Crazy - 24

5.7K 462 17
                                    

KALAU boleh jujur, Irin lebih ingin tidur daripada pergi meninggalkan kasur. Setelah apa yang mereka lakukan sejak tadi, bahkan sampai berulang kali, dia merasa lemas dan tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Sayangnya dia belum sarapan pagi dan perutnya kini minta untuk diisi.

Sepertinya Rein pun merasakan hal yang sama, karena detik berikutnya dia bicara, "Mau makan di luar, nggak?"

Irin mengerang malas, dia menarik selimut untuk menutupi kepalanya saat membalas, "Nggak bisa pesan aja gitu? Gue males keluar, Rein. Mau tidur lagi aja!"

"Masih lemes ya lo?" Rein tersenyum manis. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya yang tak kunjung meninggalkan bantal setelah mereka selesai bercinta. "Kalau lo terus-terusan di sini dan kayak gini, gue jamin bakal minta lagi, Rin!"

Irin membuka selimut yang menutupi kepalanya dengan cepat dan membalas tatapan suaminya. "Jorok banget otak lo, Rein! Masih kurang apa dua kali di kamar mandi, satu kali di meja, masih nambah dua kali di ranjang? Gila, mesum lo masa nggak ada habisnya!"

Rein hanya tertawa tanpa dosa. "Salah lo sendiri selalu godain gue, jadi gue pengen lagi dan lagi, kan? Lagian udah sah kok sebagai suami istri, kok, nggak akan ada yang larang!"

"Emang nggak dilarang, tapi lo sampai nggak tahu aturan banget nget ngeeettt!" Irin menatapnya tajam. "Lagian lo kenapa sih dari pagi senyam-senyum mulu kayak gitu? Jangan bilang lo abis kesambet setan dari mimpi jorok lo semalam?"

Rein tersenyum masam. "Senyum biasa aja nggak boleh. Gue judesin langsung nangis lo," jawabnya.

"Senyum biasa gimana, lo senyum-senyum mulu yang ada! Gue kan nggak biasa lihatnya, jadi serem gitu kesannya, Rein. Kayak ada apanya gitu, lho!"

"Ya nggak masalah, kan? Itu tandanya kalau gue bahagia. Kalau gue judes, lo pasti nangis. Terus kalau gue murung, ntar gue malah dikira jadi korban KDRT istri sendiri."

Irin langsung mendelik. "Tapi senyumnya jangan berlebihan juga, dong! Serem banget, tahu!"

"Iyain aja, deh!" jawab Rein pasrah. "Jadi beneran, nggak mau keluar?"

Irin menggeleng. "Males ngapa-ngapain!"

"Padahal jarang-jarang kita bisa keluar bareng, lho! Kencan atau gimana gitu, yakin masih nggak mau? Mumpung hari minggu!" Rein mengedipkan sebelah matanya menggoda.

Irin hanya bisa cemberut mendengar ucapan suaminya. "Ya udah, bentar kalau gitu gue mau pakai baju dulu," katanya.

"Nggak mau nambah satu ronde lagi, Rin?"

Pertanyaan itu langsung membuat Irin memelototinya. "Lo mau gue nggak bisa jalan nanti, hah? Jadi lo bisa gendong gue ke mana-mana kayak gue nggak punya kaki aja, iya, kan?"

Rein hanya meringis, kemudian membiarkan Irin meninggalkan kasurnya, masih membawa selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Karena Irin tahu pasti, penampilannya yang begitu saja bisa menggoda Rein, apalagi kalau dia telanjang ... pasti pria itu akan langsung menyerang.

***

Setelah berpakaian cukup rapi, Irin keluar dan menghampiri Rein yang juga sudah selesai membenahi diri.

Rein terbiasa membenahi dirinya di mana-mana, asalkan masih di dalam apartemen yang terkunci rapat, Rein bisa melakukan apa saja. Termasuk jalan santai tanpa berbusana apa-apa.

"Berangkat sekarang, kan?"

"Ya mau ngapain lagi kalau nggak langsung berangkat?" jawab Irin sewot. Rein masih bisa nanya lagi, padahal dia sudah lapar sekali.

Rein hanya bisa tersenyum maklum. Dia juga lapar, apalagi setelah olah raga panas mereka yang membuatnya kehilangan banyak kalori. Dia butuh asupan makanan secepatnya, agar nanti sore dia bisa mulai menggoda istrinya dan minta jatah lagi.

