IRIN terkejut saat mendapati layar ponselnya remuk. Walaupun masih bisa menyala, tapi keadaan ponsel yang hancur jelas membuatnya bertanya-tanya.
Irin mengecek kotak pesan juga riwayat panggilan dan ia menemukan kata 'Intel' di riwayat panggilan.
"Kapan gue nerima panggilan dia?"
Perasaan Irin selalu meninggalkan ponselnya, lalu kenapa panggilannya sudah terjawab dan terhubung selama satu menit lebih oleh orang yang dia bayar untuk mencari segala sesuatu tentang Akram dulu?
Irin menoleh ke arah pintu kamar yang baru saja terbuka, tampak Rein tengah berjalan masuk ke kamar mereka. Saat itulah Irin sadar, kenapa suaminya malam ini terlihat berbeda.
Rein pasti mengangkat panggilan itu sebelumnya? Jadi, dia sudah tahu semuanya. Namun kenapa dia hanya diam saja? Kenapa dia tidak bertanya atau bahkan marah padanya karena diam-diam Irin telah mencari tahu soal pria lain di belakangnya?
"Rein," panggilnya pelan.
"Hm?" Rein mendongak, menatap wajah Irin tanpa ekspresi. "Kenapa?"
"Lo yang udah bikin ponsel gue remuk, ya?"
Irin yakin, Rein yang melakukannya. Rein yang marah hingga tanpa sadar telah menghancurkan layar ponsel milik Irin yang sebelumnya dia pakai untuk menjawab panggilan dari sosok di seberang sana.
"Remuk gimana?" Rein menatapnya bingung.
Irin mendekat, "Nih!" sambil menunjukkan layar ponselnya pada Rein yang langsung terkejut melihat barang bukti sejelas itu di depan matanya. "Emang dia bilang apa? Kenapa lo sampai marah kayak gitu?"
Rein memalingkan muka. "Jangan dibahas. Besok gue servis ponsel lo atau lo mau gue beliin yang baru aja?" tawarnya sembari mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa nggak boleh dibahas? Emang lo nggak penasaran soal alasan gue sampai bisa jadi kayak gitu?" Irin menatap suaminya dengan intens, memerhatikan dengan detail perubahan raut wajah Rein yang tengah meredamkan amarahnya dengan susah payah.
"Gue emang penasaran, tapi gue lebih nggak mau kalau kita sampai berantem, Rin. Jadi biarin aja semuanya, nggak usah dibahas juga nggak masalah. Kalau lo emang mau cerita, gue bakal dengerin semua alasannya, tapi kalau enggak ya udah lupain aja."
Rein berjalan melewati Irin dan langsung duduk di atas ranjang. Dia bahkan langsung merebahkan tubuhnya sembari menghela napasnya berat.
Rein memang merasa marah, dia sangat-sangat marah. Namun dia benar-benar takut amarahnya bisa merusak segalanya. Jadi, dia memaksa diri untuk meredam semua emosinya kembali dan berniat tidak mengungkitnya lagi.
Irin mendekati suaminya, duduk di pinggiran ranjang sedangkan Rein merebahkan tubuh sambil menutupi wajahnya menggunakan sebelah siku tangannya.
Irin menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napasnya secara perlahan. Sudah setahun lamanya mereka menikah. Jika Irin hanya diam saja saat tahu Rein sedang marah padanya dan malah membiarkan pria itu memendam semua emosinya. Irin takut suatu hari nanti Rein tidak bisa menahannya lagi dan meledakkan semua amarahnya padanya.
Bagaimanapun juga, Rein itu kalau sedang marah sangat menyeramkan sekali.
"Sorry, gue yang salah. Gue pernah nyuruh orang buat nyari tahu soal Akram, karena gue penasaran sama dia." Irin mulai bicara sembari menatap suaminya.
"Penasaran kayak gimana?" Rein menjauhkan tangan dari wajahnya dan balas menatap istrinya.
"Penasaran biasa aja sih, Rein. Kayak dia sekarang tinggal di mana, kerja apa, terus ya kayak gitu-gitu aja. Terakhir kali gue lihat dia, waktu dia nganterin gue balik ke sini tanpa nanya alamat tempat tinggal gue sama sekali. Padahal dia cuma tahu alamat rumah bokap nyokap gue, kan gue nggak pernah bilang-bilang kalau sekarang gue tinggal sama lo, kan?"
Rentetan ucapan itu membuat Rein menelan ludahnya susah payah. Akram mungkin memang tahu segalanya, tapi yang paling tepat adalah Akram tahu semua itu karena dia ingin mengawasi Irin.
"Makanya gue penasaran. Dia tahu alamat tempat tinggal baru gue dari mana? Jadi, kalau gue cari tahu sedikit aja soal dia nggak ada salahnya, kan?"
Rein mengerjap sekilas, kemudian mengembuskan napas panjang. "Lebih baik lo berhenti cari tahu soal dia setelah ini."
