REIN terpaksa membuka mata, karena merasa pegal di sekitar lehernya. Dia melirik sekitarnya dan ternyata dia masih berada di ruang utama, lengkap dengan televisi yang masih menyala.
Dalam hati Rein mulai menggerutu. Kenapa Irin tidak mau membangunkannya? Kalaupun tidak bisa dibangunkan, minimal diberikan selimut kan bisa? Kenapa Rein malah ditinggal begitu saja dengan AC dan televisi yang masih menyala?
Rein berdecak kesal, bangkit dari posisi rebahan, dan berniat pergi menuju kamar saat dia merasakan sesuatu sedang menahan sebelah tangannya. Rein mengerjapkan mata, mematung sebentar, sebelum mengucek sebelah matanya menggunakan tangan yang lainnya.
Irin ternyata ada di sana. Dia sedang tidur pulas di atas lantai dengan menggunakan sebelah tangan Rein sebagai bantal. Sebelah tangan yang kini terasa kebas, hingga membuat Rein tidak bisa menyadari keberadaan Irin sebelumnya.
"Dia ketiduran?" tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri karena tak ada orang lain lagi di sana selain mereka berdua.
"Rin!" Rein berniat membangunkan istrinya, mengguncang pelan bahunya agar wanita itu mulai tersadar dari tidur lelapnya.
Namun, Rein malah melihat wajah Irin yang dihiasi jejak air mata yang belum sepenuhnya mengering. Rein hanya bisa diam, mematung, bahkan tangannya pun masih menggantung.
"Apa yang udah terjadi?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Rein menghapus sisa-sisa jejak air mata itu menggunakan sebelah tangannya yang tidak kebas. Air mata itu benar-benar asli, sungguhan, bukan sebuah air biasa yang bisa menghilang begitu saja. Air mata itu ... bahkan masih terus mengalir sekalipun Rein telah menghapusnya.
"Apa yang udah bikin lo nangis sampai kayak gini?"
Hatinya terasa seperti sedang dihantam palu raksasa. Sakit sekali rasanya.
"Apa karena lo nggak bahagia nikah sama gue?"
Suatu hal yang menurut Rein benar adanya. Mereka menikah bukan atas dasar saling cinta. Rein memang mencintai Irin, tapi tidak dengan sebaliknya. Jika hidup biasa saja dengan status pernikahan mereka, apakah itu layak disebut bahagia?
Apalagi Irin kini menangis di atas tangannya yang menandakan bahwa ialah penyebab tangis perempuan itu malam ini.
Rein membelai lembut pipi Irin, sembari merapikan anak rambut yang jatuh menutupi wajahnya. "Kalau lo emang nggak bahagia dengan semua ini, lo bisa bilang ke gue, Rin."
Rein menggigit lidahnya cukup keras sebelum kembali bicara, "Karena kita bisa mengakhiri semuanya cukup sampai di sini. Walaupun gue nggak rela, sama sekali nggak rela berpisah dari lo."
Rein menarik napas panjang, lalu mengembuskan napasnya secara berat dan perlahan. Rein mencoba membuang sesak yang diam-diam merayap dan membuatnya susah bernapas serta sulit bergerak.
Rein mengambil tangannya yang sejak tadi menjadi bantal Irin secara hati-hati, lalu memijatnya dengan pelan, sebelum dia bangun dari sofa.
Masalah Irin yang menangis malam ini bisa dia pikirkan belakangan. Toh, mereka masih punya banyak kesempatan untuk bicara. Namun, memindahkan Irin secepatnya dari lantai dingin ini tidak bisa ditunda lagi.
Rein tidak mau istrinya sakit. Jadi setelah tangannya mulai membaik, dia mengangkat tubuh Irin dan menggendongnya menuju kamar mereka.
Dia meletakkan tubuh Irin di atas ranjangnya, kemudian dia ikut tidur di sebelahnya, memeluk erat tubuh istrinya dan sesekali menciumi puncak kepalanya.
"Mimpi yang indah, Rin!" gumamnya sebelum menyusul Irin masuk ke alam mimpi.
***
Irin mengerjap, kemudian mulai membuka matanya dengan perlahan. Dia langsung bisa melihat Rein yang tidur miring menghadap ke arahnya. Pria itu langsung tersenyum saat melihatnya membuka mata. Senyuman manis yang kelewatan dan sukses membuat Irin merona.
"Lagi pengin apa gimana?" Senyuman Rein terlihat makin lebar, hingga berubah menjadi seringaian.
"Hah?" Irin menatapnya dengan tatapan tidak mengerti.
"Lihat tangan," katanya sambil menatap ke bawah, ke arah tangan Irin yang tanpa berdosanya sedang membelai miliknya. "Segitu pengennya ya sampai pagi-pagi gini udah bangunin gue segala?"
Irin melotot tajam dan langsung menarik kembali tangannya dengan cepat. "Astaga! Kok bisa? Kok lo udah on juga, Rein?"
"Kan lo yang bangunin, Rin? Gimana, sih?" Rein balik membalasnya dengan wajah tanpa dosa.
"Gue nggak maksud begitu, gue—"
"Tapi buktinya gimana?" Rein tersenyum simpul melihat Irin hanya bisa diam, mati kuti. "Lo mau tanggung jawab, nggak?"
Irin menelan ludahnya susah payah. Dia melirik jam dinding di kamar mereka untuk mencari alasan agar bisa terlepas dari Rein pagi ini tanpa perlu menolak secara terang-terangan. Dia sangat bersyukur saat melihat jam sudah menunjukkan angka enam.
"Lo nggak kerja emangnya? Udah jam enam sekarang lho, Rein?!" Dia menunjuk jam, mengalihkan perhatian dan pembicaraan di antara mereka.
Rein mengangkat sebelah alisnya. "Bukannya sekarang hari minggu, ya?"
"Hah?!" Irin mengerjap, wajahnya benar-benar polos saat mengingat-ingat soal hari apa sekarang.
Dan Rein memang benar. Ini hari minggu. Itu berarti ... pria itu tidak akan berangkat bekerja hari ini.
Irin menelan ludahnya kelu. "Emangnya lo mau?" tanyanya.
Rein tersenyum manis. "Ya, kalau lo mau ngasih, gue nggak akan nolak, Rin."
Irin menelan ludahnya sekali lagi. "Tapi gue mandi dulu, ya? Kan gue baru bangun tidur, belum mandi, belum sikat gigi, belum cuci muka lagi!"
"Tapi masih cantik, kok." Rein semakin tersenyum manis.
Irin langsung saja memelototinya. Hanya perasaannya saja atau memang pagi ini Rein jadi suka cengar-cengir nggak jelas, ya?
"Pokoknya gue mau mandi dulu—"
"Mandi bareng, ya? Biar hemat waktu juga."
Rein tersenyum makin lebar, seperti memang begitulah rencana awal yang dia incar sejak beberapa menit sebelumnya.
<<>>
🤔🤔Mau ngapain lu berdua?
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Marriage
RomanceBagi Rein yang selama ini menyimpan rasa suka pada sahabat masa kecilnya. Pernikahan ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan patut dicoba. Namun untuk Irin, pernikahan ini hanya akan menjadi percobaan belaka. "Kalau dua bulan kemudian gue nggak...