BARU kerja satu hari, Rein terpaksa mengambil cuti lagi. Perutnya tidak beres setelah memakan nasi goreng buatan Irin. Entah apa yang salah, padahal ia merasa tidak ada masalah.
Kemarin malam, telur dadarnya jadi dengan selamat. Paginya, Irin mencoba membuat nasi goreng dari nasi sisa semalam. Entah nasinya yang sudah basi atau perutnya yang tidak keruan, karena salah makan sebelum mencicipi telur dadar buatan istrinya.
"Masih mulas, Rein?" Irin menghampiri dengan wajah khawatir. Jelas saja istrinya kepikiran soal masakannya yang bisa saja membuat sang suami sakit perut.
Walau Rein tidak terlihat keberatan saat memakan masakannya, tapi bukan berarti semuanya baik-baik saja saat Rein menelan masakan buatannya, kan?
Rein hanya mengangguk lemah. "Udah mendingan dari yang tadi," balasnya jujur. Dia jadi mager melakukan apa pun dan lebih memilih tidur dengan tubuh miring di sofa ruang depan.
"Papa tadi nelepon, katanya kita disuruh main ke rumah."
Rein berjengit dan menatap istrinya dengan tatapan seolah berkata, 'Lo lagi bercanda, kan?'
"Enggaklah, beneran Papa nyuruh kita pulang. Beliau mau mastiin sesuatu katanya." Irin mengotak-atik ponselnya, lalu menunjukkannya pada Rein. "Nih, lihat sendiri record panggilannya tadi pagi."
Rein menghela napas kasar, sekarang dia mengerti kenapa perutnya bisa mulas tiba-tiba. Bukan karena dia salah makan, tapi karena dia mau bertemu papa mertua.
Jujur saja, Rein tidak punya masalah apa-apa dengan orang tua Irin, kecuali satu ... dia yang dulu sering kabur dari pelatihan renang papa mertuanya sewaktu ia kecil. Kenakalan masa kecilnya itu selalu dijadikan olok-olok yang membuat Rein malu kalau harus mengingatnya lagi.
"Kalau udah baikan, ayo anterin gue pulang. Daripada lo di sini doang nggak ada kerjaan, kan? Mendingan juga ikut gue pulang, Rein."
Rein meringis. Membayangkan dia akan duduk di depan papa mertuanya yang terus mengejeknya membuat perutnya mulas lagi.
Ayolah, mungkin memang Rein yang terlalu parno dan berlebihan, tapi memang itulah yang ia alami setiap kali bertemu Verga. Padahal, dia bisa lulus kelas pelatihannya dengan nilai sempurna, tapi tetap saja, orang satu itu akan terus mengejeknya setiap kali mereka berjumpa.
"Rein?"
"Hm."
"Mau, ya?" Irin menatapnya dengan wajah memohon yang tak kuasa Rein tolak.
"Iya," balasnya, walau sekarang dia mau mual sendiri membayangkan dirinya akan berhadapan dengan Verga sebentar lagi. "Sana mandi dulu, abis itu gantian gue yang mandi." Rein mendengkus kecil. "Apa lo mau mandiin gue?"
Irin langsung menimpuknya dengan bantal yang sejak tadi ia gunakan sebagai alas kaki.
***
Rein dengar dari mamanya, dulu Verga seorang atlit renang internasional yang kemudian berhenti dan memilih meneruskan usaha keluarga. Sembari menjalankan usahanya, dia juga membuka kelas renang untuk anak-anak kecil yang ingin belajar renang darinya, dan Rein salah satu muridnya.
Begitu mereka bertemu, Rein hanya bisa mojok dan diam saja, dia tidak berani bicara. Takut kalau dia diolok-olok lagi, karena dulu, Rein satu-satunya murid nakal yang suka bolos dari pelatihan dan lebih memilih main boneka bersama anak semata wayangnya, Irin.
"Gimana keadaan kalian?" tanya Verga seraya menatap tajam menantunya.
Irin bahkan terlihat biasa saja, tidak terlihat cedera sama sekali, tapi Verga bisa menatapnya setajam itu. Rein menghela napas kasar, dia juga memahami kalau ayah dari anak perempuan pasti seposesif Verga. Contoh saja ayahnya.
"Baik, kok, Pa."
Verga mengernyitkan dahi, dia menatap Rein seraya menaikkan sebelah alisnya yang membuat Rein menatapnya tidak mengerti.
"Apa?" tanyanya tidak paham.
"Kenapa, Pa?" tanya Irin yang ternyata juga tidak paham apa-apa.
Apa sih maksud ini om-om satu? batinnya yang sama sekali tidak mengerti akan kode-kodean yang diberikan Verga untuknya.
Virna datang membawakan minuman serta camilan di atas nampan. Rein langsung berdiri dan membantu mama mertuanya meletakkan minuman serta camilan yang ia bawa ke atas meja, sedang Irin hanya ternganga di tempat duduknya.
Kok ... dia ..., batinnya yang kebingungan melihat interaksi Rein dengan mamanya.
"Makasih, lho, Rein. Kamu dari dulu emang yang paling ngerti yang namanya bantuin Mama."
Rein tersenyum canggung. Aslinya, itu kebiasaannya membantu Riri yang sering membawakan minum serta camilan saat teman sekolahnya main ke rumah. Rein tidak enak saja melihatnya, dia tidak bisa bantu membuat, jadi kalau bisa dia bantu menaruh saja.
"Nggak apa-apa, Ma."
Verga berdeham, Rein kembali ke tempat duduknya. Irin menyiku perutnya dengan perlahan. "Kapan lo suka bantu-bantu Mama?"
"Udah lama," balasnya pelan.
"Kapan? Perasaan lo jarang main ke sini sejak SMA?" tanya Irin sambil mengernyitkan dahinya curiga.
"Waktu masih kecil, dia kan suka ke sini," jawab Verga yang kini mengedipkan sebelah matanya. Rein mendengkus pelan. "Jadi, bagaimana malam pertama kalian?"
Kedua pengantin baru itu sontak terlonjak. Baik Irin dan Rein saling tatap tanpa banyak berkata, seperti saling bertukar kode yang tak dimengerti orang lain selain mereka berdua. Melihatnya saja membuat Verga langsung menghela napas kasar.
"Menginaplah untuk malam ini," katanya seraya menatap putri semata wayang juga menantunya itu dengan bergantian.
"Eh, tapi Irin nggak bawa baju ganti," jawab Irin yang kini menatap papanya.
"Baju kamu kan banyak di sini, Rin?" balas Virna.
Rein mendesis. "Aku nggak bawa baju ganti, Ma."
"Kamu bisa pakai baju Verga, Rein. Aku yakin ukuran kalian nggak jauh beda, pasti masih muatlah kalau kamu yang pakai bajunya."
Rein menatap Irin. 'Gimana?'
Irin mengangguk. 'Nggak apa-apa, kan? Cuma semalam juga?'
Rein mendengkus, dia tidak punya pilihan untuk menolak. Jadilah, dia hanya setuju-setuju saja saat Irin mengiyakan permintaan papa mertuanya.
____
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Marriage
Любовные романыBagi Rein yang selama ini menyimpan rasa suka pada sahabat masa kecilnya. Pernikahan ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan patut dicoba. Namun untuk Irin, pernikahan ini hanya akan menjadi percobaan belaka. "Kalau dua bulan kemudian gue nggak...