REIN memakan masakannya dengan lahap. Irin hanya tersenyum manis sambil turut makan di sampingnya. "Buset, kayak nggak makan sebulan aja, Bang!"
Rein tersedak dan Irin dengan sigap mengambilkan air minum untuknya. "Makannya pelan-pelan aja kenapa? Gue nggak minta banyak-banyak juga. Kalau lo suka, besok bisa gue bikinin lagi kok, tenang aja!"
Rein menghapus jejak air mata di pelupuk matanya, karena tersedak saat makan sambal pedas memang sesuatu sekali rasanya. Dia suka pedas, sepertinya Irin tahu masalah itu, karena sambal bikinannya memang nikmat sekali di lidahnya.
Namun yang membuatnya tersedak bukan karena ia memakannya secara terburu-buru, melainkan panggilan Irin padanya beberapa saat lalu.
Walaupun mereka lahir di tahun yang sama, tapi sebenarnya Irin lebih tua darinya. Rein pernah marah dan ngambek saat dia dipanggil 'dek' oleh Irin, ketika mereka masih bermain bersama dulu. Karena Rein tidak mau lagi bermain bersamanya, Irin pun menghapus panggilan ajaibnya dan tak lagi memanggilnya seperti itu untuk selamanya.
Akan tetapi beberapa saat lalu Irin memanggilnya 'bang' atau kakak, serius ini?!
"Kenapa lo ngelihatin gue sampai kayak gitu? Naksir?" tanya Irin sambil mengernyitkan dahinya heran.
"Iya," jawab Rein singkat.
"Buset, cuma gegara dikasih makan sambal terasi pedas level tiga puluh aja lo langsung naksir sama gue?" Irin geleng kepala menatapnya. "Kalau gue nggak kenal lo dari lama, pasti udah gue timpuk batu lo sekarang, Rein."
Rein meringis. "Bercanda, Rin. Nggak mungkin juga gue naksir lo gegara sambal terasi, kan?"
"Kalau iya bakal jadi judul ftv terbaru, tuh!"
"Apaan?"
"Cintaku berawal dari sambal terasi!"
"Buset!" Rein tertawa, Irin pun melakukan hal serupa.
Jika seperti ini, alih-alih tampak layaknya pasangan suami istri, mereka terlihat seperti teman sehati, sehidup, dan semati. Ya, kalau memang pernikahan mereka serius untuk selamanya, Rein berharap mereka bisa terus seperti itu sampai tua.
Sama halnya dengan Rein, Irin pun mengharapkan hal serupa. Sekalipun nanti mereka akan bercerai, ia berharap hubungannya dengan Rein tidak akan pernah berubah selamanya.
Irin memejamkan mata. Berpikir apakah dia akan menunggu lagi atau langsung menanyakan semuanya pada Rein. Jika Rein memang mau kembali pada Freya, maka dia hanya akan menjadi penghalang di antara hubungan mereka.
Irin hanya butuh dua bulan saja untuk menikah, agar setelah itu ayahnya bisa menyerah. Jika memang Rein ingin kembali pada mantan pacarnya, maka dia harus membicarakan masalah itu pada Rein secepatnya. Karena sejujurnya, Irin tidak siap jika dia sampai diselingkuhi saat masih menjadi istri sah dari suami dua bulannya ini.
"Rein!" panggilnya serius, nadanya memelan dan terdengar berat.
"Ya?"
"Lo ... beneran nggak punya pacar sekarang?" tanyanya dengan hati-hati. Irin tidak bisa langsung membawa-bawa nama mantan pacar Rein sewaktu SMA, kan?
"Nggak, gue punyanya istri, bukan pacar." Rein tersenyum padanya.
Irin menatapnya tajam. "Serius, ih! Gue penasaran tahu!"
"Penasaran sama apa? Langsung aja, jangan basa-basi, karena gue bisa gagal paham nanti!" Rein bersedekap dada dan menyudahi acara makannya, karena memang sudah habis semua.
"Lo balikan sama Freya, nggak?" tanya Irin dengan wajah menyelidik.
"Hah?!" Rein mengangakan mulut dan menatap Irin tak mengerti.
"Freya temen kantor lo yang nelepon tadi pagi itu ... dia mantan pacar lo waktu SMA yang itu, kan?" tanyanya penasaran.
Rein langsung mengembuskan napasnya panjang saat mendengarnya. "Mereka emang orang yang sama, tapi dia bukan mantan pacar gue, Rin."
"Hah?!" Kini gantian Irin yang menganga dengan muka syok setengah mati.
"Gue serius, Rin. Lagian sejak kapan gue pacaran waktu SMA?" Rein menatap Irin dengan serius.
Jika dia sudah punya pacar waktu itu, kenapa dia ikutan kesal pada Akram yang jelas-jelas tidak punya salah apa-apa padanya, selain menjadi laki-laki yang disukai cewek pujaan hatinya?
"Lo nggak pacaran sama dia?"
"Enggak."
"Sumpah?!"
"Sumpah, Rin! Gue nggak pernah punya pacar waktu sekolah, astaga! Lagian lo denger dari mana? Si Freya? Makanya lo mulai jauhin gue waktu itu, karena lo nggak enak sama dia?" Rein geleng-geleng kepala. "Jangan bilang, lo tadi juga mikir gue nggak pulang-pulang karena selingkuh sama dia lagi?!"
Irin kehilangan suaranya.
"Astaga! Kalau gue beneran ada apa-apa sama dia, gue pasti langsung berangkat jemput dia tadi pagi, kan? Gue nggak ada apa-apa sama dia. Gue bahkan udah tegasin semuanya ke dia, kalau hubungan kita nggak lebih dari rekan kerja aja."
Irin menelan ludahnya susah payah. "Serius, sampai kayak gitu?"
Rein mengangguk. "Gue selalu serius sama pernikahan kita, Rin. Gue nggak pernah mau disuruh nikah, karena emang gue nggak siap seandainya pernikahan gue hancur karena suatu masalah. Gue takut, gue nggak siap ...."
Rein tidak bisa melanjutkannya. Dia takut menikah, karena dia takut seumpama pernikahannya hancur. Alasannya sederhana, karena di hatinya hanya ada nama Irin seorang. Dia takut istrinya saat itu tahu dan tidak bisa memaafkan dirinya.
Sedangkan Irin memikirkan hal lain setelah mendengar kata-katanya tadi. Rein serius dengan pernikahan mereka, tapi Irin menggunakan pernikahan mereka sebagai sebuah percobaan belaka. Dia jadi sangat merasa bersalah padanya.
Irin pastikan dia akan mencoba sebaik-baiknya, agar pernikahan mereka bisa bertahan untuk selamanya. Seperti apa yang Rein harapkan dari pernikahan mereka yang begitu tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Marriage
RomanceBagi Rein yang selama ini menyimpan rasa suka pada sahabat masa kecilnya. Pernikahan ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan patut dicoba. Namun untuk Irin, pernikahan ini hanya akan menjadi percobaan belaka. "Kalau dua bulan kemudian gue nggak...