Crazy - 43

2.4K 258 8
                                    

PERCAKAPAN Irin dengan pasangan gila yang dimabuk cinta itu berhasil menyulut rasa keingintahuan yang ada di dalam dirinya. Rasanya sama seperti dulu, saat Irin begitu tergila-gila pada Akram dan ingin tahu segala hal yang sedang laki-laki itu kerjakan.

Irin pun menyewa beberapa orang untuk menyelidiki Akram secara diam-diam agar dia bisa sedikit mengobati rasa keingintahuan yang ada di hatinya.

Tentu saja, Irin menyembunyikan masalah ini dari suaminya. Dia yang setiap hari berada di apartemen, paling-paling hanya bepergian ke sekitar wilayah apartemen saja, jelas tidak akan sanggup membuat suaminya curiga kalau dia sedang mencari tahu soal pria lain sekarang.

Tanpa sadar, hari demi hari pun kembali berlalu. Tidak ada informasi apa pun yang berhasil dia dapatkan soal Akram dari orang-orang yang dia kerjakan di luar sana.

Walaupun merasa kecewa, tapi Irin tetap tak mau berhenti berharap. Dia masih menyuruh orang-orang itu mencari tahu hingga apa yang ingin dia ketahui mendapatkan jawaban sepadan.

Pernikahannya dengan Rein pun tanpa sadar sudah melewati bulan ketiga tanpa kendala ataupun masalah berarti yang dapat mengganggu hubungan keduanya. Mereka menjalani pernikahan dengan sangat baik selayaknya pasangan suami istri pada umumnya.

Walau dalam hatinya, Irin masih sedikit bertanya-tanya soal soal status hubungan mereka yang sebenarnya.

Apakah memang beginilah yang namanya pernikahan?

Karena menurut Irin hubungan mereka tidak ada bedanya dari yang sebelumnya. Baik saat mereka masih berteman hingga mereka yang sudah menikah sekarang, semuanya masih terasa sama saja. Mungkin bedanya, sekarang mereka lebih dekat dan lebih intim daripada sebelumnya.

Pernikahan Syila dan Jake pun sudah berada di depan mata. Untungnya Irin berhasil mendapatkan seragam formal yang bisa mereka gunakan tepat pada waktunya. Tentunya seragam itu ia dapatkan bukan dari butik yang tengah dikelola Joan, karena Irin tidak ingin berurusan lagi dengan pria itu untuk selamanya.

"Mau mandi bareng, Rin?" bisikan pelan di samping telinganya membuat Irin secara refleks langsung menarik dirinya menjauh.

Irin menatap galak suaminya. Mereka baru saja bercinta, Rein tiba-tiba saja memintanya sebelum mereka berangkat ke pesta pernikahan Jake dan Syila. Irin tidak bisa menolak, karena waktunya memang masih cukup untuk mereka.

Itu tadinya ... karena sekarang mereka harus kejar-kejaran waktu, jika masih mau hadir tepat waktu dengan cara berdiri di sebelah orang tua Rein yang pasti sudah menunggu.

Irin dan Rein tidak begitu banyak membantu acara pernikahan Jake dan Syila, karena semuanya dikerjakan sendiri oleh Syila yang menganggur setelah agensi tempat bekerjanya sebelum ini tutup.

"Enggak, makasih, ya! Lo pasti mau minta jatah lagi kalau kita berdua mandi bareng, kan?" Irin mengatakannya dengan wajah sebal. Dia sepertinya sudah mulai hafal modus-modus yang sering Rein layangkan padanya.

Rein menyeringai senang. "Kok tahu?"

Dia yakin seratus persen akan mendapat persetujuan istrinya, karena waktu mereka yang sudah mepet sekali sekarang. Walaupun dengan syarat tanpa bercinta atau apa pun itu, Rein pasti akan menerimanya dengan senyum mengembang di bibirnya.

"Udah jadi kebiasaan lo yang kayak gitu, Rein. Jadi mau berangkat nggak, sih? Kalau jadi, gue mau mandi dulu, terus siap-siap, baru lo yang mandi dan kita berangkat ke sana," putus Irin secara tiba-tiba.

Rein mengernyitkan dahi. "Tumben lo mau mandi duluan? Biasanya juga lo suka mandi belakangan," sindirnya terang-terangan.

"Kan gue sekarang perlu dandan, Rein! Biar bisa tampil cantik banget ngalahin pengantinnya, dandan gue harus lama juga!" Irin menjawab dengan wajah sebal.

