BIARPUN diminta untuk tidak jelalatan, tapi kalau tempatnya seperti ini sudah pasti tatapan matanya bakal jalan-jalan. Apalagi saat Rein melihat Irin mengambil beberapa potong pakaian dalam di depan matanya, dia bisa langsung membayangkan Irin dengan semua pakaian-pakaian dalam itu membungkus tubuhnya.
Rein menarik napas panjang, lalu mengembuskan napasnya secara perlahan. Berusaha menenangkan diri juga menenangkan isi pikirannya yang mulai tak keruan.
"Hei, Rein! Bagusan yang mana? Gue suka warna ungu, tapi warna pink juga lucu," kata Irin sembari menyodorkan dua pasang pakaian dalam itu ke depan wajahnya.
Dengan sebuah senyum cerah ditambah wajah tanpa dosa, Irin menggoyang-goyangkan pakaian dalam yang masih berada dalam gantungan itu di depan wajahnya.
Rein merasa wajahnya panas hingga merasa ada sesuatu yang meledak di atas kepalanya. Irin pasti sudah gila, kenapa dia malah memamerkan hal seperti ini tepat di depan wajahnya?!
Dia memang pernah melihatnya. Berulang kali dia melihat Irin hanya pakai bikini atau malah telanjang bulat saja. Namun kalau di tempat seperti ini, dia tidak mungkin bisa biasa saja!
Irin nyaris tertawa melihat wajah Rein yang tampak merah busuk, karena perbuatannya. Kalau hanya berdua, mungkin Rein bisa biasa saja dan sama sekali tidak terpengaruh oleh perbuatannya. Namun, kalau di tempat yang ada banyak orang seperti ini, Rein suka malu-malu kucing.
"Coba cari warna merah, kayaknya lebih bisa menggoda daripada warna kayak gitu, Nona!" Seorang pria asing berdiri di sebelah Irin dengan senyum kelewat lebar yang langsung berhasil membuat Rein menatapnya tajam.
"Merah, ya? Tapi gue nggak suka warna merah." Irin memasang wajah masam saat mendengarnya.
"Warna merah lebih kelihatan berani, apalagi di kulit lo yang putih bersih kayak gitu." Lagi, dia berkata dengan nada yang luar biasa sok ramah padanya. "Kalau nggak warna merah, mungkin bisa warna hitam."
Irin tidak suka mendengarnya. Dia tidak suka dua warna itu. Mungkin pria memang suka, tapi dia sama sekali tidak menyukainya. Irin menoleh pada Rein. "Rein, menurut lo bagusan yang mana?"
Rein mengembuskan napasnya kasar. "Lo suka yang mana dan nyaman pakai yang mana? Kalau soal bagus, apa pun pasti bagus kalau lo yang pakai, Rin."
Pria itu langsung tertawa. "Jawaban lo klise banget, man! Awas kalau pacar lo ngambek terus ninggalin lo abis ini," komentarnya sambil tergelak pelan.
Rein hanya menatapnya dengan muka kelewat datar. Lenyap sudah rasa malunya, diganti dengan rasa kesal yang kini menggerogoti hatinya. "Terus gue harus nyuruh dia ganti pakaian dalam dan pamerin ke gue sekarang juga gitu? Mendingan gue suruh dia beli semuanya, terus gue ajakin dia pulang, biar dia bisa cobain semuanya di rumah. Iya, kan, sayang?"
Irin mengerjapkan kedua matanya dan menatap Rein dengan tatapan polosnya. "Hah?!"
Sedang pria entah siapa itu juga turut melakukan hal serupa. "Anak zaman sekarang ternyata pada berani, ya? Belum nikah aja udah berani tinggal bersama."
Irin dan Rein langsung bertatapan. Keduanya seperti kompak saat mengatakannya secara bebarengan, "Emang lo umur berapa?"
"28."
Rein dan Irin bertatapan lagi, seolah saling bicara dengan cara bertelepati.
"Perasaan umurnya nggak beda jauh dari kita, ya, Rein?"
"Ya, tapi dia bilang anak zaman sekarang."
"Mungkin dia cuma iri aja kali, ya? Belum nikah, belum punya pacar, atau pacarnya nggak mau diajak tinggal bareng?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Marriage
RomanceBagi Rein yang selama ini menyimpan rasa suka pada sahabat masa kecilnya. Pernikahan ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan patut dicoba. Namun untuk Irin, pernikahan ini hanya akan menjadi percobaan belaka. "Kalau dua bulan kemudian gue nggak...