FAKTA bahwa Irin masih mengingat soal Akram membuat Rein merasa sedikit patah hati. Walaupun status mereka kini sudah menjadi pasangan suami istri, tapi tetap saja cinta masa lalu istrinya itu masih sanggup menghantui.
Irin sepertinya menyadari perubahan suasana hati Rein, karena saat dalam perjalanan dia berkata, "Lo kenapa, deh? Jangan bilang lo nggak tega ninggalin Freya sendirian ketemu sama Alea tadi?"
Rein melirik Irin sekilas, lalu mendengkus pelan. "Mana mungkin gue bisa nggak tega sama dia? Lagian dia bukan siapa-siapa, kenapa juga gue harus peduli banget sama dia?"
Irin menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Ah masa cuek gitu lo ke dia? Padahal cakep gitu anaknya, apalagi itunya gede banget!"
"Apaan yang gede?" Rein tidak mengerti, dia melirik Irin yang langsung membuat gerakan di depan asetnya. "Oh itunya ... kan emang hasil operasi makanya bisa gede."
Irin pun terkejut mendengar pengakuan suaminya. "Heh? Kok lo bisa tahu? Jangan bilang lo udah pernah megang lagi sebelumnya?" Dia menatap Rein curiga.
Rein mendengkus pelan. "Dilihat aja udah bisa tahu di mana bedanya, Rin."
"Di mana bedanya coba? Gue nggak bisa bedain, kok bisa sih? Gue nggak percaya!" Irin menatapnya dengan tatapan menyelidik.
"Dulu kan gue sama dia temen sekelas. Gue masih ingat dia dulu kayak apa. Emang bener aset dia dulu udah gede, tapi nggak sampai segitu." Rein berdeham pelan. "Terus kapan hari, gue sengaja ditempelin sama dia. Jadi, ya gue lihatlah!"
Irin langsung memukul pelan bahu suaminya. "Dasar jelalatan! Udah dari dulu pula! Jangan bilang lo juga suka jelalatin tubuh gue dari dulu, ya?" Irin menatapnya curiga.
Rein hanya tertawa. "Gue cuma bilang jujur aja, lho!" Dia tersenyum simpul. "Kalau dulu, gue tahu karena si Fatih suka banget komentar aset cewek, kuping gue sampai panas dengernya."
"Salah siapa lo dengerin?" Irin pun jadi sewot.
"Lha terus gimana? Orang dia ngocehnya selalu di samping gue." Rein tidak mau disalahkan. Toh itu memang bukan salahnya. Dia cuma mendengarkan saja, dia tidak ikut komentar apalagi jelalatin tubuh kerempeng anak-anak sekelasnya.
"Ya ... lo pindah kek atau ditutupin headset kek atau ngapain gitu? Masa lo cuma diem aja dengerin dia ngomong jorok di sebelah lo?"
Irin sampai tak habis pikir pada Rein dulu. Untungnya jauh, kalau kelas mereka dekat mungkin sudah dia jewer telinga mereka yang punya pikiran jorok seperti itu.
"Punya temen laknat kek gitu, mana bisa kabur, Rin? Yang ada malah langsung diteriakin di deket telinga gue sama dia." Rein meringis pelan. Tentu saja dia pernah berusaha kabur, tapi endingnya malah dia yang malu karena punya temen malu-maluin kayak gitu.
Irin hanya memutar bola mata saat mendengar penjelasan suaminya. Mau tidak percaya, tapi memang teman-teman Rein dulu agak segitunya. Berbanding terbalik dengan anak-anak sekelasnya yang kalem ... ya walaupun nggak semuanya kalem, sih.
"Emang Akram dulu nggak kayak gitu sama temen-temennya? Si Calvin bukannya bajingan tingkat kesetanan gitu, ya?" Rein melirik Irin dari ekor matanya, dia ingin melihat bagaimana reaksi istrinya saat membahas cinta masa lalunya.
"Nggak lah! Orang dia setiap di kelas kerjaannya cuma tidur, tidur, tidur! Jadi pengen gue lemparin sapu setiap kali lihat muka bantalnya itu!" ujar Irin penuh emosi.
Rein mengerjap berulang kali, lalu fokus pada jalan raya di depan matanya. "Masa, sih?" tanggapnya setelah terdiam cukup lama.
"Iya, dia itu kalau nggak bolos kerjaan dia cuma tidur." Irin mendesah pasrah. "Tapi nggak tahu kenapa dia bisa pinter nggak ada akhlak gitu dulu. Kata si Kenzo sih, sisi pemalasnya itu cuma fake. Kamuflase aja, aslinya dia rajin banget anaknya."
"Gimana itu maksudnya?" Rein mengernyitkan dahi. Kenapa dia jadi bingung sendiri?
"Gue enggak tahu banget, sih, tapi yang jelas kalau lagi piket, dia kadang berangkat pagi. Malah satu kelas dia bersihin sendiri. Cuma kalau dia udah telat ya gitu, kek nggak ada rasa bersalahnya sama sekali."
Irin jadi geram kalau mengingat masa lalunya dulu. "Makanya kadang gue suka penasaran sama dia. Kalau gue udah tahu banyak hal soal dia, gue nggak bakalan kepo sampai segitunya ke dia, kan?"
Rein mengerjap pelan. Apa jangan-jangan dia cuma salah sangka saja waktu berpikir Irin naksir pada Akram?
"Oh ... terus sekarang lo udah nggak kepo lagi sama dia?" tanyanya penasaran.
"Sekarang udah biasa aja, sih."
Irin tersenyum tipis. Walaupun kadang dia masih terus memikirkannya, tapi dalam beberapa hari terakhir ini, Irin sepertinya sudah berhasil mengenyahkan keberadaan anak nakal yang menggemaskan itu dari pikirannya.
"Ya kalaupun gue masih penasaran, mungkin karena gue emang kagum sama dia. Udah gitu aja."
"Udah nggak cinta lagi sama dia emangnya?" tanya Rein langsung, blak-blakan sekali.
Irin tampak syok mendengar pertanyaan tanpa saringan itu. Kemudian dia tersenyum menggoda ke arah suaminya. "Kalau gue masih suka sama dia, emangnya lo mau ngasih gue ke dia?"
Rein langsung diam dengan senyum masam menghias bibirnya. Ekspresi wajahnya benar-benar menunjukkan jika dia tidak menyukai pertanyaan Irin sebelumnya. Namun, salah sendiri sudah bertanya.
"Cuma bercanda kali, Rein. Jangan diambil hati gitu, baperan banget, dih!" Irin tersenyum mengejeknya.
"Hm." Rein hanya menjawab pendek saja, tidak benar-benar menanggapi ejekannya.
"Lo ngambek?" tanya Irin serius.
"Nggak." Namun raut wajahnya yang semakin ditekuk itu menunjukkan sebaliknya.
"Masa sih lo nggak ngambek?" Irin semakin ingin menggodanya saja, karena dia tahu, Rein kalau sudah begini malah terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk dan itu sangat lucu.
"Enggak," jawab Rein acuh tak acuh.
"Masaaa?!" Dengan sengaja Irin menoel-noel pipi Rein yang lantas menepis tangannya dengan agak kasar.
Rein menarik napas panjang dan mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia mau membentak Irin dan mengingatkannya kalau dia sedang menyetir. Namun, dia mengurungkan niatnya, karena dia tidak mau Irin marah seperti tempo hari.
"Beneran enggak ngambek, Rin. Gue lagi nyetir ini, jangan kayak gitu," tegurnya dengan suara yang dia buat setenang mungkin.
Irin berdecak kesal, karena gagal menggoda Rein seperti dulu. "Kalau lo nggak ngambek ya bagus, deh. Gue boleh mampir mall dulu, nggak?!" pintanya, berharap Rein mau memperhatikannya lagi setelah sejak tadi hanya fokus pada jalan raya saja.
Rein menoleh ke arah Irin yang kini menatapnya dengan tatapan memohon. "Emangnya lo mau ngapain?"
"Mau beli baju, karena udah lama gue nggak beli baju baru. Katanya lo mau ngasih gue uang bulanan juga? Masa cuma bercandaan aja sih yang tadi, Rein?" Irin menaik turunkan alisnya menggoda.
Rein kembali menatap jalanan di depannya cepat-cepat sebelum dia terlena dan menatap Irin lama-lama. Sebenarnya mall sudah lewat, mereka harus memutar kalau mau ke sana.
Namun, kalau Irin sudah meminta seperti ini ... itu berarti dia sedang serius menginginkan bukti ucapannya tadi.
Rein mendesah pelan. Sebenarnya dia anti buang-buang waktu dengan cara putar jalan. Namun untuk Irin, apa yang tidak bisa dia lakukan?
"Oke, gue putar arah dulu bentar," jawabnya tanpa banyak komentar.
Sedangkan Irin langsung mengerjapkan kedua matanya saat mendengar jawaban dari suaminya. Padahal dia juga tahu, Rein itu tipe orang yang anti diajak putar jalan atau mengulangi sesuatu yang sama berulang-ulang. Intinya dia tidak suka buang-buang waktu.
Namun, kenapa Rein mau melakukannya? Apakah karena Irin yang minta? Atau karena dia hanya ingin membuktikan ucapannya tadi saja?
Apa pun itu, Irin malah khawatir sekarang.
____
jangan lupa vote dan komen, ya 🥰❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Marriage
RomanceBagi Rein yang selama ini menyimpan rasa suka pada sahabat masa kecilnya. Pernikahan ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan patut dicoba. Namun untuk Irin, pernikahan ini hanya akan menjadi percobaan belaka. "Kalau dua bulan kemudian gue nggak...