Rein dan Irin pun pergi meninggalkan apartemen menuju salah satu restoran terbaik di sekitar sana. Setelah selesai memesan makanan, Rein pun mulai membuka topik obrolan.

"Lo nggak mau minta uang bulanan dari gue, Rin?" tanyanya serius. Pasalnya semenjak menikah, mereka belum membahas masalah keuangan sama sekali.

Rein tahu, Irin anak orang kaya. Dia jelas tidak butuh bantuan finansial darinya, karena sebagai anak tunggal dari keluarga konglomerat, tentu saja Irin sudah diberikan segalanya.

Namun sebagai pasangan suami istri, tetap saja alangkah baiknya jika Rein yang membiayai semua pengeluaran istrinya.

"Emang kalau gue minta bakal dikasih?" Irin tersenyum tipis. Dia menopang dagunya menggunakan kedua tangan dan melemparkan tatapan menggoda ke arah Rein.

Rein melakukan hal serupa, dia menopang dagunya menggunakan kedua tangan dan menirukan gaya Irin dengan sama persis. "Kenapa nggak dikasih?"

"Ya, kalau lo ngasih uang bulanan ke gue. Itu berarti jatah jajan dan main-main lo bakal berkurang, kan?"

Rein duduk dengan tegak, lalu mengangkat bahunya santai. "Emang gue kelihatan kayak cowok suka jajan atau main-main di luar, ya?"

"Iya, kan? Udah ada buktinya." Irin meleletkan lidahnya.

Rein hanya tersenyum masam. "Ya udah, abis ini gue mainnya sama lo aja. Setiap hari, setiap malam. Jadi lo harus siap sedia melayani suami setiap saatnya."

Irin langsung memelototinya. Rein hanya tertawa melihatnya. "Seriusan lo?"

"Iya serius, lah! Masa gue udah punya istri cantik tapi masih suka jajan atau main-main di luar? Jadi kurang ajar banget gue jadi suami lo, kan?"

"Iya, sih——"

"Lagian waktu kita nikah, lo juga udah ngelarang gue, kan? Jadi, gue nggak mungkin kayak gitu, Rin." Rein menatapnya serius. "Apalagi ancamannya lo mau main sama cowok lain juga, kalau gue sampai main-main sama cewek lain di luar, kan? Mana rela gue berbagi istri sama orang lain. Enak aja!"

Irin meringis. Dulu, dia hanya berpikir supaya Rein tidak selingkuh darinya saja. Setidaknya sampai mereka benar-benar berpisah, dia tidak mau Rein sampai menduakannya. Apalagi kalau hal itu sampai ketahuan keluarga besar mereka berdua dan menjadi sebab perceraian di antara keduanya.

Irin tidak mungkin membiarkannya. Karena setelah itu, pasti hubungan mereka berdua sudah hancur lebur tanpa adanya rasa percaya sedikit pun. Untungnya, Rein sangat penurut. Sejak dulu, Rein memang selalu menuruti kemauan Irin apa pun itu.

"Terima kasih!" ucapnya tulus.

Rein terdiam sejenak saat mendengar ucapan terima kasih dari istrinya. Kemudian Rein mengulurkan tangannya, menyentuh sebelah tangan Irin, lalu menggenggamnya erat.

"Simpan semua rasa terima kasih lo itu, Rin," katanya serius.

"Tapi, Rein—"

"Simpan semuanya dan anggap saja semua itu hal yang wajar untuk kita berdua. Karena bagaimanapun juga sekarang kita udah menikah, kita adalah pasangan suami istri yang sah. Jadi, gue nggak mau denger lo bilang terima kasih, karena gue mau lo bahagia, sama seperti gue yang bahagia karena udah nikah sama lo."

Irin merasakan pipinya merona, hatinya menghangat saat mendengar pengakuan Rein yang bahagia karena telah menikah dengannya. Dia tidak menyangkanya, karena dia pikir Rein bakal menderita setelah menikahinya.

Apalagi pria itu terpaksa menikahinya lantaran taruhannya dengan Syila diketahui oleh keluarga besar Gunawan. Apa selama ini, Irin sudah salah beranggapan?

Irin membuka mulutnya, siap bertanya saat pelayan lebih dulu datang untuk mengantarkan makanan. Semua momen yang terasa begitu magis itu lenyap dalam sekejap dan digantikan dengan perutnya yang bergolak minta diisi secepatnya.

<<<>>>

Ntar tanya lagi kalau udah selesai makannya, Rin! 😆
Btw, aku mau izin buat ngilang dulu, ya 🙏😆


Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang