Crazy - 04

23.2K 1.9K 61
                                    

REIN melapisi foto itu dengan kain, sebelum menyembunyikannya di lemari bagian paling bawah, tempat ia biasa menaruh dalaman. Melihat Irin yang tampak jijik saat memandangi boxer-nya semalam, dia berpikiran kalau perempuan itu tidak akan mau repot-repot menggeledah tempat itu hanya demi mencari sebingkai foto.

Irin sekarang sedang mandi. Itu mengapa dia bisa menyembunyikan sesuatu tanpa harus khawatir perempuan itu akan tahu.

Rein mendesah kasar. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan mulai memejamkan mata setelah kedua tangannya dia jadikan bantal.

Apa yang akan mereka lakukan setelah ini?

Meneruskan pernikahan, jelas bukan sesuatu yang mudah, terlebih Irin terang-terangan tidak menginginkan pernikahan ini terjadi.

Rein mendesah kasar. Dua bulan ... apa dia bisa menahan diri untuk tidak menyentuh istrinya sendiri?

Benar, melakukan hubungan intim di antara suami istri memanglah wajar. Namun, jauh di dasar hatinya, dia tidak ingin memaksa hanya untuk bisa mendapatkan apa yang seharusnya memang menjadi miliknya.

Terlebih, Irin adalah orang yang sejak dulu menjadi cinta pertamanya. Dia tidak ingin membuat Irin memandangnya buruk setelah mereka berpisah nanti.

Rein mendesah lagi. Benar-benar sulit ....

Dering ponsel yang terdengar asing membuat Rein bangkit sembari mengernyitkan dahi. Jelas, dia tahu namanya privasi, tapi dia ingin mengetahui siapa yang sedang menghubungi sang istri.

Nama laki-laki di layar ponsel Irin membuat Rein mengangkat telepon tanpa berpikir dua kali.

"Rin, kenapa lo nikah nggak ada bilang-bilang ke gue? Katanya lo mau nikah sama gue, tapi apa kenyataannya, lo--"

"Kenyataannya sederhana. Dia nggak cinta sama lo, itu kenapa dia nggak jadi nikah sama lo."

Rein memutus sambungan sebelum tambah dongkol setengah mati. Benar, Irin dulunya punya banyak pacar.

Tentu saja, akan ada banyak laki-laki yang mendekati putri konglomerat seperti istrinya. Apalagi Irin memiliki paras yang mendekati sempurna. Siapa yang tidak akan tergoda untuk menjadikannya pendamping hidup untuk selamanya?

Bahkan Rein yang bersumpah hanya akan menyimpan perasaannya sampai kiamat pun pernah bermimpi untuk memilikinya.

Rein mendengkus. Dia benar-benar jadi milik gue sekarang, tapi gue nggak bisa ngerasa senang. Sama sekali.

"Kenapa lo megang ponsel gue?"

Rein menoleh, tanpa merasa bersalah dia menyodorkan ponsel itu kembali kepada pemiliknya. "Joan nelepon," katanya.

Irin mengernyitkan dahi sambil menerima ponselnya dengan pasti. "Ngapain coba dia nelepon gue lagi, dih?" Irin tampak sibuk menjalankan jemarinya di atas layar. "Lo angkat, nggak?"

Rein mengangguk. "Iya."

"Dia bilang apa?"

"Dia bilang, kenapa lo nikah nggak ada kabar-kabar, katanya lo janji mau nikah sama dia."

"Idih, ngaco! Siapa juga yang pernah bikin janji kek begitu." Irin mendesah lega. "Clear blokir nomor mantan."

"Segitunya? Nggak kasihan lo sama dia?" Rein mengernyitkan dahi curiga.

"Sama suami sendiri aja tega, sama mantan nggak tega. Lo pikir gue udah gila?" Irin mendengkus. "Lagian, gue nggak suka cowok kayak dia."

"Emang dia kenapa?"

Irin menatap Rein serius. "Kalian setipe, sih, jadi mending nggak gue kasih tahu, nanti lo juga ikutan sakit hati."

"Anjir!"

Irin tersenyum tipis. "Rein, apartemen Syila katanya di dekat sini, ya?"

"Kenapa emangnya?"

"Gue mau main, dong. Boleh, ya?" Irin menatap Rein dengan muka memelas yang sangat menggemaskan.

Rein mendengkus keras. "Main aja sana." Dia kembali menuju ranjang, lalu kembali rebahan.

Tidak ada kerjaan, memang. Dia cuti menikah seminggu, niatnya biar ada acara bulan madu segala macam, tapi buat apa bulan madu kalau kenyataannya cuma jalan-jalan doang bikin keturunannya kagak.

"Anterin dong, gue nggak tahu apartemennya yang mana. Ntar gue nyasar atau diculik sama orang gimana? Lo tega banget ngelepasin gue sendirian di tempat begini."

Rein sontak bangun dan memelototi istrinya. "Nggak usah ngaco kalau ngomong. Siapa juga yang mau nyulik cewek galak kayak lo?"

"Idih, gue kan imut dan cantik, pasti banyak yang mau nyulik gue buat dijadiin istri."

Rein memelototinya. "Jangan ngada-ngada, Rin. Yang kayak gitu nggak mungkin kejadian."

"Kan, siapa tahu, kan?"

Rein mendesah kasar. "Iyain."

"Serius, dih, anterin gue. Ntar kalau nyasar gimana?"

Rein mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Lo keluar dari apartemen ini, belok kanan, jalan lima langkah, terus ketuk pintu apartemen sebelah, dan tungguin sampai kebuka. Ntar lo dianterin sama dia ke apartemen Syila."

Irin sontak melotot. "Susah-susah amat, sih, lo! Apa salahnya langsung bilang di mana tempatnya ke gue?"

"Ntar lo nyasar, sama aja." Rein mendengkus. "Udah sana keluar lo, gue mau tidur." Rein kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.

"Dasar Kebo Porno!"

Rein menarik bantal, lalu menyembunyikan kepalanya di bawah bantal.

"Dasar suami nggak guna, disuruh nganterin istrinya ke apartemen adik sendiri aja, dia malah milih tiduran. Awas aja kalau gue bisa masak ntar, nggak akan gue bagi hasil masakan gue ke lo, biar lo mampus kelaparan!"

Rein yang masih bisa mendengar hanya menggumam pelan, "Lagian, apartemen cuma sebelahan begini minta dianterin, buat apa coba?"

____

buat sirkus, bang!

Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang