"RIN, lo mau bulan madu, nggak?"
Irin yang berniat memejamkan mata dan beristirahat begitu mereka sampai apartemen pun sontak membuka kembali matanya lebar-lebar. Irin menatap Rein.
Rein sedang duduk di lantai menggunakan kaki sebagai tumpuan, sambil menyangga kepala menggunakan kedua tangan yang berada di atas ranjang, dan menatap Irin dengan tatapan menghanyutkan.
Rein tersenyum manis. Senyuman yang malah membuatnya terlihat layaknya sedang mengejek Irin yang gagal beristirahat lagi hari ini.
"Harus gitu lo nanyanya sekarang? Kenapa nggak besok-besok aja? Kenapa harus sekarang coba?" tanyanya dengan rasa kesal menggerogoti hatinya.
Irin lelah. Dia cape luar biasa setelah semua yang mereka lakukan hari ini. Sejak pagi sampai siang, Rein terus mengajaknya bercinta. Lalu setelah itu, dia mengajak Irin pergi, masuk mall, belanja, makan siang, dan mereka tak kunjung kembali hingga petang.
Irin hanya ingin merebahkan badannya, memejamkan matanya, dan mengistirahatkan tubuhnya sebelum Rein kembali menggila dan mengajaknya bercinta. Bukannya dia tidak suka, tapi jujur dia tidak sanggup jika harus mengimbangi energi suaminya yang luar biasa.
"Mumpung gue inget dan lagi ada kesempatan. Jawab aja, lo mau atau enggak?" tanya Rein masih dengan senyum mengembang yang kelewat lebar di bibir seksinya.
Irin terdiam, menarik napas panjang, lalu mengembuskan napas secara perlahan. Bulan madu, ya? Mereka memang sudah menikah, pun sudah melakukan hubungan badan. Wajar saja jika Rein ingin mengajaknya bulan madu ke suatu tempat yang indah.
Irin pun sebenarnya punya banyak waktu luang. Dia hampir tidak punya pekerjaan lain selain kelayapan. Walaupun dia sudah dewasa dan anak satu-satunya di keluarganya, tapi baik ayah dan ibunya tidak pernah memaksa Irin untuk pergi bekerja. Bahkan mereka cenderung melarang Irin melakukannya.
Urusan perusahaan keluarga bisa diserahkan kepada siapa pun nantinya. Toh, keluarga mereka sangat kaya raya. Jadi tanpa Irin harus pergi bekerja atau mengurus perusahaan itu pun, kekayaan keluarganya masih lebih dari cukup untuk membiayai hidupnya bahkan anak cucunya kelak.
"Emangnya lo mau bulan madu ke mana?" Irin bertanya serius.
"Lo pengin ke mana?" Rein balik bertanya.
"Gue pengin keliling dunia." Irin memutar bola mata saat mengatakannya. "Bercanda."
"Serius juga nggak apa-apa." Rein tersenyum tipis. "Kita bisa mulai yang dekat-dekat dulu, terus ke luar negeri. Satu per satu kita kunjungi, mungkin setahun sekali bisa pergi bulan madu. Bisalah diatur kalau kayak gitu!"
Irin langsung mendelik mendengar ucapan Rein padanya. "Mau bulan madu apa liburan itu, hah?! Masa perginya setiap setahun sekali?"
"Ya, nggak apa-apa, kan? Mumpung masih muda dan masih punya kesempatan, jadi berangkat aja, ngapain ditahan?" Rein meresponnya dengan sangat santai.
Irin jaci ingin memukul kepala Rein untuk menyadarkannya, jika hal seperti itu tidak akan bisa berlangsung selamanya. Kalau mereka sudah punya anak atau ada masalah yang tidak bisa ditinggal, mana mungkin mereka bisa pergi bulan madu di tahun itu, kan?
Apalagi stamina tubuhnya yang sangat pas-pasan. Irin yakin, dia tidak akan sanggup melakukannya lagi di usianya yang sudah menginjak angka sekian.
Irin menggeleng tegas. "Gue cuma bercanda aja tadi, Rein. Gue mana sanggup jalan sejauh itu setiap setahun sekali. Astaga! Lo juga tahu sendiri stamina gue payah banget kalau urusan kayak gini."
"Nah, itu yang bikin gue penasaran!" Rein berdiri, lalu duduk di atas ranjang dan menatap Irin dengan wajah penasaran. "Sejak kapan stamina lo jadi payah banget gini? Perasaan dari dulu fisik lo selalu digembleng sama bokap lo yang galak itu, deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Marriage
RomanceBagi Rein yang selama ini menyimpan rasa suka pada sahabat masa kecilnya. Pernikahan ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan patut dicoba. Namun untuk Irin, pernikahan ini hanya akan menjadi percobaan belaka. "Kalau dua bulan kemudian gue nggak...