Rein tertawa pelan. "Iya-iya gue paham, sayang. Sana mandi, jangan lupa kunci pintunya kalau nggak mau gue ikuti!"

Irin menunjukkan kepalan tangannya. "Berani ikut, awas aja lo!"

Rein tak menggubris, dia kembali tiduran dan mengabaikan Irin yang langsung menghilang di balik pintu kamar mandi tanpa aba-aba lagi.

Rein mendesah sembari meresapi sisa-sisa percintaan panas mereka sebelumnya. Dia mengembuskan napas berat. Dia benar-benar masih menginginkan istrinya sekali lagi untuk malam ini, tapi waktu tidak mengizinkannya untuk mendapatkan haknya lagi.

***

Rein keluar dari kamar mandi dan mendapati istrinya tampil dengan sempurna malam ini. Dia menelan ludah susah payah. Di depannya, dia merasa seperti tengah melihat malaikat yang sengaja jatuh hanya untuknya di bumi ini.

Rein mengerang pelan. "Gue jadi nggak pengen berangkat, Rin."

Irin mengerjap. "Apa?!"

"Gue pengen di sini aja, sama lo, pelukan, terus bercinta semalaman." Rein mendekat, dia memeluk Irin dan hendak mencium bibirnya.

Namun Irin langsung menutup mulut Rein sambil memelototinya. "Jangan bercanda, ya! Gue mau datang ke pernikahan adik ipar gue. Kalau lo nggak mau datang, gue bisa datang sendiri, kok."

Rein berdecak. "Ntar kalau papa sama mama nanya lo mau jawab apa?"

Irin tersenyum mengejek. "Gampang itu, tinggal bilang aja kalau Rein ketiduran kayak kebo di apartemen, gitu."

Rein berdecak sekali lagi. Dia mendekatkan wajahnya, hendak meminta ciuman, tapi Irin sama sekali tidak mengizinkannya. "Kenapa nggak boleh?"

Irin menggeleng tegas. "Gue nggak mau dandanan gue dari tadi jadi berantakan cuma gara-gara lo, ya! Sana pakai baju terus kita berangkat."

"Rin!" Rein terdengar merengek. "Dikit aja, boleh, ya?" Dia menatap istrinya dengan wajah memohon.

Irin masih menggelengkan kepalanya. "Nanti abis dari sana kalau lo mau minta jatah lagi gue bolehin, tapi nggak boleh minta sekarang, ngerti?"

Rein berdecak sekali lagi. "Oke." Dia melepaskan pelukannya, mengambil baju senada dengan yang dikenakan istrinya kemudian membereskan penampilannya.

Irin yang melihat Rein berkemas merasa geram sendiri. Dia mendekati suaminya dan ikut mendandaninya hingga rambutnya pun dia yang menatanya. Irin tersenyum puas melihat hasil kerja kerasnya.

"Nah gini kan lo jadi kelihatan ganteng, Rein!" katanya dengan wajah bangga.

"Emang biasanya gue nggak ganteng?" tanya Rein yang tampak penasaran soal pendapat istrinya mengenai fisiknya.

Irin tersenyum manis sembari menarik tangan Rein untuk diapit kedua tangannya. "Emang yang pernah bilang lo jelek siapa?"

"Kenapa jawabnya harus kayak gitu?" Rein balik bertanya, karena merasa tidak senang dengan jawaban yang dia dapatkan.

"Kalau ada yang bilang gitu, bisa gue teriakin kalau dia buta." Irin tertawa, kemudian mengecup sebelah pipi suaminya. "Lo selalu ganteng, Rein. Cuma malam ini lo jadi makin-makin ganteng. Jadi, ayo berangkat sekarang sebelum lo nafsuan kayak kambing yang kebelet kawin mulu!" ejeknya.

Rein mengumpat mendengar ucapan istrinya. "Jangan samain gue sama kambing bisa?"

"Bisa, asal lo nggak nafsuan kayak gitu terus." Irin tersenyum menggoda.

"Nafsuan gimana? Gue cuma minta jatah gue, itu masih manusiawi, Rin." Rein memasang wajah masam yang lantas membuat Irin menertawakannya.

"Iya-iya, jangan sensi, bisa darah tinggi nanti."

"Hm." Rein hanya bisa banyak-banyak mengelus dada. Lagi pula sejak dulu dia memang selalu bersabar atas perbuatan istrinya.

Apa pun itu ....

Seperti apa pun itu ....

Dia selalu bisa menerimanya, karena dia sudah cinta mati pada seorang Irina Afariska.

Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang