WALAUPUN dia sangat menginginkannya, tapi Rein tidak mau memaksa. Jadi, dia membiarkan Irin memutuskan sendiri kapan dia mau memberikan hak Rein sebagai suaminya.
Rein melepaskan tangan Irin dan ia tersenyum penuh makna. "Sekarang?"
Irin tampak menelan ludahnya susah payah. "Lo yakin mau sekarang?" Dia sepertinya masih meragukan keinginan Rein malam ini.
Rein mengangguk. Tentu saja dia yakin, karena memang sudah lama sejak terakhir kali dia menyalurkan hasratnya sebagai seorang pria, bahkan jauh sebelum Irin resmi menjadi istrinya.
"Oke, tapi pindah tempat dulu," pinta Irin sembari melirik sekitar. Tidak mungkin mereka mau melakukannya di sana, kan?
"Kenapa harus pindah tempat? Emangnya lo nggak mau nyoba suasana baru gitu?"
Pertanyaan itu dengan sukses membuat Irin memasang wajah dongkol setengah mati. "Lo mau ngelakuin di sini? Serius? Masa gue harus berdiri?"
Rein mengerjapkan matanya. Dapur apartemennya memang tidak terlalu besar, tapi itu bukan alasan bila tidak ada tempat menarik untuk dicoba. Misal saja meja barnya, dia ingin mereka melakukannya di sana. Dengan Irin yang tiduran di atas meja dan dia bergerak liar menghunjamkan miliknya. Namun, berdiri juga terdengar cukup menantang untuknya.
"Lo nggak sanggup, Rin?" Rein langsung menyeringai lebar saat mengatakannya. "Bilang aja kalau lo nggak kuat!"
"Argh! Iya, gue emang nggak kuat, astaga! Gue pasti kalah kalau soal urusan begituan, jadi gue nggak mau yang aneh-aneh! Gue maunya di kamar aja!" tolaknya mentah-mentah.
Rein mengangkat bahunya, lalu tertawa pelan menanggapi pengakuan blak-blakan dari istrinya. Untung dia sudah mengenalnya sejak lama atau mungkin dia bisa kena serangan jantung, karena untuk pertama kalinya ada wanita yang tidak malu mengatakan masalah-masalah seperti itu secara langsung.
"Nggak masalah kalau lo nggak mau. Gue juga nggak maksa. Kita pindah tempat, lo jalan dulu!" tanggap Rein kemudian.
"Hah?!"
"Apa lo mau digandeng atau digendong sekalian gitu?" tawarnya sambil menahan tawa.
Irin langsung mendelik dan menatapnya horor. "Gila, gue masih punya kaki, masih bisa jalan sendiri!" Irin pun berjalan pergi menuju kamar mereka selama beberapa hari terakhir.
Rein mengikuti langkahnya dari belakang, memperhatikan punggung istrinya yang tampak kecil dan lemah. Irin memang tidak banyak berubah. Walaupun usianya lebih dewasa, tapi secara fisik perempuan itu masih tampak layaknya anak SMA.
Rein mengatakannya bukan karena dia mencintainya, tapi memang begitulah kenyataannya. Walaupun dia tinggi dan tampak proporsional, tapi tinggi badannya masih terbilang normal. Dia tidak mewarisi gen ayahnya yang tinggi menjulang bak tiang listrik di pinggir jalan. Semua porsi yang ada di Irin begitu pas, tidak ada yang lebih ataupun kurang.
Tiba-tiba saja Irin menghentikan langkahnya sesaat setelah mereka sampai di kamar. Irin langsung balik badan, menatap Rein yang kini mengernyitkan dahi dan membalas tatapannya heran.
"Apa?" tanya Rein tidak paham.
"Lo mesumin gue dari tadi, ya?" tuduhan itu membuat Rein tidak bisa menahan tawa yang ingin keluar dari bibirnya.
"Apanya yang bisa dimesumin dari lo, Rin? Bokong lo nggak seseksi bayangan imajinasi gue selama ini." Dia masih tertawa saat mengatakannya.
"Ya, sori, gue emang nggak punya aset gede kayak yang lo bayangin itu. Apa perlu gue tambal plastik dulu? Mungkin lo lebih suka sama yang boing-boing kayak gitu, kan?" jawabnya sambil memeragakan gerakan bergerak naik turun menggunakan kedua tangannya di depan dadanya.
Rein hanya geleng-geleng sambil memamerkan senyuman terbaiknya. Dia mendekati Irin, kemudian menundukkan wajahnya hingga mereka bisa saling berpandangan.
"Lo nggak perlu sampai segitunya cuma buat muasin fantasi gue, Rin. Plastik emang kelihatan bagus, tapi bikin sensasinya jadi beda." Rein menyeringai lebar.
Irin mendelik. "Siapa juga yang mau muasin fantasi jorok lo itu?!"
Rein hanya tertawa. Irin tidak sadar saja, jika ucapannya tadi bisa bermakna seperti itu. "Lagian gue suka yang kayak gini, Rin. Ramah di tangan," katanya sambil meremas pantat Irin.
Irin berjengit, matanya mendelik sambil mengambil jarak yang cukup dari Rein.
Rein hanya bisa tertawa lagi. "Katanya mau sekarang, baru disentuh aja udah kabur duluan!" godanya.
"Lo jangan ngagetin juga dong!" balas Irin sewot.
Rein menarik Irin, lalu membalik tubuhnya agar Rein bisa memeluk tubuhnya dari belakang. "Sori!" bisiknya di telinga Irin.
Setelah itu, dalam diam dan dipenuhi kecupan Rein mulai melucuti pakaian mereka dalam diam. Canggung menjadi awal, desah menjadi lagu pengiring kebersamaan, dan erangan puas yang menjadi akhir percintaan panas di antara mereka berdua.
<<<>>>
Full episode silakan cek KaryaKarsa (Kaitani_H)
Bisa dibaca dengan harga 7rb rupiah saja,
Terima kasih!
❤️❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Marriage
RomanceBagi Rein yang selama ini menyimpan rasa suka pada sahabat masa kecilnya. Pernikahan ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan patut dicoba. Namun untuk Irin, pernikahan ini hanya akan menjadi percobaan belaka. "Kalau dua bulan kemudian gue nggak...