Daisy - 4

949 161 32
                                    

"Jadi, bagaimana kondisi Mama, Kak?" tanya Daisy pada seorang wanita cantik berambut panjang yang bagian bawahnya sedikit bergelombang. Keduanya baru keluar dari kamar orang tua Daisy.

"Kondisi Tante Sarah sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya, Day. Kakak nggak nyangka kalau penyembuhannya bisa lebih cepat dari yang Kakak perkirakan. Asal obatnya diminum teratur dan mendapat support penuh dari orang terdekat, terutama keluarga, Kakak yakin Tante sarah pasti cepat sembuh," jelas Tania, sepupu Daisy sekaligus psikiater Sarah.

Setelah kejadian itu, kondisi Sarah memburuk. Sarah sering berteriak memanggil nama Lily lalu menangis hingga tertidur. Belum lagi, Hendra yang juga menyalahkan Sarah atas kematian Lily, membuat kondisi wanita itu semakin parah. Beruntung, di tengah masalah itu, Tania dengan sukarela menawarkan diri sebagai psikiater pribadi untuk Sarah.

"Aku minta maaf, ya jadi ngerepotin Kakak."

"Kamu nggak perlu minta maaf, Day. Ini sebagai bentuk rasa terima kasih Kakak kepada orang tua kamu. Mereka yang mengurus Kakak setelah Ibu meninggal dan membiayai sekolah Kakak. Kalau bukan karena orang tua kamu, Kakak nggak akan bisa jadi dokter seperti sekarang," ucap Tania saat itu.

"Sayangnya, Papa nggak pernah lagi peduli sama Mama, Kak. Yang ada di pikiran Papa itu cuma kerjaan dan wanita-wanita simpanannya. Nggak ada yang lain. Gimana bisa Mama dapat support penuh coba kalau sikap Papa aja kayak gitu?"

"Daisy, kamu nggak boleh kayak gitu. Kakak tetap harus menghargai Papa kamu. Maaf Kakak bukan bermaksud membela Papa kamu, tapi bagaimanapun juga beliau kerja itu untuk kamu dan Mama kamu, Sayang."

Tania mengetahui semuanya. Tanpa Daisy cerita pun, Tania tahu apa yang terjadi di keluarga ini. Dadanya terasa sesak setiap kali matanya menatap mata jernih Daisy. Sekilas, terlihat biasa saja. Namun, sebenarnya sorot mata itu meredup dan Tania tidak lagi menemukan binar bahagia yang terpancar di dalamnya. Seolah dengan sorot mata itu, Daisy menyampaikan bahwa dia sebenarnya lelah, tapi tidak bisa beristirahat.

"Buat apa aku menghargai orang yang nggak punya hati, Kak?"

"Day, dia Papa kamu—"

"Iya, aku tahu. Tapi mana ada orang yang punya hati lebih mentingin kerjaan dan wanita lain daripada istrinya sendiri yang lagi sakit? Nggak ada, Kak! Kalau emang Papa punya hati, harusnya Papa menghargai Mama dan selalu ada buat Mama, bukan malah selalu ada buat wanita lain."

Entah sejak kapan Daisy bisa seemosional ini ketika membicarakan pria yang katanya mencintai Sarah dalam suka maupun duka. Nyatanya sekarang kata cinta itu hanya omong kosong saja.

Tania terdiam. Semua yang diucapkan Daisy memang benar. Mau disangkal bagaimanapun tidak bisa karena faktanya memang seperti itu.

"Day, dengerin Kakak." Tania memutar tubuh Daisy supaya menghadapnya. "Kakak tahu kamu kecewa dengan sikap Papa kamu, tapi untuk sekarang, tolong kamu kesampingkan itu dulu, ya. Jangan sampai kamu menunjukkan kekecewaan kamu di depan Mama supaya kondisi beliau nggak semakin parah.

"Saran Kakak, kamu lebih baik fokus sama kesembuhan Tante Sarah dulu. Kalau memang Papa kamu beneran udah nggak peduli seperti kata kamu tadi, nggak apa-apa. Masih ada Kakak yang bisa gantiin posisi Papa kamu, kita bisa kasih dukungan penuh buat Mama kamu."

"Iya, Kak, aku ngerti. Maaf tadi udah marah-marah sama Kakak," ucap Daisy dengan tangan memegang gelas yang bagian luarnya berembun.

"Nggak apa-apa, Kakak tahu gimana perasaan kamu. Mungkin kalau Kakak yang ada di posisi kamu, Kakak udah nggak sanggup, Day. Rasanya pasti berat banget ngejalanin semua ini." Tania menghela napas. "Nggak tahu kenapa, Kakak tiba-tiba jadi ingat sama tetangga Kakak."

Daisy [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang