"Iya, Adik juga pasti kangen sama Mama. Mama mau jenguk Adek?"
Sarah mengangguk.
Daisy mengusap punggung tangan wanita itu. "Kalau Mama mau jenguk Adek, Mama harus sehat dulu. Kalau belum sehat nanti yang ada Adek jadi sedih lihat Mama kayak gini. Mama nggak mau kan lihat Adek sedih?"
Lagi, Sarah mengangguk.
Sebenarnya, Daisy tidak tega melihat kondisi Sarah yang seperti ini sejak kepergian Lily. Sarah berubah total. Sehari-hari wanita itu hanya duduk di kursi roda sambil menatap foto anak bungsunya. Jika diajak bicara, hanya dijawab anggukan atau gelengan kepala saja. Namun, kadang juga dijawab singkat seperti; iya, enggak, atau mau.
"Kalau gitu Mama harus sehat biar Adek nggak sedih lagi. Mama nggak boleh sedih-sedih lagi. Mama harus banyak makan juga biar cepat sehat, ya?" terang Daisy seraya mengulas senyum manisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daisy [COMPLETED]
Teen Fiction[Wattpadindo Writing Challenge 2020 Winner] Dia pergi. Kepergiaannya turut membawa serta kebahagiaan Daisy. Harapan-harapan yang sudah ia rancang pun turut lenyap seketika. Bahkan pergantian tahun yang harusnya dirayakan dengan bahagia, justru diray...