Daisy sangat menghindari makan melewati pukul delapan malam. Bukan karena diet, tapi karena dia memang tidak suka. Setiap makan di atas pukul delapan malam, dia justru tidak bisa tidur, padahal kebanyakan orang akan langsung mengantuk setelah makan. Daisy akan terjaga malam-malam sampai dia benar-benar mengantuk, baru dia bisa tidur. Makanya, Daisy menghindari hal ini. Selain karena waktu tidurnya jadi berkurang, pagi harinya dia pasti akan lebih sering mengantuk.
Namun, sekarang Daisy tidak bisa mengelak kalau perutnya meronta minta jatah makan. Tadi setelah makan malam, dia langsung mengerjakan tiga lembar soal Matematika yang jawabannya dua kali lipat dari lembar soal. Ya, enam lembar jawaban untuk tiga lembar soal. Dan karena soal-soal itu, alhasil membuatnya kelaparan. Sayangnya, stok mie instan di rumah kosong dan dia butuh makanan berkuah untuk memulihkan tenaganya. Jadi, Daisy terpaksa pergi ke warung Pak Wiryo. Sebelum pergi, dia minta Bi Asih untuk menjaga mamanya.
Tiba di warung Pak Wiryo, Daisy langsung memesan tiga porsi mie kuah yang pedasnya sedang. Keadaan warung yang sudah dipenuhi pembeli yang makan di tempat, membuat Daisy memilih menunggu pesanannya di depan. Beruntung masih tersisa tiga kursi kosong jadi dia tidak perlu capek berdiri. Dua kursi sisanya, kemudian diduduki oleh seorang wanita berkerudung biru bersama seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia empat tahun. Anak kecil yang justru mengingatkannya dengan Lily. Mereka sama-sama lucu dan menggemaskan.
Bosan, Daisy mengambil ponselnya. Jemarinya bergerak lincah di layar. Tidak sampai dua menit, ponsel di tangannya berdenting. Ada satu pesan masuk.
Sobat Bar-Bar
Gue lagi makan di luar. Kenapa, Day?
Nothing.
Sobat Bar-Bar
You okay?
Pesan balasan dari Kia masuk lagi, tapi Daisy hanya membacanya. Pandangannya menyapu sekitar, hingga tanpa sengaja netranya menemukan sosok yang sangat dikenalinya. Senyum yang tadinya merekah melihat tingkah anak kembar yang merengek minta balon, seketika berubah datar. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan tiba-tiba merasuki hatinya.
"Neng Daisy ini pesanannya udah siap."
Suara Pak Wiryo berhasil mengalihkan perhatian Daisy dari sosok itu. Daisy segera bangkit dan menyerahkan selembar uang berwarna biru kepada Pak Wiryo. Dan tepat saat dia akan berbalik, matanya justru beradu pandang dengan seseorang di dalam warung yang kini tengah menatapnya kaget. Daisy buru-buru memutuskan kontak mata mereka dan pergi.
Daisy tidak marah. Dia hanya ... sedikit kecewa. Ini jauh lebih sakit dibandingkan kejadian tadi siang.
"Daisy, tunggu!"
Sayangnya, Daisy tidak mengindahkannya. Daisy mempercepat langkah menuju motornya yang terparkir, tapi si pemilik suara menahannya. Daisy pun langsung menyentak kasar tangan tersebut dan bersiap pergi. Namun, lengannya kembali ditahan oleh laki-laki berkaus hitam.
"Lepasin!"
Daisy berusaha melepas cekalan tangan tersebut, tapi tidak bisa. Laki-laki itu masih tetap menahan lengannya. Matanya menatap tajam laki-laki di hadapannya ini. Tidak salah kalau Daisy menyematkan julukan setan untuk laki-laki itu. Lihat saja sekarang, laki-laki itu tiba-tiba saja muncul dan membuat sedikit kekacauan.
"Bentar, Day dengerin gue dulu. Semua nggak seperti yang lo lihat tadi. Lo salah paham, Day."
"Salah paham apa?"
"Iya, lo salah paham. Lo tadi lihat gue, tapi lo nggak nyapa dan malah pergi. Apa coba namanya kalau nggak salah paham? Please, Day jangan mikir macam-macam soal tadi, gue nggak bermaksud bohong ke lo. Gue serius sama apa yang gue bilang ke lo waktu itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Daisy [COMPLETED]
Teen Fiction[Wattpadindo Writing Challenge 2020 Winner] Dia pergi. Kepergiaannya turut membawa serta kebahagiaan Daisy. Harapan-harapan yang sudah ia rancang pun turut lenyap seketika. Bahkan pergantian tahun yang harusnya dirayakan dengan bahagia, justru diray...