"Kenapa?" Irin menatap suaminya dengan wajah kesal. "Jangan bilang lo cemburu, ya?"
"Iya, gue cemburu." Rein mendengkus pelan. "Selain itu, kalau lo terus menerus cari tahu soal dia, lama-lama lo bakal berada dalam bahaya, Rin."
Irin mengerjapkan kedua matanya. "Maksudnya gimana?"
Rein bangkit dari posisinya, duduk berhadapan dengan Irin yang kini menatapnya tidak mengerti. "Gue pernah ngomongin masalah ini sama Jake dulu. Waktu itu Akram ketemu sama Syila buat ngehibur adik gue setelah putus sama Jake."
"Terus?" Irin menatapnya penasaran.
"Jake itu orangnya cemburuan. Kalau ada cowok lain yang mau deketin ceweknya, jelas bakal langsung dia cari tahu siapa orangnya." Rein mencoba memberitahunya pelan-pelan.
Bak teringat sesuatu, Irin dengan cepat membalas ucapannya. "Ah iya, gue inget. Jake pernah bilang masalah ini ke gue waktu itu. Dia bilang pernah nyari tahu soal Akram juga, tapi dia nggak dapat informasi apa-apa. Gelagat Akram yang misterius banget gitu, malah bikin gue makin penasaran dan nyoba nyari tahu sendiri, kan?"
Rein langsung mendengkus keras setelah mendengarnya. Ternyata Jake sudah pernah mengatakan masalah ini pada Irin, tapi sayang sekali istrinya terlalu bebal untuk dibilangi. Dia malah mau mencoba mencari tahu sendiri. Padahal dari segi kekuatan informasi, Jake berada di atas kekuatan yang Irin miliki.
Rein mengembuskan napas berat. "Jake nggak bohong, kalau dia aja nggak bisa nyari apalagi elo yang nggak punya kuasa apa-apa, Rin."
"Emang Jake punya kuasa apa? Kenapa kalau Jake nggak bisa, gue nggak akan bisa?" Irin menatapnya tidak paham.
Rein mengisyaratkan istrinya untuk mendekatkan kepalanya. Irin menurut dan Rein mulai membisikkan sesuatu yang membuat Irin langsung memelototinya.
"Sumpah lo?!"
Rein mengangguk. "Dia nggak mungkin koar-koar masalah itu, kan? Syila udah tahu, bokap nyokap gue juga udah pernah dikasih tahu. Syarat utamanya asal Syila aman dan bahagia, mereka nggak akan mempermasalahkannya."
Irin menelan ludahnya susah payah. "Terus ngapain gue nyewa orang buat nyari tahu selama ini? Pasti nggak ada hasilnya sama sekali, kan?"
Rein mengangguk. "Orang sewaan lo bilang, dia mau mundur. Nada suaranya kelihatan takut, kayaknya dia lagi diancam waktu nelepon lo tadi."
Irin mendelik ke arahnya. "Diancam? Sama Akram?"
"Gue nggak tahu, dia nggak mungkin bilang kayak gitu. Kalaupun Akram yang ngancam itu wajar, tapi kalau orang lainnya, gue takut lo berada dalam bahaya setelah ini. Karena bagaimanapun juga, dunia kita udah berbeda dari dia."
Irin mengembuskan napas pasrah. Pantas saja dia merasa, jika itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka. Jadi, itu alasannya. Akram memang sengaja melepaskan diri dari semua masa lalunya dan memasuki dunia baru yang begitu berbahaya.
Dunia gelap yang membuatnya terus berpikir jika esok mungkin akan menjadi hari kematiannya.
"Ya udah deh kalau gitu. Semoga dia baik-baik aja di dunia barunya itu, walaupun mungkin selamanya kita nggak akan pernah ketemu lagi." Irin pun mencoba mengikhlaskannya pergi.
"Walaupun dia belum membuang semua ingatan masa lalunya, tapi dia sudah meninggalkan beberapa di antaranya. Seperti Alea, mereka udah putus dan nggak akan balikan lagi untuk selamanya. Alea sekarang udah nikah juga sama orang lain. Jadi nggak mungkin dia sengaja kembali buat Alea, kecuali kembali buat keluarganya atau mungkin—"
"Mungkin apa?" Irin menunggu kelanjutan ucapannya.
"Mungkin kembali buat lo, karena dia masih suka ngawasin lo dari jauh selama ini, kan?" Rein menatap istrinya penuh makna.
Tersirat jelas rasa keingintahuan di matanya. Alasan kenapa Akram tidak juga melepaskan Irin, padahal mereka sudah lama tidak berjumpa. Padahal Akram bisa melepaskan segalanya, tapi dia tidak bisa melepaskan Irin.
Kenapa ... Rein tidak tahu alasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Marriage
RomanceBagi Rein yang selama ini menyimpan rasa suka pada sahabat masa kecilnya. Pernikahan ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan patut dicoba. Namun untuk Irin, pernikahan ini hanya akan menjadi percobaan belaka. "Kalau dua bulan kemudian gue nggak...